Sepak bola jadi cermin kehidupan jika kita melihat kasus yang ramainya bukan main beberapa hari terakhir, yaitu soal European Super League (ESL). Bukan, ini bukan soal permainan bolanya yang selama 90 menit itu. Ini soal “permainan” dan drama yang justru ditunjukkan di luar lapangan.
ESL dianggap sebagai “kematian sepak bola Eropa”. Dengan keuntungan finansial sebagai motif utamanya, menjalankan liga dengan 15 klub pendiri yang tidak bisa terdegradasi sama saja dengan mematikan aspek kompetisi dari olahraga itu sendiri. Wajar kalau suporter langsung berubah jadi oposisi.
Keenam klub pendiri ESL terutama yang asal Inggris—Arsenal, Chelsea, Liverpool, Manchester City, Manchester United, dan Tottenham Hotspur—langsung diserbu fan mereka masing-masing. Intinya, fan tidak setuju dengan ESL.
Lanjut membaca konten eksklusif ini dengan berlangganan
Keuntungan berlangganan kumparanPLUS
Ribuan konten eksklusif dari kreator terbaik
Bebas iklan mengganggu
Berlangganan ke newsletters kumparanPLUS
Gratis akses ke event spesial kumparan
Bebas akses di web dan aplikasi
Kendala berlangganan hubungi [email protected] atau whatsapp +6281295655814