Sengketa Israel dan Palestina Tidak Bermotif Agama?

Argya Dharma Maheswara
Journalist - Writer - Photographer
Konten dari Pengguna
4 Januari 2022 10:24 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Argya Dharma Maheswara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Konflik Israel Palestina (Foto: Unsplash)
zoom-in-whitePerbesar
Konflik Israel Palestina (Foto: Unsplash)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Permasalahan sengketa lahan yang terjadi antara Israel dan Palestina merupakan masalah dunia yang tak kunjung selesai. Permasalahan itu bermula dari kekalahan Turki Ottoman pada Perang Dunia I ketika suatu wilayah bernama Palestina yang di dalamnya terdapat kota suci Yerusalem dimandatkan oleh Liga Bangsa-Bangsa kepada Inggris. Hal ini merupakan titik awal permasalahan tersebut di mana kelak setelah Perang Dunia II usai, Inggris memberikan tanah mandat tersebut kepada para eksodus komunitas Yahudi yang hampir menjadi korban keganasan fasisme Nazi Jerman di Perang Dunia II.
ADVERTISEMENT
Ini menimbulkan pertanyaan tentang apa motif dari sengketa ini. Beberapa menyangka konflik Palestina dan Israel adalah permasalahan bermotif teologi, beberapa lainnya mengira masalah tersebut bermotif politik kekuasaan. Lantas apakah konflik tersebut layak dinilai sebagai konflik teologi?
Nyatanya tidak, karena setiap agama pasti melarang kekerasan dan kekerasan atas nama agama adalah bentuk dari suatu kerakusan dari ambisi politik kekuasaan. Jadi tentu, konflik tersebut bukanlah konflik Islam melawan Yahudi ataupun sebaliknya, Justru, motif teologi tidak bisa didukung kuat karena Zionisme jelas berbeda dengan Yudaisme.

Zionisme sama dengan Yudaisme?

Tentara Israel (Foto: Unsplash)
Memang benar pendiri Zionisme, Theodore Herzl, merupakan seorang Jurnalis beragama Yahudi. Lantas, apakah itu simbol bahwa Yudaisme mendukung Zionisme? Tentu tidak, dalam teologi Yahudi memang benar ada tanah yang dijanjikan Tuhan kepada mereka di sekitaran Yerusalem, namun tanah tersebut hanya boleh ditempati ketika Mesias datang kelak.
ADVERTISEMENT
Jika berkaca dari latar teologi tersebut, jelas Zionisme merupakan hal yang bertentangan dengan Yudaisme. Itu sebabnya Zionisme tidak pantas dikatakan sebagai gerakan pro-Taurat. Bahkan pendirinya, Theodore Herzl merupakan seorang sekuler. Artinya pendirian Israel sebagai proyek Zionisme bukan berlandaskan pada alasan teologi.

Yerusalem dalam peradaban Islam

Yerusalem (Foto: Unsplash)
Di lain sisi, jika dilihat dari kacamata peradaban Islam. Memang benar secara teologis, Yerusalem merupakan suatu kota suci, namun apakah peradaban Islam selama hampir lima belas abad melindungi kota suci tersebut? Jawabannya adalah tidak. Ini cukup dirasakan ketika masa Perang Salib di mana serbuan sekitar seratus ribu pasukan Eropa kepada Yerusalem yang mengakibatkan pembantaian dan segala bentuk kekejaman kepada Muslim di Yerusalem diabaikan oleh peradaban Islam saat itu. Yerusalem baru kembali direbut oleh Salahudin Al Ayyubi yang mana setelah itu dinasti Ayyubiyah juga melakukan berbagai kekerasan terhadap masyarakat Nasrani dan Yahudi di Yerusalem.
ADVERTISEMENT
Di masa Turki Ottoman, Yerusalem cukup diperhatikan namun hanya sampai masa pemerintahan Al Qanuni. Setelah itu Yerusalem kembali diabaikan sampai kejatuhan Turki Ottoman setelah Perang Dunia I yang mengakibatkan Yerusalem menjadi tanah mandataris Inggris. Jika memang alasan konflik Israel dan Palestina adalah alasan teologi, mengapa peradaban Islam sendiri seakan mengabaikan Yerusalem?
Bahkan hari ini, konflik tersebut seakan menjadi blunder bagi peradaban Islam sendiri. Jika benar ada alasan teologi di balik konflik tersebut, kenapa negara dengan kekuatan militer sebesar Saudi Arabia mengabaikan Palestina? Negara sekuat itu jelas sebanding dengan peta kekuatan Israel, Turki sebagai negara dengan militer terkuat di kawasan tersebut juga seperti tutup mata terhadap konflik itu. Padahal, bisa saja Turki memperjuangkan Palestina secara militer dengan alasan teologis. Sebab walau Turki bukan negara Islam, Islam adalah mayoritas di sana. Dari sini bisa kita simpulkan bahwa konflik antara Palestina dan Israel bukanlah konflik teologi.
ADVERTISEMENT