Asal Muasal Cerita Damar Wulan dan Minak Jinggo

BANYUWANGI CONNECT
membacalah walau sebentar
Konten dari Pengguna
25 Agustus 2017 22:55 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari BANYUWANGI CONNECT tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Asal Muasal Cerita Damar Wulan dan Minak Jinggo
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Ilustrasi Gambar Damar Wulan dan Minak Jinggo By kent Ali
ADVERTISEMENT
Sudah banyak data yang memaparkan eksistensi tokoh Minak Jinggo (yang ternyata Raja Probolinggo) dan Damar Wulan (yang ternyata Raja Palembang). Mereka tokoh nyata yang dikutip secara ngawur, diacak profil serta domisilinya, dirusak maksud perangnya, dan dikaburkan sejarahnya sehingga terkesan hanya mitos. Ditambah lagi dicampur adukan cerita antar tokoh Aji Rajanatha (Bhre Wirabhumi II) dengan Raden Gajah Narapati (Bhre Wirabhumi III) dan Damar Wulan (Arya Damar) dengan Bhre Kahuripan VII (Aji Ratnapangkaja).
Cerita tentang Damar Wulan vs Minak Jinggo selama ini danggap sebagai sinisme para penguasa dan pujangga Mataram terhadap Blambangan. Tuduhan tanpa bukti.
Sebenarnya siapa sih yang nulis cerita ngawur dari abad 18 itu?
Cerita yang ditulis dalam "Serat Kanda" atau "Serat Damar Wulan" itu , ditilik dari isi­nya bersumber pada kitab babad tradisi pesisiran. "Serat Kanda" berisikan sejarah dinasti Mataram yang bercampur mitos dan le­genda; tidak disebutkan tahun kejadiannya.
ADVERTISEMENT
Sekitar tahun 1852-1853, seorang wanita berpengaruh dalam jajaran pejabat tinggi Belanda yang baru tiba di Semarang meminta diterjemahkan "Serat Kanda" ke dalam Bahasa Belanda. Cerita itu kemudian dipentaskan dalam sebuah karya seni di Mangkunegaran (salah satu pecahan Mataram) pada masa kekuasaan Adipati Mangkunegara IV, Raden Mas Sudira, yang berkuasa tahun 1853-1881 jauh-jauh hari setelah Mataram Runtuh.
Setelah Adipati Mangkunegara IV mangkat pada tahun 1881, Belanda menempatkan salah satu puteranya yg bernama Harya Suganda menjadi Bupati Banyuwangi keenam (1881-1888) agar proses penyebaran cerita Minak Jinggo itu lebih maksimal.
Jelaslah sudah bahwa "Serat Kanda" (ditulis abad ke-18) dan "Serat Damar Wulan" (ditulis pada 1815), ditulis jauh setelah masa kejayaan Blambangan, yakni ketika masa Surakarta-Mangkunegara dan kekuasaan Kompeni Belanda di Jawa tengah relatif kukuh.
ADVERTISEMENT
Kita, generasi komentator yang sukanya cuma bilang "ini ulah Mataram", "Minak Jinggo dan Damar Wulan adalah buatan pujangga Mataram", "Minak Jinggo dan Damar Wulan adalah mitos tidak nyata", dsb, sekarang kita tau, bahwa ini adalah cerita buatan Kompeni.
Sudah cukup jelas kan?
Jadi benar atau tidak, jika kita berpendapat bahwa ini adalah sinisme dan delegitimasi Mataram terhadap Blambangan?
Padahal Mataram sudah runtuh sejak tahun 1755 dan Blambangan juga sudah runtuh pada tahun 1774. Jadi siapa yg sinis pada siapa? Atau justru kita yg saling sinis dengan saudara sebangsa?
Akhirnya justru orang Banyuwangi mencurigai setiap orang Mataraman yang mulai berdatangan ke Banyuwangi pada abad 18, sedangkan orang Mataraman selalu memandang buruk orang Banyuwangi sebagaimana karakter Minak Jinggo.
ADVERTISEMENT
Adudomba adudomba mengadu domba...
Ketika kedua belah pihak sama2 saling membenci dan mencurigai, maka persatuan di Banyuwangi tidak akan terjadi. Dan jika persatuan tidak terjadi, maka Penjajahan Belanda akan terus abadi
(Mas Aji Wirabhumi)