Absurdisme, Eksistensialisme, dan Kesalahan Sistematik di Indonesia

Konten dari Pengguna
16 Agustus 2020 12:32 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Firdza Radiany tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Suasana staiun kereta saat PSBB transisi pandemi corona. Foto: Ajeng Dinar Ulfiana/REUTERS
zoom-in-whitePerbesar
Suasana staiun kereta saat PSBB transisi pandemi corona. Foto: Ajeng Dinar Ulfiana/REUTERS
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sebuah siklus absurditas selalu berulang di Indonesia.
Kini absurditas tersebut berupa :
ADVERTISEMENT
Kita bisa saja membuat list poin di atas menjadi 100 poin.
Seolah kehidupan ini masih normal, tentu saja semua itu terjadi di kondisi pandemi dan Indonesia menuju jurang resesi.
--
Seorang teman yang pemikir bertanya,
"Saya benar-benar bingung. Kenapa manusia Indonesia bisa memiliki hobi dan lifestyle yang sama yaitu berolahraga sepeda, padahal olahraga kan selaiknya disesuaikan dengan kebutuhan, kemampuan dan kegemaran masing-masing orang, kok bisa seragam seperti itu?
ADVERTISEMENT
Sepedaan satu, sepedaan semua, lalu meributkan merk sepeda".
Saya terkejut dan juga menyetujui dalam hati sambil tersenyum simpul, lalu menjawab,
"Mungkin mereka kehilangan fondasi untuk percaya diri di society-nya. Sehingga jalan termudah alih-alih membangun fondasi tersebut secara genuine, ya takluk oleh (modernitas) bernama tren.
Apa pun tren itu.
Misalkan tahun depan ada tren naik skateboard, bahkan naik sepeda roda satu dan gerakan naik sapi berangkat kantor pun, masyarakat kita akan mudah takluk pada tren itu.".
Jangan salah, mengikuti tren tentu saja boleh dan menjadi Hak Asasi Manusia. Namun tidak mengikuti tren pun tak apa. Dunia tidak kiamat saat kita tidak mengikuti tren.
--
Abad Pencerahan (Renaissance) adalah kurun waktu dalam sejarah Eropa dari abad ke-14 sampai abad ke-17, yang merupakan zaman peralihan dari Abad Pertengahan ke Zaman Modern.
ADVERTISEMENT
Latar belakang masa Renaissance yang dipengaruhi kematian, kemiskinan, dan kekalahan.
Pandemi Black Death yang membunuh 200 juta orang Eropa, pola pikir kesadaran magis masyarakat Eropa,konflik Muslim–Kristen di Spanyol dan Afrika Utara, Perang Venesia, dan perang seribu tahun di sepanjang Eropa Utara yang membunuh jutaan jiwa dan menghancurkan pasar ekonomi Eropa. menjadi awal alasan-alasan masa Renaissance.
Lukisan Pieter Bruegel the Elder bertajuk "The Triumph of Death" yang menggambarkan kengerian wabah "Black Death" di abad pertengahan (Foto: museodelprado.es)
Setelah masa pencerahan Eropa, penggunaan Rasio bernama Akal Budi diagungkan di Eropa, bahwa Akal Budi akan mencerahkan dan menyelesaikan semua masalah di dunia. Bahwa semua masalah akan diselesaikan dengan ilmu pengetahuan.
The Ambassadors (Die Gesandten, 1533) karya Hans Holben Yang Muda
Lukisan Hans Holbein berjudul The Ambassador (1533) bisa menjadi contoh untuk menggambarkan kejayaan Renaissance. Di dalam lukisan ini dilukiskan rak alat-alat sains seperti celestial globe, kuadran, jam matahari, dan torquetum, di bagian atas. Di rak bawah ada dua buku kecapi, terrestrial globe, seruling, jangka, dan pengukur geometri.
ADVERTISEMENT
Sementara di Indonesia pada tahun 1309 sedang terjadi peristiwa Raja Jayanegara menggantikan Raden Wijaya sebagai penguasa Majapahit.
Tahun 1602, VOC resmi didirikan Belanda di Banten. Peristiwa ini tentu saja salah satu efek Renaissance.
Eropa memulai pencerahan, Indonesia mulai fase penggelapan, "dijajah" oleh korporasi multinasional terbesar sepanjang sejarah. Fase gelap itu yang membentuk kita semua manusia Indonesia sampai sekarang.
--
Pencerahan ini juga gerbang baru menuju modernitas.
Kehidupan modern.
Ternyata pencerahan dengan akal budi membawa masalah baru.
Ulrich Beck, sosiolog asal Jerman, berpendapat kehidupan modern adalah kehidupan dengan risk society. Segala detail aktivitas produksi dan konsumsi kehidupan modern adalah berisiko.
Kultur instan merajalela, melahirkan pula generasi instan dan pemikiran instan.
ADVERTISEMENT
Jika kita bawa ke kehidupan sehari-hari yang penuh risiko, beginilah contoh-contohnya.
Berdekatan dengan alat elektronik terlalu lama bisa terpapar radiasi. Makanan instan dan junk food membawa masalah penyakit jantung. Plastik yang digunakan untuk memudahkan kehidupan manusia, ternyata merusak alam laut. Asap knalpot kendaraan , asap pabrik dan penggunaan AC di setiap rumah dan bangunan, membuat ozon bolong, efek rumah kaca dan es di kutub mulai mencair.
Kehidupan manusia modern pada tahun 2020 pun bisa dibilang berisiko, tak pernah terbayang masyarakat dunia kini harus berpikir ulang untuk keluar rumah.
Keluar rumah di masa pandemi ini sangat berisiko.
Kehidupan manusia bumi kini sangat berisiko.
Tentu itu tidak berlaku di Indonesia, manusia Indonesia pemberani dan tangguh.
ADVERTISEMENT
--
Umat muslim di Indonesia mungkin adalah penganut agama paling insecure dan posesif. Sampai-sampai jika saat bulan puasa harus melakukan patroli ke warung dan rumah makan agar menutup bagian depan dengan kain putih.
Umat muslim di Indonesia kini mengkritik logo Dirgahayu RI ke 75, karena terdapat (ilusi) logo salib. Seharusnya, energi ini dimanfaatkan misal agar suara speaker masjid tidak terlalu nyaring sehingga mengganggu kenyamanan kaum minoritas. Toleransi.
Namun konsep toleransi beragama di Indonesia adalah menggunakan rumus "yang banyak adalah yang menang".
Umat Muslim pasti tidak akan paham betapa sakralnya sebuah simbol salib bagi Umat Kristen. Begitu juga sebaliknya Umat Kristen tidak akan paham kenapa Umat Muslim rela berputar-putar mengelilingi sebuah kotak kubus berlapis kain hitam bernama Ka'bah.
ADVERTISEMENT
Karena tidak akan paham, sebaiknya sudahi saja diskursus mengenai simbol-simbol agama.
--
Salah satu ciri kehidupan modern adalah sistem berupa birokrasi.
Birokrasi adalah anak kandung dari modernitas. Birokrasi adalah cara yang berkuasa (pemerintah di negara, CEO di perusahaan) untuk memperlancar urusan-urusan. Cirinya efisiensi dan efektif.
Birokrasi yang dilakukan sehari-hari selama berdekade akan menjadi sebuah budaya. Bagi yang menjalaninya tidak akan merasakan yang dia lakukan adalah sebuah birokrasi. Ia menjadi bagian dari sebuah sistem besar, namun tidak sadar.
Celakanya jika sistem tersebut salah atau menjadi sebuah "kesalahan sistematik", pelaku birokrasi tersebut menjadi maklum atau bahkan parahnya tidak sadar jika menjadi korban sistem.
Sebagai contoh di Indonesia, biaya pendidikan semakin mahal. Manusia pelaku birokrasi tidak akan protes akan hal tersebut. Ia akan malah lebih bekerja kerasa untuk mendapat uang banyak demi pendidikan mahal buah hatinya. Alih-alih tetap bekerja keras dan berusaha mengubah sistem di kesalahan sistematik pendidikan. Yaitu bagaimana caranya agar biaya pendidikan semakin murah dan pendidikan bisa diakses oleh semua anak di semua pulau.
ADVERTISEMENT
Namun paragraf di atas tentu saja sulit ditemukan di diskursus kehidupan manusia Indonesia sehari-hari. Bukan urusan kita sebagai individu, katanya.
Lucunya, sebenarnya kita ini menjadi korban kesalahan sistematik, tapi banyak dari kita juga yang memaklumi dan membela kesalahan sistematik tersebut.
Maka, lestarilah kesalahan-kesalahan sistematik di seluruh bidang di Indonesia. Berdekade.
--
Apa yang membedakan manusia dengan binatang?
Manusia menyadari dan mempertanyakan keberadaannya, eksistensinya, sementara hewan tidak. Eksistensi mendahului esensi.
Coba tanyakan ke manusia Indonesia apa itu eksistensialisme?
Niscaya akan menjawab: eksistensi di sosial dan pencapaian-pencapaian hidup.
Pada pandangan filsafat Eksitensialisme, Jean Paul Sarte berkata bahwa kehidupan modern ini begitu absurd dan aneh.
Manusia adalah angka statistik, alat untuk mencapai tujuan ekonomi di luar kuasa dirinya.
ADVERTISEMENT
Humanisme adalah pemikiran yang paling dipakai sepanjang masa Renaissance, hingga kini.
Humanisme adalah warisan produk terbaik dari masa itu.
Itupun ironisnya, kita banyak melihat manusia, tapi sering tidak melihat humanisme di dalam diri manusia.
Kehidupan modern yang gersang dan hampa.
Erich Fromm, sosiolog psikologis dari Jerman, berkata bahwa manusia modern seperti lari dari kebebasan.
Kehidupan modern yang (konon) begitu optimis ternyata mengecewakan.
Manusia modern, susah menjawab apa itu eksistensi, apalagi menjelaskan esensi.
--
Renaissance adalah zaman kebangkitan dari ratusan tahun keterpurukan bangsa Eropa dan hadir setelah pandemi yang membunuh ratusan juta warga Eropa. Sekarang Indonesia terpuruk secara kesehatan dan ekonomi karena pandemi.
Ini adalah momentum kita untuk menyambut Renaissance Indonesia.
ADVERTISEMENT
Namun yang terjadi di Indonesia tentu saja selalu sama : banyaknya kesadaran magis menghadapi pandemi ini dan perbedebatan-perdebatan yang tidak kontekstual.
Kalau kita banyak waktu, coba cek perdebatan netizen Indonesia di kolom-kolom komentar social media.
Kalau diperhatikan, diskusi yang mereka lakukan kebanyakan berada di luar konteks masalah dan mereka sendiri terkadang tidak paham akan akar permasalahan, bahkan kesulitan mengidentifikasi apa sebenarnya masalahnya. Mereka membaca sebuah bacaan atau tulisan, namun tidak memahami apa konteks isinya.
Kegiatan ini menjadi hobi dan budaya. Juga menjadi sebuah standar level kepintaran baru.
Pada dokumen publikasi Indonesia Economic Quarterly, Juni 2018, terbitan Bank Dunia yang berjudul “Pendidikan untuk pertumbuhan” halaman 42 dalam tertulis:
“Menurut tes internasional, lebih dari 55 % orang Indonesia yang telah menyelesaikan pendidikan buta huruf secara fungsional, jauh lebih besar daripada yang terdata di Vietnam (14 persen) dan negara-negara anggota Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) (20 persen)”.
ADVERTISEMENT
Maksud "buta huruf secara fungsional" membaca teks tetapi tidak dapat menjawab pertanyaan yang berkaitan dengan teks tersebut. Bisa membaca namun tidak paham konteks dari bacaan tersebut.
55% orang Indonesia buta huruf secara fungsional.
Minimal ada 135 juta orang Indonesia yang buta huruf secara fungsional.
Saya juga tidak berharap 55% orang Indonesia tersebut bisa "membaca" makna tulisan saya ini apa.
--
Dirgahayu Indonesia ke 75 tahun.
Oleh :
@firdzaradiany