Syekh Abdul Qodir Jaelani, Sang Pemimpin Para Wali

Berita Hari Ini
Menyajikan informasi terkini, terbaru, dan terupdate mulai dari politik, bisnis, selebriti, lifestyle, dan masih banyak lagi.
Konten dari Pengguna
10 Maret 2021 10:41 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Berita Hari Ini tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi sholat di padang pasir. Foto: istock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi sholat di padang pasir. Foto: istock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Syekh Abdul Qodir Jaelani merupakan salah satu tokoh spiritual Muslim yang mempunyai pengaruh besar. Namanya pun dikenal oleh banyak masyarakat Indonesia, baik oleh masyarakat awam maupun di kalangan santri dan ulama.
ADVERTISEMENT
Ini bukanlah suatu hal yang mengherankan, mengingat Syekh Abdul Qodir Jaelani adalah pendiri tarekat Qadiriyah. Beliau dijuluki sebagai pemimpin para wali (Sulthan al-Auliya’) dan pemuka para sufi (Imam al-Ashfiya’).
Mengutip Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani Tokoh Sufi Kharismatik dalam Persaudaraan Tarekat tulisan M. Zainudin (2002: 43) beliau mempunyai kedudukan mirip al-Ghazali sebagai seorang ahli fiqih yang menguasai usulnya (usul al-fiqh) dan memadukan antara tasawuf dengan Alquran dan sunnah Rasul. Berkat ilmu dan kepribadiannya yang luhur, beliau berhasil membumikan tasawuf.
Untuk memperluas pengetahuan tentang tokoh-tokoh besar dalam sejarah Islam, simak biografi Syekh Abdul Qodir Jaelani berikut ini:

Syekh Abdul Qodir Jaelani, Ulama Besar yang Sederhana

Ilustrasi sufi. Foto: Shutterstock
Mengutip Konsep Taubat Menurut Syaikh Abdul Qadir al-Jailani dalam kitab Tafsir al-Jaelani tulisan Sisa Rahayu (2014), beliau lahir di Jaelan, sebelah selatan laut Kaspia, Iran pada tahun 1077 M/470 H.
ADVERTISEMENT
Beliau tumbuh besar di lingkungan keluarga yang sederhana. Kakeknya yang bernama Abdullah Saumi merupakan seorang sufi, sehingga al-Jaelani muda banyak menghimpun ilmu dari sang kakek.
Keseriusannya untuk menuntut ilmu mendorongnya untuk merantau ke Baghdad yang saat itu menjadi pusat peradaban dan pengetahuan Islam. Kala itu usianya baru menginjak 18 tahun.
Beliau tercatat pernah belajar dari banyak ulama besar pada zamannya, di antaranya yaitu Ali bin Aqil al-Hambali, Abu Zakariya Yahya bin Ali at-Tibrisi, dan Muhammad bin Hasan al-Baqilani. Sedangkan salah seorang pembimbingnya dalam tasawuf adalah ad-Dabbas.
Mengutip Zainudin (2002: 31), di masa-masa belajar beliau gemar mujahadah, yakni berjuang sungguh-sungguh melawan hawa nafsu dan menghindari perbuatan yang dilarang Allah SWT. Al Jaelani sering berpuasa dan tidak mau meminta-minta makanan meski kelaparan. Beliau juga hanya memakai jubah dari bulu domba usang dan menapaki jalanan Irak tanpa alas kaki.
Kota Baghdad, Irak saat ini. Foto: Instagram/@baghdadcity
Di kemudian hari, al Jaelani menjadi tokoh ahli fiqih dan ahli sufi yang disegani. An Nadwi (1969) dalam buku Rijal al-Fikri wa’l-Da’wah fi’l-Islam menulis bahwa majelis pengajian al Jaelani dipenuhi oleh orang-orang Islam dari kalangan Kristen dan Yahudi, mantan perampok, pembunuh, dan para penjahat lainnya. Disebutkan beliau telah mengislamkan lebih dari 5000 orang Yahudi dan Nasrani serta menyadarkan lebih dari 100.000 penjahat.
ADVERTISEMENT
Ini semua dimungkinkan karena kepribadian al Jaelani yang tawadhu (rendah hati). Beliau akrab dengan para fakir miskin, tetangga, dan sangat memperhatikan anak-anak dan orang tua. Ini merupakan praktik dari ajaran tasawuf yang beliau hayati.
Ilustrasi menolong orang yang kesusahan. Foto: Freepik
Definisi tasawuf menurut Syekh Abdul Qodir Jaelani adalah beriman kepada Allah SWT dan berperilaku baik kepada makhluk. Mengutip Buku Putih Syaikh Abdul Qadir al-Jailani tulisan Said bin Mushfir al-Qathani, al Jaelani secara rinci memaknai tasawuf sebagai:
“Bertakwa kepada Allah, menaati-Nya, menerapkan syariat secara lahir, menyelamatkan hati, memgayakan hati, membaguskan wajah, melakukan dakwah, mencegah penganiayaan, sabar menerima penganiayaan dan kefakiran, menjaga kehormatan para guru, bersikap baik dengan saudara, menasehati orang kecil dan besar, meninggalkan permusuhan, bersikap lembut, melaksanakan keutamaan, menghindari dari menyimpan (harta benda), menghindari persahabatan dengan orang yang tidak setingkat, dan tolong menolong dalam urusan agama dan dunia”
ADVERTISEMENT
Melansir jurnal Konsepsi Tasawuf Amali Syekh Abdul Qodir Al-Jailani dalam Kitab Al-Ghunyah Li Thalib Thariq Al-Haq (2017: 176), Syekh Abdul Qodir Jaelani wafat setelah menderita sakit selama satu hari satu malam. Beliau meninggal di usia 91 tahun, tepatnya pada Sabtu 10 Rabiul Awwal tahun 561 H. Hidupnya didedikasikan untuk berbuat baik, mengajar, dan membimbing masyarakat.
(ERA)