Mungkinkah Anak Tunagrahita Ringan Merencanakan Bunuh Diri? Ini Kata Psikolog

Konten Media Partner
26 April 2022 16:51 WIB
ยท
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Barang bukti milik Valentino Tandjung yang ditemukan.
zoom-in-whitePerbesar
Barang bukti milik Valentino Tandjung yang ditemukan.
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Jasad Valentino Tandjung, siswa yang dilaporkan hilang selama satu bulan lebih dan ditemukan dalam kondisi tewas di belakang sebuah mal di Jalan Kali Rungkut, Surabaya, memang telah dikebumikan.
ADVERTISEMENT
Namun, banyak masyarakat yang bertanya-tanya terkait meninggalnya remaja 16 tahun ini dengan kondisi yang mengenaskan.
Berdasarkan penyelidikan tim forensik, Valent dinyatakan bunuh diri. Padahal Valent merupakan seorang anak berkebutuhan khusus (Tunagrahita ringan).
Lantas apakah hal itu bisa terjadi?
Menjawab hal itu, Dr. Mary Philia Elisabeth, S.Psi., M.Psi., Psi. mengatakan, dari sisi psikologi, seorang tunagrahita disebut sebagai disabilitas intelektual (DI).
Salah satu tandanya, kemampuan kognitif dari anak-anak yang mengalami disabilitas intelektual, mereka terlambat dalam berpikir dibandingkan dengan anak-anak pada umumnya.
"Nah terlambat itu dalam arti kemampuan dia dalam berpikir lebih lambat, memahami sesuatu lebih lambat, memproses sesuatu informasi lebih lambat, dan kalau dalam adaptasi itu juga akan berpengaruh pada lingkungan," kata Mary ketika dihubungi Basra, Selasa (26/4).
ADVERTISEMENT
Dosen Fakultas Psikologi Ubaya ini menuturkan, umumnya anak dengan disabilitas intelektual ringan, IQ-nya sekitar 50-55 sampai 70-75.
"Nah kategori ringan ini kalau dilihat dari kasus ini, karena dia (Valent) masuk di sekolah yang umum, berarti secara kognitif dia terlambat, tapi masih mampu mengikuti pelajaran apalagi di SMP Negeri. Dia juga masih berteman, masih pegang handphone, dan aktif berkomunikasi juga," tuturnya.
Ketika ditanya lebih lanjut terkait adanya dugaan bunuh diri yang dilakukan oleh Valent, Mary menjelaskan, jika dari sudut pandang psikologi forensik, harus bisa membedakan, itu adalah kasus bunuh diri atau pembunuhan.
"Kalau ini dibilang kasus bunuh diri, kita harus tahu itu ada jejak sebelumnya. Misalnya, anak ini mungkin sudah kelihatan murung, dia menutup diri, ada ujaran-ujaran dia sudah enggak ingin di dunia ini, itu menandakan sesorang yang mengalami stres berat dan kemungkinan berisiko dia melakukan upaya bunuh diri," jelasnya.
ADVERTISEMENT
Menurut Mary, seseorang dengan kecerdasan intelektual seperti apapun bisa melakukan hal tersebut, termasuk orang disabilitas intelektual ringan. Hanya saja hal itu kecil kemungkinannya, karena hal itu butuh perencanaan yang matang.
"Dalam kasus ini, dia kan bawa tas isinya peralatan sekolah. Kalau dia bunuh diri ya tidak begitu," tambahnya.
Mary mengungkapkan, jika anak seperti Valent cenderung penurut dan patuh. Apalagi kalau disabilitas intelektual kategori ringan, dia cenderung mudah percaya sama orang lain.
"Dia kemampuan adaptasinya terhambat, dia mengenali situasi sosial ini bahaya atau tidak buat dia ini sulit. Kalau tidak diajarkan ya enggak bisa. Dia diminta apapun akan dikasih, karena cara berpikiranya sederhana," ungkapnya.
Untuk itu, Mary berpesan kepada para orang tua, terutama yang mempunyai anak berkebutuhan khusus agar mulai mempersiapkan dan memperkenalkan anak sesuai dengan kemampuan kognitif dan bahasa anak.
ADVERTISEMENT
"Orang tua harus mulai mengajarkan, mana situasi yang berbahaya dan aman buat dia. Lalu kalau dalam kondisi tidak aman apa yang harus dilakukan itu harus diajarkan," pungkasnya.