Tiga Saran Profesi Nan Halal untuk Buzzer yang Hendak Bertobat

Erwin Setia
Penulis cerpen dan esai.
Konten dari Pengguna
14 Oktober 2019 15:04 WIB
comment
10
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Erwin Setia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi profesi selain buzzer. Foto: Dok: Maulana Saputra.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi profesi selain buzzer. Foto: Dok: Maulana Saputra.
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Buzzer (istilah Indonesianya ‘pendengung’ atau ‘penggaung’) menjadi salah satu kata paling laku di belantara media sosial dewasa ini. Terlebih di kalangan para netizen yang sekaligus menjadi pengamat politik kelas warkop. Tetapi makna awal buzzer yang sebetulnya netral belaka, menjadi selalu berkesan buruk. Kata buzzer sudah mengalami peyoratif. Serupa dengan kata cebong dan kampret yang sebelum hiruk pikuk pemilu menyerang, hanyalah nama satwa biasa, lalu berubah dan dibenturkan seolah mereka bermusuhan. Padahal sampai sekarang saya belum pernah lihat ada katak dan kelelawar berantem.
ADVERTISEMENT
Menurut penelitian Oxford University, gaji seorang buzzer yang bertugas menggiring isu melalui media sosial sangatlah menggiurkan. Gajinya berkisar 1-50 juta. Pantas saja para buzzer itu semangat betul menjalani pekerjaannya. Lha wong gajinya bisa buat beli pizza lima ratus porsi dan minuman cola sampai perut meledak. Tak mengherankan.
Tapi dengar-dengar nih, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko mulai agak jengah dengan kelakuan para buzzer. “Kalau buzzer selalu melemparkan kata-kata yang tidak enak didengar, tidak enak di hati, nah itulah destruktif. Seperti itu sudah tak diperlukan. Semangat mendukung idolanya tetap dipertahankan, tetapi semangat untuk membangun kebencian harus dihilangkan,” demikian katanya.
Selain itu, media sekelas Tempo dan media-media lain juga belakangan gencar menerbitkan tulisan yang mengkritisi secara tajam perihal eksistensi buzzer. Menyikapi semua sinyal gawat di atas, saya rasa para buzzer semacam Denny Siregar dan kawan-kawannya harus mulai memikirkan untuk alih profesi.
ADVERTISEMENT
Walaupun saya tak setuju betul dengan kredo “orang jahat adalah orang baik yang tersakiti” (iya, quote yang belakangan jadi populer gara-gara film Joker itu loh--padahal di dalam filmnya nggak ada quote begitu), saya percaya dengan kredo sebaliknya “orang baik adalah orang jahat yang diberi arahan”. Dalam bahasa lebih gamblang: meskipun orang-orang macam Denny Siregar sudah banyak melakukan kejahatan dengan menyebarkan hoax dan opini-opini yang menyulut perpecahan antarwarga, kita masih bisa berharap beliau akan kembali ke jalan yang benar atau setidaknya mendekati benar.
Untuk itulah, kepada para buzzer yang hendak menangisi dosanya, saya punya saran tiga profesi pengganti buzzer. Profesi-profesi ini masih berkaitan dengan dunia digital, dan tentunya lebih baik, halal, dan semoga berkah.
ADVERTISEMENT
Para buzzer itu sangat piawai dalam membuat tulisan dan opini. Tentunya, mereka akan mudah melakukan profesi menjanjikan satu ini. Yap, pembuat quote dan caption. Percayalah, di dunia mahaluas dengan segala kemudahan berkat kemajuan teknologi, masih ada orang yang butuh dibuatkan quote dan caption (istilah Indonesianya: takarir) untuk melengkapi status media sosialnya.
Zarry Hendrik, selebtwit cum pembuat quote dan caption mengaku bisa meraup omzet puluhan juta dari bisnis pembuatan caption. Jumlah ini tentu saja setara dengan gaji menjadi buzzer. Bedanya, kendati profesi ini dianggap sepele dan tak jarang dibuli orang, ia adalah pekerjaan yang halalan-thoyyiban.
Salah satu metode kerja buzzer adalah dengan membuat akun-akun palsu atau bot untuk melancarkan penggiringan isu. Mereka, misalnya, bisa menggerakkan puluhan atau ratusan akun palsu secara otomatis untuk menuliskan twit tertentu agar suatu tagar menjadi trending topic. Belajar dari itu, seyogyanya para buzzer yang akan pensiun dari pekerjaan yang banyak mudaratnya itu dapat mengalihkan kemampuannya itu untuk hal lain. Salah satunya dengan menjadi penjual like dan followers akun media sosial.
ADVERTISEMENT
Percayalah, ini bukan profesi menipu. Karena toh sejak awal sudah ada semacam perjanjian bahwa like dan followers yang akan pelanggan dapat hanya berasal dari akun bot. Kalau yang berasal dari akun aktif, tentu lebih mahal.
Meskipun penghasilan dari profesi ini mungkin tidak sebanyak menjadi buzzer, asal ditekuni dan dikembangkan terus-menerus bukan mustahil akan membawa keuntungan yang tak kalah banyak daripada menjadi buzzer. Profesi ini walaupun berbau memanipulasi, tidak akan memecah belah bangsa. Itu poin pentingnya.
Kalau kita perhatikan, judul-judul sinema di televisi itu sangat tipikal. Perampok yang Bertobat, Pembunuh yang Bertobat, Koruptor yang Bertobat, Pelakor yang Bertobat, Tukang Tipu yang Bertobat, dan semisalnya. Nah, tidak ada salahnya kalau produser televisi itu sejak sekarang mulai menghubungi para mantan buzzer. Untuk apa? Apakah untuk merayunya menjadi buzzer lagi demi mempromosikan sinema garapannya? Tentu bukan, melainkan untuk mengajak para mantan buzzer itu bermain peran menjadi aktor dalam sinema berjudul Buzzer yang Bertobat.
ADVERTISEMENT
Saya yakin sinema itu kelak bakal ditonton banyak orang dan dengan cepat rating televisi yang menyiarkan tayangan tersebut meningkat pesat. Kalau perlu—dan saya kira ini sangat perlu—sekalian saja dibuatkan versi layar lebar Buzzer yang Bertobat. Saya tidak akan heran kalau dalam waktu beberapa hari saja penonton film itu menembus angka satu juta orang. Kapan lagi coba bisa lihat buzzer berakting layaknya Robert De Niro dan Leonardo DiCaprio?
***
Demikianlah, saya pikir profesi-profesi itu mesti dipertimbangkan oleh para buzzer. Bagaimanapun, cepat atau lambat kematian akan menimpa siapa saja—termasuk para buzzer—dan rasanya tak elok mati dalam keadaan menjadi seorang buzzer yang bikin banyak orang resah.