Pinjaman Online: Membebaskan atau Malah Menjerat?

Konten Media Partner
15 Januari 2020 10:38 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ketua Posko Pelayanan Bantuan Korban Pinjol, Elliswida (kanan arah pembaca) sedang mengadvokasi korban pinjol sebelum audiensi ke OJK (Foto: Istimewa)
zoom-in-whitePerbesar
Ketua Posko Pelayanan Bantuan Korban Pinjol, Elliswida (kanan arah pembaca) sedang mengadvokasi korban pinjol sebelum audiensi ke OJK (Foto: Istimewa)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
BANDUNG, bandungkiwari - Belakangan ini kerap terdengar istilah pinjaman online atau pinjol. Pinjaman online adalah aplikasi yang mempertemukan peminjam dengan pemberi pinjaman secara online atau dalam jaringan (daring).
ADVERTISEMENT
Coba saja kamu berselancar di dunia maya, maka kamu akan mudah menemukan tawaran pinjol dari berbagai platform. Bahkan, penyelenggara aplikasi aktif menjemput bola kepada para calon peminjamnya, hingga person to person, melalui pesan singkat.
Pinjol yang menjadi bagian dari teknologi finansial ini muncul sekitar 2016. Saat itu, kurang dari 10 aplikasi yang beroperasi. Keberadaan aplikasi pinjol resmi diakui Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sejak diterbitkannya Peraturan OJK (POJK) Nomor 77 di akhir tahun 2016.
“Sebelum terbit POJK 77 belum marak sama sekali (pinjaman online), namun ada beberapa yang beroperasi. Mereka adalah pioneer di industri ini. Sewaktu pendaftaran di OJK, terdapat sekitar 20-30 pelaku usaha fintech peer to peer (P2P) lending (teknologi finansial pendanaan online) di awalnya,” kata Tumbur Pardede, juru bicara Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI), melalui pesan whatsapp, Senin (13/1).
ADVERTISEMENT
Seiring berjalannya waktu, perkembangan aplikasi pinjol ini, dari sisi ekonomi, bergerak positif. Berdasarkan hasil penelitian INDEF dan Asosiasi Fintech Indonesia berjudul “Studi Dampak Fintech P2P Lending terhadap Perekonomian Nasional”, fintech (teknologi finansial) memiliki dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi sebesar 0,45 persen dan berkontribusi terhadap produk domestik bruto (PDB) lebih dari Rp 60 triliun.
Penelitian yang dilakukan 2019 ini juga menunjukkan fintech mampu menambah lapangan kerja sebesar 362 ribu orang, baik secara langsung maupun tidak langsung. Sementara itu, fintech P2P Lending berdampak terhadap penurunan angka kemiskinan sebesar 177 ribu orang dan mengurangi ketimpangan (rasio gini) sebesar 0,01. Dengan kata lain, aplikasi pinjol turut berkontribusi membebaskan orang dari kemiskinan.
Terlebih lagi, pinjol punya keunggulan dalam hal kecepatan dan kemudahan proses pinjaman. Sasarannya pun orang-orang kategori unbanked (tidak punya rekening bank) dan underserved (tidak terlayani bank).
ADVERTISEMENT
Cara mengakses pinjaman juga gampang. Tinggal mengunduh salah satu aplikasi pinjol dan mengirimkan persyaratan. Untuk pinjaman cepat biasanya hanya foto kartu identitas. Jika disetujui, dana bisa langsung cair melalui transfer ke rekening bank atau kerja sama dengan pihak ketiga.
Dari segi jumlah, pertumbuhan aplikasi pinjol pun sangat signifikan. Kini, ada 164 aplikasi pinjol yang telah terdaftar di OJK per Desember 2019. “Jumlah itu melayani 17 juta lebih nasabah dengan dana yang disalurkan mencapai sekitar Rp 12 triliun. Kegiatan fintech lending ini sangat bermanfaat di masyarakat,” ungkap Ketua Satgas Waspada Investasi, Tongam Lumban Tobing, saat dihubungi melalui telepon, Jumat.
Sayangnya, keberhasilan ini dinodai sejumlah pelanggaran, bahkan mengarah tindak kriminal, yang dilakukan para penyelenggara aplikasi pinjol.
ADVERTISEMENT
Bila aplikasi pinjol mudah dicari di dunia maya, semudah itu pula keluhan atau pengaduan nasabah pinjol akan ditemukan. Umumnya, nasabah mengeluhkan terjerat hutang pinjol. Pengaduan soal penagih yang mengintimidasi, meneror, hingga persekusi juga bertebaran di internet.
Banyak pula petisi yang meminta OJK serta polisi membubarkan dan menindak aplikasi pinjol nakal. Hasil pencarian di Google, ditemukan tidak hanya satu, tapi 12 petisi. Satu di antaranya berjudul, “Tutup Fintech Liar dan Meresahkan” yang dibuat setahun lalu oleh Forum Komunikasi Korban Rentenir Online. Hingga Jumat (10/1) pukul 13.30 WIB, petisi itu telah ditandatangani 2.101 orang.
Salah satu ancaman yang disampaikan kepada korban pinjol (Foto: istimewa)
Di Kota Bandung, sebuah posko didirikan pada 2017 dengan tujuan memberi bantuan kepada korban pinjol. Sejak berdiri, posko telah menerima pengaduan dari sekitar 5000 nasabah. Bunga dan denda yang tinggi serta tenggat waktu pelunasan yang singkat menjerat para nasabah hingga hutangnya membengkak.
ADVERTISEMENT
“Dari satu orang nasabah bisa minjam ke 140 aplikasi dengan jumlah pinjaman hingga puluhan juta rupiah. Kalau yang kita pelajari kenapa mereka bisa berkembang (pinjamannya) sampai segitu banyak karena gali lubang tutup lubang,” kata Ketua Posko Pengaduan Pinjol, Elliswida saat dihubungi bandungkiwari.com, Sabtu (11/1).
Yang dimaksud Elis, korban terpaksa menutup hutang dari satu aplikasi dengan meminjam ke aplikasi lain agar terhindar bunga dan denda. Namun, cara itu justru makin menjerat korban.
Biasanya, korban nekad gali lubang tutup lubang lantaran tidak tahan diintimidasi, diteror, dan dipersekusi oleh si penagih. Praktik seperti ini pula yang dikeluhkan korban.
“Jadi sebetulnya, kalau kita lihat, bukan masalah ditagihnya, tapi lebih ke cara penagihan. Ada unsur teror, intimidasi, ancaman, perkataan tidak senonoh. Banyak juga yang mengandung unsur pelecehan seksual, SARA. Di situ banyaklah pelanggaran UU ITE. Belum lagi, ada yang sampai ngedit-ngedit (foto), sebar data foto-foto nasabah yang tidak bayar diedit sedemikian rupa, jadi telanjang lah, jadi gimana lah,” ujar Ellis.
ADVERTISEMENT
Nah, kalau sudah begini, apakah pinjol ini membebaskan atau menjerat? (Yuli Krisna)