Belajar Hidup di Tengah Pandemi dari Stoa

Fadlan
Kolomnis dan pendiri Lingkar Studi Filsafat (LSF) Sophia
Konten dari Pengguna
2 Oktober 2020 11:07 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fadlan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Hidup di tengah-tengah pandemi, menurut Albert Camus, adalah—sebuah pengasingan; dimana kita diasingkan dari banyak hal yang sebelumnya kita nikmati. Kita tidak lagi dapat menikmati kebebasan—bepergian, bekerja, ataupun makan bersama teman di luar rumah.
Pada saat seperti ini, saya kira tradisi filosofis kuno dapat membantu kita dalam menghadapi segala kegelisahan kita di masa pandemi. Kaum Stoa menulis secara ekstensif tentang bagaimana cara untuk menghadapi realitas yang terjadi di sekitar kita seperti krisis pandemi global hari ini.
Stoa merupakan sebuah mazhab filsafat yang didirikan oleh Zeno di Athena pada awal abad ke-3 SM. Stoa memiliki arti “beranda”. Penyebutan ini dilakukan karena dahulu Zeno sering mengajarkan filsafatnya di beranda. Ada beberapa tokoh Stoa yang kita kenal sampai hari ini, diantaranya; Posidonius, Cicero, Seneca, Epiktetus, dan Marcus Aurelius.
ADVERTISEMENT
Marcus Aurelius merupakan yang termasyhur di antaranya. Ia adalah salah satu pengikut Stoa terkemuka. Selain itu, ia juga merupakan seorang kaisar yang dicintai rakyatnya. Lamun demikian, bukan berarti segala sesuatu menjadi lebih mudah untuknya; Perang, pemberontakan politik, krisis ekonomi, hingga pandemi—terus menguji kesabarannya.
Sebagaimana kita hari ini, Marcus Aurelius juga pernah menghadapi hal yang sama seperti kita—ia sudah tidak asing lagi dengan pandemi. Di masanya ia juga pernah mengalami pandemi; Antonine’, demikianlah sebutan wabah yang merenggut hampir 5 juta orang di zamannya itu.
Selama masa krisis pandemi tersebutlah sang kaisar—membuat beberapa catatan yang tidak diterbitkan selama masa hidupnya. Karya ini kemudian dikenal dengan nama “The Meditations”. Karya yang mencatat nasihat-nasihat moral—panduan untuk mengembangkan secara tepat bagaimana keterampilan mental yang dibutuhkan di saat pandemi.
ADVERTISEMENT
Dia sangat menyukai ide-ide para pendahulunya seperti Epiktetus—dan selalu menerapkan filosofi Stoa pada situasi apapun. Dan, sebagaimana Epiktetus yang sangat ia kagumi, ia percaya bahwa “Bukan hal atau peristiwa tertentu yang meresahkan kita, tapi persepsi kita akan peristiwa tersebut." Artinya, gagasan/ide yang kita bentuk tentang realitas itu—sangat berpengaruh pada kondisi kita, terutama pada kondisi emosional kita.
Cara hidup Stoa ialah hidup bahagia tanpa dipengaruhi oleh hal-hal eksternal di luar dirinya. Dengan filsafatnya, mereka mengajarkan kita untuk dapat membedakan antara apa yang “dapat dikendalikan” dan apa yang “tidak dapat dikendalikan.” Orang Stoa modern biasanya menyebut ini dengan “dikotomi kontrol”.
Bagi mereka, dari semua hal yang terjadi di dunia ini, kita hanya dapat mengontrol apa yang ada di dalam diri kita (internal), seperti apa yang kita inginkan, apa yang perlu dilakukan, pikirkan, dan/atau takuti. Sementara segala sesuatu yang berada di luar dari diri kita (eksternal) seperti Covid-19 atau cuaca buruk yang kini tengah kita alami—tidak berada dalam kendali kita. Dan olehnya—menurut Stoa—adalah sia-sia lah jika kita stres karenanya.
ADVERTISEMENT
Stoa berpendapat bahwa realitas atau peristiwa yang terjadi merupakan fakta kosong yang berdiri sendiri di luar batas kendali kita—dan tanpa makna apapun. Mereka berargumen bahwa emosi negatif kita muncul dikarenakan pikiran kita menginginkannya. Ketakutan dan kesedihan muncul karena kekeliruan penalaran kita dalam melihat realitas.
Kebahagiaan atau kesedihan kita tidak bergantung pada sebuah peristiwa yang terjadi, karena pada dasarnya peristiwa tersebut sama sekali tidak bermakna apa-apa—dan bahwa ia bukan bagian dari emosi-emosi kita; Kekayaan bukan berarti kebahagiaan, kemiskinan bukan berarti kemalangan, hujan bukan berarti kesialan, dan pandemi bukan berarti kesedihan.
Mari kita pikirkan ini: mengapa ada yang senang ketika hujan dan ada yang justru marah ketika hujan?
Fakta bahwa ada perbedaan respons emosional pada satu peristiwa tersebut—cukup menunjukkan bahwa emosi kita muncul bukan karena hal-hal eksternal seperti hujan, tetapi muncul dari bagaimana cara kita berpikir tentangnya; Bagi mereka yang berpikir hujan sebagai sebuah berkah, tentu akan merasa senang. Sebaliknya, bagi mereka yang berpikir bahwa hujan adalah kesialan—tentu akan merasa marah.
ADVERTISEMENT
Saya kira itu benar bahwa terkadang pikiran negatif kita—seperti ketakutan akan sesuatu—melampaui fakta realitas yang sebenarnya. Tak jarang pikiran kita melebih-lebihkan sebuah situasi dengan opini-opini kita sendiri, yang alih-alih membuat sesuatunya menjadi lebih baik, justru menjadikannya lebih buruk daripada realitas yang sebenarnya.
Sewaktu kecil, saya termasuk anak yang sangat penakut. Terutama pada kegelapan. Acap kali bayangan mengerikan melintas di benak saya pada situasi gelap, seperti malam hari. Suatu waktu, ketika saya dalam perjalanan pulang sendirian di malam hari—saya merasa begitu ketakutan karena jalan menuju rumah begitu gelap (rumah saya jauh dari jalan raya) tanpa cahaya apapun—buruknya lagi rumah saya berdekatan dengan sebuah pemakaman tua.
“Bodoh!” Itulah kata yang terlintas di kepala ketika saya mengingat kembali ketakutan lugu masa kecil saya itu. “Memangnya apa yang menakutkan dari kegelapan dan makam tua itu?” Jika kita meminjam etika Stoa secara jernih, tidak ada yang salah dan menakutkan dari kuburan tua tersebut. Yang menakutkan adalah hanya pikiran atau opini-opini saya sendiri tentang kuburan tersebut, seperti: oh tidak! Jangan-jangan ada hantu bergentayangan!
ADVERTISEMENT
Dengan memahami filsafa Stoa—paling tidak dapat membuat saya menyadari bahwa realitas terkadang tidak seburuk apa yang saya pikirkan. Kegelapan di malam hari, kuburan tua, atau hujan adalah kondisi yang tentu saja diluar kendali saya. Saya menyadari bahwa pikiran saya lah yang membuat situasi tersebut menjadi lebih buruk dari kelihatannya. Kita lah yang menaruh makna dan emosi kita pada semua realitas.
Epiktetus pernah berkata "Bukan masalah-masalahmu yang mengganggumu, tetapi cara Anda memandang masalah-masalah itu. Semuanya bergantung pada cara Anda memandang sesuatu."
Dok: Pixabay.
Menilik situasi kita saat ini pun seperti itu. Jelas, tidak satu pun dari kita yang menginginkan hidup di tengah ganasnya Corona seperti ini, pun kita juga tidak dapat mengubah fakta akan keberadaannya. Kita hanya bisa menerimanya. Namun, bukan berarti kita tidak dapat melakukan apa-apa—kita bisa mengubah cara kita dalam menanggapinya, dan masing-masing dari kita dapat berusaha untuk melatih keberanian dalam menghadapinya.
ADVERTISEMENT
Saya bersepakat bahwa mungkin ini jauh lebih mudah diucapkan daripada dilakukan. Tetapi memandang setiap krisis atau masalah sebagai sebuah peluang positif adalah hal yang saban hari dilakukan oleh kaum Stoa di kehidupan mereka. Dan itu berhasil!
“Semua yang terjadi," kata Marcus Aurelius pada dirinya sendiri, harus dipandang sama “dengan mawar di musim semi dan buah di musim gugur." Dengan kata lain, bagi Marcus Aurelius, melalui latihan hidup Stoa, kita akan dapat belajar bagaimana cara menghadapi segala realitas yang terjadi dan mengendalikan persepsi atau opini kita akan realitas dengan lebih baik.
Kita memang bukan Seneca atau Marcus Aurelius. Namun, meskipun saat ini kita tidak dapat melakukan banyak hal sebagaimana di waktu normal, kita tetap bisa melakukan hal-hal positif lain, karena terjebak di rumah karena pandemi, itu bukan berarti kita tidak dapat hidup bahagia.
ADVERTISEMENT
Olehnya, mari berjanji untuk melakukan hal yang sama di tengah pandemi ini; Tetap di rumah dan terhubung dengan orang yang kita cintai, buatlah hobi baru, memasak, membaca, menulis, dan sebagainya. Manfaatkan dan nikmati setiap momen yang ada, karena hanya momen itulah yang kita miliki.