Orang Togutil Sang Penjaga Hutan Halmahera

Konten Media Partner
14 April 2021 9:11 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Salah satu anak muda Orang Tugutil di hutan di Halmahera yang masuk wilayah Administrasi Tidore Kepulauan, Maluku Utara. Ia sedang membersihkan daging untuk dimasak di dalam bambu. (Foto: Faris Bobero/cermat)
zoom-in-whitePerbesar
Salah satu anak muda Orang Tugutil di hutan di Halmahera yang masuk wilayah Administrasi Tidore Kepulauan, Maluku Utara. Ia sedang membersihkan daging untuk dimasak di dalam bambu. (Foto: Faris Bobero/cermat)
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sayangnya, selama ini O’Hongana Manyawa atau akrab dikenal dengan sebutan orang Togutil itu kerap dipandang buruk ketika ada kasus pembunuhan di hutan Halmahera.
Peneliti dan akademisi Universitas Muhammadiyah Maluku Utara (UMMU), Syaiful Madjid, mengungkapkan kalau saja orang Togutil pembunuh, maka ia sudah mati dibunuh sejak lama.
Saat dialog ‘Mengenal O’Hongana Manyawa, Menepis Stigma’ yang digelar di Ternate oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) pada Sabtu, 10 April 2021, Syaiful mengaku, ia memang sudah sejak lama meneliti kehidupan orang Togutil.
Kala meneliti, ia tak pernah menemukan stigma buruk yang kerap dituduhkan kepada orang Togutil. Sejak muda, ia sudah rutin masuk-keluar hutan Halmahera, bertemu dan hidup dengan mereka.
Awalnya ia diperintahkan untuk menemani seorang peneliti yang datang ke Dodaga, sebuah perkampungan di Halmahera Timur (Haltim).
ADVERTISEMENT
“Saat itu di mana saya diminta oleh bapak untuk mendampingi seorang peniliti Haryo Martodiharjo untuk masuk ke dalam hutan,” tutur Syaiful.
“Usia itu, saya juga pernah mendampingi Josephus Platenkamp kemudian Christopher yang berasal dari Universitas Harvard dan mengejar juga di Universitas Arizona,” sambungnya.
Aktivitas itu membuat ia mengetahui banyak hal dari kehidupan mereka, seperti identitas asli Togutil, cara pembagian hutan, apa yang paling disukai, sampai pada apa yang mereka tidak sukai.
Ketika di hutan, ia malah banyak bertemu dengan orang pesisir dari Galela. Mereka datang mencari gaharu kamudian sering tinggal selama berminggu-minggu. Tapi mereka tampak biasa-biasa saja dan tidak menemukan ancaman apapun dari orang Togutil.
Syaiful meneceritakan, seiring waktu kehidupan orang Togutil mengalami pergeseran wilayah. Hal itu disebabkan dari proyek resettlement (pemukiman kembali). Ia menyebut itu bagian dari politik domestikasi (penjinakan) yang dilakukan oleh pemerintah.
Salah satu Suku Tobelo, saat pergi berburu hewan di wilayah hidup mereka, hutan Halmahera. Foto: Faris Bobero/cermat
Selain itu, kata Syaiful, memang ada penyebutan O’tau Gutili. Penyebutan ini, merujuk pada lokasi, atau tempat/rumah pengobatan O’Hongana Manyawa yang ada di hutan.
ADVERTISEMENT
Namun, kata Togutil memang penyebutan atau penyematan yang disebut oleh orang luar. Kemudian menyebar luas ke masyarakat, sehingga orang-orang terbiasa mengetahui orang yang tinggal di dalam hutan dengan sebutan Togutil.
Sementara itu, Ketua AMAN Maluku Utara, Munadi Kilkoda, mengatakan framing yang muncul di tengah masyarakat membuat pemerintah berupaya melakukan modernisasi terhadap orang Togutil.
Framing itu lantaran dihadirkan dalam media massa yang menyebut orang Togutil adalah orang bodoh, primitif hingga pembunuh. Padahal ini bertentangan dengan Hak Asasi Manusia (HAM),” tegas Munadi.
Antonius bersama anaknya, Igono, saat beristirahat di sungai, setelah berburu. Foto: Faris Bobero/cermat
Munadi bilang, media massa kerap memberitakan secara berlebihan peristiwa yang terjadi di hutan Halmahera. Apalagi belum adanya pembuktian hukum media sudah dengan mudah ikut menggiring opini publik.
ADVERTISEMENT
Ia menjelaskan, masyarakat adat yang ada di Indonesia tidak bisa dipungkiri bila telah hidup menetap, mereka akan tetap kokoh mempertahankan tanah adatnya sebagai kesatuan dari kehidupannya.
“Untuk masyarakat adat di Maluku Utara, khususnya orang Togutil, mereka masih hidup nomaden, tapi di antara lainnya telah dirumahkan atau hidup menetap seperti di Wasile Haltim,” ucapnya.
Kalau mereka berpindah-pindah, lanjut Munadi, karena dampak dari investasi yang berada di hutan Halmahera. Seperti yang terjadi di wilayah Akejira.
“Kehidupan nomaden orang Togutil saat ini sangat dipengaruhi tekanan investasi. Hal itu mengharuskan komunitas mereka yang di Akejira harus pindah. Kalau dulu pindahnya karena soal stok makan,” ucapnya.

Penjaga Hutan Halmahera

Munadi mengatakan, orang Togutil adalah benteng terakhir dari keberlanjutan ekologi di hutan Halmahera. Mereka adalah penjaga oksigen di masa depan.
ADVERTISEMENT
“Orang Togutil sendiri tak sekadar entitas tapi ini tentang penjaga alam hutan Halmahera,” ucap anggota DPRD Halmahera Tengah ini.
Anak perempuan dan ibunya, Orang Toguril di Hutan Halmahera. Foto: Faris Bobero/cermat
Hak masyarakat adat, kata dia, secara internasional maupun nasional telah diakui hak konstitusional dan hak kemerdekaan. Namun, pengakuan itu tidak selaras dengan kebijakan pemerintah saat ini.
Sementara itu, CEO cermat partner kumparan, Faris Bobero, yang dihadirkan berbicara dari sisi media mengatakan, dalam dunia jurnalisme segala sesuatu tidak harus diberitakan sebebas-bebasnya, tetapi dalam pekerjaan wartawan wajib menaati kode etik jurnalistik.
Faris memaparkan, dalam etika jurnalistik, pasal 8 itu menyebutkan wartawan Indonesia tidak menulis berita atau menyiarkan berita berdasarkan prasangaka atau diskriminasi terhadap seorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani.
Salah satu Orang Togutil di Wilayah Wasile, Halmahera Timur, Maluku Utara. Ia baru saja mengambil kayu yang sudah mati di hutan untuk dijadikan perapian di dapur. Foto: Faris Bobero/cermat
Prasangka adalah anggapan yang kurang baik mengenai sesuatu yang belum jelas. Sedangkan diskriminasi yang dimaksud adalah pembedaan perlakuan.
ADVERTISEMENT
“Tapi kenapa masih banyak media massa menulis tanpa mengetahui kondisi kalau ini suku apa, tapi sudah berani menulis memakai kata ‘suku Togutil, tanpa verifikasi. Bahkan, ada yang memberitakan berdasarkan sumber yang orang unggah ke tiktok. Sialnya, itu dilakukan oleh media di luar Maluku Utara,” ungkap Faris.
Ia mengaku, dalam menjaga kode etik jurnalistik ia enggan menulis kata ‘suku’ untuk orang Togutil. Karena ketika media menulis nama suku, maka publik akan membuat stigma buruk terhadap suku tersebut.
“Tidak benar kalau dikatakan suku (Bagi orang Togutil), karena bahasa yang digunakan adalah bahasa Tobelo,” tuturnya.
Faris bahkan mencontohkan, misalnya, kejadian pembunuhan terjadi di kota Weda, apakah media akan menulis suku di tempat tersebut yang membunuh. Faris pun bertanya, kenapa, kalau terjadi pembunuhan di hutan Halmahera, kenapa beberapa media tertentu langsung memframing, bahwa pembunuhnya adalah suku tertentu?
ADVERTISEMENT
Pernyataan ini, kata Faris, bukan berarti membela orang Togutil. Katanya, siapa saja pembunuhnya, harus bertanggungjawab, baik itu pelaku yang berasal dari komunitas Togutil.
“Namun, media kan tidak harus menyebut suku tertentu sebagai pembunuh. Itu sama saja menyebut secara keseluruhan,” kata Ketua Forum Pemred Maluku Utara ini.
Faris berharap, sesama teman-teman media di Maluku Utara, untuk selalu bersabar—tidak tergesah-gesah memberitakan kasus pembunuhan. Sebab, hingga saat ini, pihak kepolisian juga masih berupaya keras, mengidentifikasi kasus kejadian tersebut.
---
Julfikar Sangaji