Menapak Jejak Wayang Cepak Indramayu Bersama Dalang Legendaris

Konten Media Partner
21 Juni 2018 16:40 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Menapak Jejak Wayang Cepak Indramayu Bersama Dalang Legendaris
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Ki Akhmadi, dalang wayang cepak, memperlihatkan Wayang Cepak miliknya yang berusia kurang lebih 300 tahun. (Foto: Agus Bebeng/Bandungkiwari.com)
ADVERTISEMENT
BANDUNG, bandungkiwari - “Dulu…” ucap, Ki Akhmadi, kalimatnya terpotong tidak tuntas. Seolah ada sesuatu yang sangat besar tersekat di tenggorokannya. Matanya menerawang jauh ke depan. Namun kilauan airmata terlihat menyiratkan duka dan rindu yang bergulat menjadi satu.
Ki Akhmadi Senin (18/6/2018) sore itu berusaha merajut kembali potongan kenangan, menjadi paparan cerita ketika dirinya menjadi Dalang Wayang Cepak di Indramayu.
Ki Akhmadi yang kini berusia 71 tahun memang tidak banyak dikenal orang saat ini, terutama anak muda yang lahir dari rahim peradaban milenial. Namun pada masa kejayaan Wayang Cepak di Indramayu, siapa orang yang tidak mengenal nama Akhmadi Dalang Cepak? Kepiawaiannya memainkan gerak Wayang Golek Cepak membuat orang tergelak atau merenung memaknai diri.
ADVERTISEMENT
Dulu, Ki Akhmadi tampil bak primadona yang diburu waktunya untuk hadir pada setiap kenduri. Kehadiran Ki Akhmadi memainkan Wayang Cepak merupakan kebanggaan sang pemangku hajat. Bagaimanapun mendatangkannya harus dibayar mahal, karena berebut waktu dengan keinginan orang lain.
Maka tidaklah mengherankan semasa kejayaan Wayang Cepak dalam kurun satu bulan tiada hari terlewat tanpa tanggapan. “Dulu jadwalnya padat. Ga ada waktu istirahat,” tuturnya, kepada Bandungkiwari di rumahnya daerah Anjun, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat.
Namun itu dulu, berpuluh tahun lalu. Masa di mana seni tradisi menjadi identitas dan legitimasi. Di mana kebanggaan pada lokalitas mampu menerjang batas, pun di mana hiburan masih terhitung tidak terberangus peradaban teknologi saat ini.
Akan tetapi hari ini, semua hanya cerita. Tapak sejarah hanya hadir dalam memori kolektif para orangtua yang pernah mengikuti jejak wayang Cepak. Saat ini bahkan menurut Ki Akhmadi banyak warga Indramayu sendiri yang asing dengan Wayang Cepak.
ADVERTISEMENT
“Mungkin kalau mendengar tahu. Tapi kalau bedanya Wayang Cepak dengan Wayang Golek Purwa banyak yang tidak tahu,” ungkap Ki Akhmadi.
Menurut Ki Akhmadi perbedaan Wayang Golek Cepak dengan Wayang Golek Purwa terletak pada bentuk wayang yang tidak meruncing dengan mahkota yang Cepak atau Papak (rata). Kata Cepak yang berarti rata itu pulalah yang menjadi idiom penamaan Wayang Cepak.
Sementara untuk lakonnya sendiri, Wayang Golek Cepak tidak terpaku pada pakem wayang umum yang bercerita kisah Mahabarata atau Ramayana. Namun lebih berkisah tentang para raja yang terdapat dalam sejarah atau babad. Seperti kisah tokoh Islam Cirebon; Nyi Mas Gandasari, atau Ki Kuwu Sangkan.
Bisa pula menceritakan kisah terbentuknya wilayah Indramayu yang diawali cerita Endang Darma, pendekar perempuan yang berakhir dengan pertarungannya melawan Pangeran Wiralodra.
ADVERTISEMENT
“Bisa juga diselingi kondisi terkini. Namun tetap penuh dengan nuansa Islam,” tegasnya.
Bahkan menurut Ki Akhmadi, ketika akan mementaskan lakon dirinya selalu membaca kalimat Tauhid ‘Laa ilaaha illallah, Muhammad Rasulullah’ yang disertai menggerakkan Gunungan Wayang.
Hal itu dilakukan selain karena pakem keturunannya melakukan itu, pun karena dalam sejarahnya, konon Wayang Cepak ini pertama kali dipentaskan oleh Sunan Gunung Djati sebagai media dakwah untuk menarik masyarakat Cirebon agar masuk ke dalam ajaran agama Islam.
Terlepas dari karakteristik Wayang Cepak, menurut Ki Akhmadi pementasan wayangnya saat ini bisa terhitung dengan jari. Dalam satu tahun tidak lebih dari 5 kali dirinya mementaskan Wayang Cepak.
“Kalah sama hiburan lain. Kini sepi yang nanggap,” ucapnya pendek dengan dialek khas Indramayu, seraya memandang wayang peninggalan leluhurnya yang rebah tak berdaya di dalam kotak retak.
ADVERTISEMENT
Sepi tanggapan Wayang Cepak membuat Ki Akhmadi tidak lagi mengandalkan profesinya sebagai Dalang untuk menutup kebutuhan hidup. Warung kecil di dalam rumahnya yang sempit dan menghimpit tubuh Ki Akhmadi menjadi alternatif menjaga keberlangsungan hidup. Meski tidak memungkiri sesekali masih ada permintaan untuk mementaskan wayangnya.
Ki Akhmadi pemilik grup kesenian tradisional Wayang Cepak “Sekar Harum” ini sejatinya merupakan generasi ke-5 dari penerus Dalang Wayang Cepak, yang diawali dari Ki Pugas, Ki Warya, Ki Koja, dan Ki Salam. Keinginannya untuk menjaga Wayang Cepak peninggalan leluhur yang berusia lebih dari 300 tahun ini, terkendala dengan realitas keseharian yang pelik.
Pernah sekali waktu untuk memenuhi kebutuhan hidup terpaksa Ki Akhmadi terpaksa menjual beberapa Wayang Cepak peninggalannya berupa Hanoman, Naga dan Garuda.
ADVERTISEMENT
“Menyesal memang. Tapi ya gimana ga ada solusi lain,” ucapnya dengan mata berkaca-kaca, menyesali wayang warisan leluhurnya yang terjual.
Namun penjualan Wayang peninggalan itu berjalan tidak mulus, karena sampai saat ini uang penjualannya tidak kunjung tiba di tangan Ki Akhmadi. Dus hal yang membuat trenyuh, suatu kali dirinya harus menyaksikan seorang dalang Bule yang mementaskan Wayang Cepak miliknya, di tanahnya sendiri.
Tidak selesai di situ, pada 2009 lalu Ki Akhmadi jatuh sakit sampai beberapa bulan lamanya. Kebutuhan membeli obat tentu tidak bisa berharap dari siapa pun, dengan sangat terpaksa 1 set gamelan tua yang dimilikinya pun harus kembali dijual seharga Rp15 juta untuk menutup kebutuhannya.
Pergulatan bathin menjaga warisan leluhur dan kebutuhan hidup yang terus mendesak selalu menjadi pikiran Ki Akhmadi. Keinginan besarnya hanya menjaga agar Wayang Cepak tidak tergerus zaman, dan punah. Berbagai upaya dilakukannya untuk menjaga hal tersebut termasuk mendirikan Sanggar Sekar Harum agar terjadinya proses regenerasi dalang dan mengenalkan kembali seni Wayang Golek Cepak agar membumi di masyarakat.
ADVERTISEMENT
Sempat pula beberapa kali Ki Akhmadi melakukan gerakan pengenalan kembali Wayang Cepak kepada para pelajar dengan tajuk Aksi Moral Wayang Cepak bersama seniman di Indramayu. Pun mementaskan wayang di Bandung dan Jakarta pada acara Festival Wayang.
Namun di sisi lain secara pribadi Ki Akhmadi belum mampu mewariskan Wayang Cepak di keluarganya, karena keturunannya semua peremapuan, sehingga tak ada yang meneruskan jejaknya.
Berbincang jejak Wayang Cepak di Indramayu dengan Ki Akhmadi yang kini berusia 71 tahun ini menciptakan suasana Indramayu yang semakin panas. Pada usinya yang tidak lagi muda, Aki masih memiliki kecintaan yang dalam terhadap Wayang Cepak yang hampir punah. Entah berapa lama Ki Akhmadi mampu mempertahankan keberadaan Wayang Cepak peninggalan leluhurnya yang berusia ratusan tahun tersebut?
ADVERTISEMENT
Akankah kelak Wayang Cepak mati di tanahnya Sendiri? Atau hanya menjadi catatan sejarah di perpustakaan yang sunyi, yang menceritakan bahwa pernah ada seni Wayang Islami yang hidup di Indramayu.
Semoga tidak, karena sampai saat ini selain Ki Akhmadi masih ada beberapa kelompok seni Wayang Cepak di Indramayu yang terus bergulat melawan tajamnya belati modernitas. Tinggal persoalannya seberapa peduli pemerintah dan masyarakat setempat untuk menjaga warisan Wayang Islami ini selalu hadir dan mengada?
Semoga semua akan indah pada waktunya… (Agus Bebeng)