Target Minyak dan Kegagalan Strategi Jepang di Pearl Harbor Tahun 1941

Anto Sugiharto
Seorang profesional migas, saat ini bekerja di Chevron Pacific Indonesia Riau. Penulis sejarah perminyakan di media tirto id, kompasiana, dan buletin perusahaan, lulusan ITB.
Konten dari Pengguna
25 Mei 2021 15:07 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Anto Sugiharto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Monumen Peringatan Pearl Harbor di Hawaii Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Monumen Peringatan Pearl Harbor di Hawaii Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Matahari minggu pagi itu bersinar cerah. 7 Desember 1941, hari di mana para pelaut bersantai akhir pekan. Kopral Marinir E.C. Nightingale, 20 tahun, berada di geladak kapal battleship USS Arizona yang tengah bersandar di pelabuhan. Sekitar jam 8.00 pagi, sirine bahaya serangan udara mendadak berbunyi.
ADVERTISEMENT
Sang Kopral bergegas meninggalkan meja sarapannya. Ledakan demi ledakan mulai terdengar bersahutan di sekeliling pangkalan itu. Tiba-tiba sebuah bom dengan presisi mengenai magazine dan menembus dua lapis dek baja di kapal USS Arizona. Akibatnya, ledakan berantai dahsyat merobek sisi kapal dan memicu kebakaran hebat. Dalam beberapa menit kapal perang raksasa itu tenggelam membawa serta korban 1300 nyawa pelaut termasuk seorang perwira tinggi di dalamnya.
Nightingale selamat setelah susah payah berenang ke pantai. Sisa-sisa kapal USS Arizona dengan korban jiwa terbanyak itu sekarang menjadi memorial national park di Hawaii sebagai pengingat serangan katastrofi pesawat tempur Jepang yang memicu Perang Pasifik selama PD II.
Ilustrasi serangan Jepang atas USS Arizona di Pearl Harbor (edit gambar oleh Anto Sugiharto)

Hawaii Berubah Menjadi ‘Neraka’

Begitulah kesaksian penyintas tragedi besar “The day of infamy’ di saat kebanyakan pelaut Amerika sedang pesiar darat 79 tahun lalu. Di bayangan kebanyakan orang, Kepulauan Hawaii sering disebut sebagai surga pantai dan perbukitan tropis di tengah Samudra Pasifik. Namun pagi itu sungguh berbeda, Hawaii bagaikan ‘neraka’.
ADVERTISEMENT
Badai serangan kejutan kelompok pesawat tempur AL Jepang (IJN-Imperial Japanese Navy) berhasil meluluhlantakkan pangkalan AL Amerika terbesar milik Armada Pasifik yang terletak di Pearl Harbor, Pulau Oahu, Hawaii. Seperti dikutip dari situs Eyewitness to History: “Attack at Pearl Harbor, 1941” (1997).
Sungguh pagi kelabu menyisakan agoni panjang. Tercatat sekitar 2.403 orang pelaut dan sejumlah sipil kehilangan nyawa serta ribuan lainnya terluka akibat serangan udara yang berlangsung kurang dari 1.5 jam itu. Gelombang serangan udara senyap Jepang yang dipersiapkan secara rapi namun cenderung nekat dilakukan setelah menempuh perjalanan laut 6000 km selama 11 hari menyeberangi lautan Pasifik yang ganas dari ‘marshalling point” di Tankay Bay, Kepulauan Kuril. Armada besar IJN terdiri dari 6 kapal induk, 24 kapal perang pendukung termasuk 9 kapal tanker minyak dan 35 kapal selam, terlibat di dalamnya.
ADVERTISEMENT
Dua sortie serbuan udara Jepang bertumpu pada aksi sejumlah 353 kombinasi jenis pesawat tempur serang Zero, pengebom tukik Val, pembom ketinggian, dan peluncur torpedo kate terbang rendah sejauh 370 km dari kapal induk yang staging di utara mengarah ke titik sasaran kunci. Awalnya tiga formasi besar gelombang pertama mereka terdeteksi stasiun radar Hawaii namun lenyap karena blindspot pegunungan memanjang Koolau dan Waianae. Di saat yang sama terjadi pula penyusupan senjata rahasia lima kapal selam mini (midget submarine) ke pelabuhan Pearl Harbor.

Obsesi ‘Imperium Asia Tenggara” Yamamoto

Laksamana Madya Isoroku Yamamoto, Panglima komando armada laut gabungan Jepang, berharap serbuan udara kilat Pearl Harbor yang mendahului deklarasi perang itu akan menjadi penentu nasib armada Pasifik Amerika agar tidak mengganggu kelangsungan aksi invasi mereka yang sedang bergerak ke wilayah kepulauan Pasifik dan Asia Tenggara-termasuk Indonesia. Tujuannya untuk menguasai sumber minyak bumi, karet, timah dan bahan baku industri lainnya sebagai pengganti embargo dagang oleh Amerika, Inggris dan Belanda.
ADVERTISEMENT
Saat itu ladang-ladang minyak bumi milik Royal Dutch Shell atau mitranya di wilayah Indonesia dan Borneo mampu menghasilkan produksi sekitar 165.000 barel minyak per hari—menyamai seluruh produksi minyak di Eropa. Dengan sisa cadangan minyak domestik yang hanya cukup untuk 18 bulan saja akibat embargo itu, maka grand design invasi Jepang adalah membangun suatu imperium Asia Tenggara yang kaya akan sumber daya alam.
Yamamoto terobsesi kesuksesan taktik perang Laksamana Togo, 36 tahun lalu. Serangan dadakan dan pengepungan Togo terbukti sukses membungkam pangkalan militer Rusia Port Arthur di Manchuria (wilayah China) dan Selat Tsushima dengan melibatkan aksi gabungan armada laut dengan pasukan darat sekaligus mengawali perang Jepang-Rusia (1904-1905). Perang itu lantas mengangkat status Jepang menjadi simbol kemenangan bangsa Asia atas Eropa di era perang modern.
ADVERTISEMENT
Sebulan sebelum hari-H Pearl Harbor, Yamamoto mengkaji aksi serangan senyap serangan udara Inggris terhadap pangkalan AL Italia di Taranto, Laut Mediterania, pada episode awal perang dunia II di Eropa Barat. Serangan dilakukan dalam kegelapan malam menggunakan kekuatan pesawat tempur dari kapal induk yang dicatat sebagai pertama kali dalam sejarah. Dua gelombang aksi dari 21 pesawat swordfish bersayap ganda jenis kuno berhasil membuat kerusakan masif. Setidaknya 3 kapal perang battleship, 2 pesawat tempur dan depot minyak Italia dapat dihancurkan. Regia Marina (AL Italia) pun jatuh moral.
Hampir setahun lamanya, Takuno - panggilan kecil Yamamoto, mempersiapkan serangan secara matang termasuk memodifikasi torpedo udara dengan sirip kayu agar dapat meluncur efektif di kedalaman laut dangkal Pearl Harbor—sekitar 12 meter.
ADVERTISEMENT
Operasi AI Jepang di Pearl Harbor 7 Desember 1941 akhirnya “sukses” dieksekusi. Namun kenyataan di akhir, serangan dadakan itu tidak mampu secara signifikan melemahkan kekuatan operasional armada Pasifik Amerika mengutip tulisan James Holmes dalam Why didn’t Japan finish Job? (2011).

Hawaii “The Day of Infamy”

Ketika terjadi serangan “di hari buruk itu”, terdapat sekitar 43,000 personel gabungan pasukan militer serta 96 kapal perang dan 4 kapal selam armada Pasifik yang sedang bersauh di Puuloa, nama Hawaii untuk Pearl Harbor. Sisa armada berada di luar pangkalan termasuk tiga kapal induk yang menjadi bidikan utama namun terselamatkan karena sedang berlayar jauh diluar pangkalan atau dalam perawatan rutin di San Diego. Sebanyak 21 kapal perang mengalami kerusakan besar, kandas ataupun karam serta 188 pesawat tempur hancur. 8 kapal perang tempur utama—termasuk USS Arizona turut menjadi korban.
ADVERTISEMENT
Usai serangan, kekhawatiran Yamamoto malah menjadi kenyataan. Alih-alih lumpuh, kekuatan raksasa Amerika segera bangkit dan bersiap membalas. Beberapa bulan setelah serangan itu, Pearl Harbor dapat difungsikan kembali sebagai basis kapal selam dan markas intelijen yang nantinya berperan besar dalam aksi balasan terhadap armada Jepang di Perang Pasifik. “Bangkitnya” Amerika malah semakin menjauhkan Jepang dari opsi meja diplomasi seperti skenario pertaruhan akhir Yamamoto di atas kertas, menggadang gadang nasib musuhnya kelak.

Target Minyak yang Dilewatkan

Chuichi Nagumo, bawahan Yamamoto, memimpin gugus tugas raid ke Pearl Harbor di atas kapal induk Akagi. Ia lebih menguasai peperangan dengan armada kapal perang, sehingga menyangsikan keefektifan tumpuan serbuan udara ke Pearl Harbor seperti digagas Yamamoto.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, Nagumo malah ditekan untuk menjaga keutuhan armada laut oleh pimpinan tertinggi AL Jepang. Seperti dikisahkan dalam film layar lebar, perintah eksekusi serangan dijalankan Nagumo dengan 'ambigu' dan ‘keraguan’. Puncaknya, usai dua gelombang serangan udara, Nagumo yang berada di atas flagship Akagi melakukan keputusan penting-ia membatalkan serangan udara gelombang ketiga terhadap fasilitas minyak dan logistik Pearl Harbor.
Nagumo merasa dua aksi serangan udara mereka telah berhasil dan ia berupaya menghindari kerugian lebih besar setelah kehilangan 29 pesawat dan 5 kapal selam mini berikut total 64 awaknya, ditambah keyakinan hilangnya momentum pendadakan. Keputusan pembatalan Nagumo yang melenceng dari rencana awal telah memantik sorotan dan kritikan di lingkungan IJN sendiri, seperti ditulis Naval Historical Society of Australia dalam artikel Leadership: Vice Admiral Nagumo & the Third Wave Decision (2006). Yamamoto awalnya setuju atas keputusan Nagumo, namun di akhir ia pun menyesalkannya.
ADVERTISEMENT
Logistik terutama bahan bakar minyak menjadi elemen strategis dalam sebuah konflik bersenjata, apalagi dengan jumlah yang terbatas seperti di Pearl Harbor. Namun bagi perencana militer Jepang, target vital tersebut diputuskan bukanlah termasuk sasaran prioritas sehingga menjadi bagian akhir serangan atau bahkan tak masuk rencana aksi sama sekali. Jepang lebih fokus mengincar potensi ancaman langsung bagi mereka berupa target sitting duck kapal perang dan kapal induk di pangkalan serta basis pesawat tempur, seperti tulisan James Holmes (2011).
Target strategis itu akhirnya dilewatkan begitu saja oleh pesawat-pesawat tempur Yamamoto. “Tora..Tora..Tora”, begitulah sandi radio komunikasi pilot “kido butai” yang mengkonfirmasi bahwa semua target utama serangan mereka sudah diselesaikan.

Kemenangan Taktis, Bukan Strategis

Di atas kertas Jepang memang mendapat kemenangan taktis atas Pearl Harbor namun tidak halnya dengan kemenangan strategis yang diharapkan Yamamoto. Nagumo pun dikritik karena membatalkan serangan gelombang ketiga yang berpotensi menghancurkan tangki-tangki BBM, fasilitas pembangkit tenaga listrik, gudang amunisi, dok perbaikan kapal selam dan kapal perang.
ADVERTISEMENT
Semua tetap utuh. Sebenarnya dengan menyasar sasaran utama infrastruktur dan fasilitas logistik, jatuhnya korban nyawa tetap tak terhindarkan namun dapat diminimalkan. Mengutip kata-kata Yamamoto sendiri “Para pelaut dari negara yang berperang adalah untuk melawan kapal, bukan (terhadap) orang-orang di dalamnya” seperti ditulis Naval Historical Society of Australia berjudul Leadership: Admiral of The Fleet Isoroku Yamamoto (2007).
Pihak Amerika yang melakukan blokade ekspor minyak disebabkan invasi Jepang terhadap China tahun 1937, sebenarnya menyadari akan kelemahan fasilitas penyimpanan BBM permukaan mereka di Pearl Harbor yang rawan terhadap serangan udara. Saat raid terjadi memang sedang dibuat konstruksi penyimpanan BBM tahan bom di bawah tanah bernama Red Hill Underground Fuel Storage Facility yang terletak di bawah perbukitan sekitar Pearl Harbor. Beruntunglah sasaran empuk depot bahan bakar yang masih berada di permukaan ‘dilewatkan’ dalam serangan Jepang itu.
ADVERTISEMENT
Dapat dibayangkan seandainya fasilitas depot minyak yang menyimpan 4.5 juta barel BBM untuk kebutuhan suplai pangkalan selama 10 bulan dan hanya berjarak beberapa mil dari tempat sandar Armada Pasifik turut diserang, betapa dahsyatnya inferno yang mungkin terjadi.
Amerika memang superior dalam industri manufaktur dunia dan segera dapat mengganti semua kerusakan armada perang mereka dari tanah airnya, namun ketiadaan BBM dan dukungan fasilitas logistik di Pearl Harbor serta faktor waktu pemulihannya, akan berujung kelumpuhan kekuatan inti armada Pasifik dalam waktu yang lama. “Mungkin itulah keberuntungan di antara kemalangan yang dialami Amerika di Pearl Harbor dan itu menjadi kesalahan fatal aksi penyerang”, begitulah ungkapan Laksamana Nimitz dalam memoar berjudul “Our Good Luck at Pearl Harbor” (1958).
ADVERTISEMENT
Kebutuhan minyak armada Pasifik itu biasanya menunggu pasokan dari pangkalan AL di San Diego, Pantai Barat California, yang berjarak lebih dari 4000 km. Setidaknya perlu waktu berminggu minggu perjalanan laut menempuh jarak tersebut melewati rute pelayaran lautan Pasifik yang rawan akan sergapan Jepang atau aliansinya.
Saat itu sebenarnya masih tersisa dua kekuatan armada AL Amerika yang lain namun semua dalam kondisi penugasan penting. Armada Asiatic di Filipina berjarak 8700 km dari Hawaii—sedang bersiaga atas invasi darat Jepang ke Asia Tenggara dan terakhir Armada besar Atlantik sedang full duty untuk patroli dan pengawalan konvoi menjaga status kenetralan Amerika di Atlantik—di tengah kecamuk Perang Eropa beberapa waktu sebelumnya.
Ketiadaan sumber minyak bumi secara geologis di daratan vulkanik kep. Hawai di tengah lautan Pasifik menjadi faktor kritis logistik Pearl Harbor yang menjadikannya lebih rapuh bagi sebuah pangkalan militer raksasa.
ADVERTISEMENT
Beruntunglah kehancuran logistik di Pearl Harbor tidak terjadi sehingga mengurangi kerugian Amerika. Andaikan darurat logistik tersebut nyata—mengutip ucapan Laksamana Nimitz (1958), mungkin perlu waktu satu hingga dua tahun untuk membangun utuh kembali armada Pasifik agar dapat memukul balik kekuatan armada Kaigun yang sedang mendominasi wilayah Pasifik Barat sementara Rikugun—pasukan daratnya mulai menginvasi Asia Tenggara.

Amerika Terjun dalam Perang Dunia II

Berkaca dari ungkapan Nimitz, serangan Pearl Harbor sebenarnya bisa dianggap gagal secara strategis karena armada Pasifik walaupun pincang mampu bangkit kembali dalam waktu cepat. Salah satu faktor pemulihannya adalah kekuatan logistik dan bahan bakar.
Masyarakat Amerika bersatu mendeklarasikan perang dan segera masuk ke dalam arena PD II menandai dimulainya teater Perang Pasifik. Tak dinyana, enam bulan kemudian dengan sisa kekuatan armada Pasifik dari Pearl Harbor berikut dukungan logistik dan ketepatan intelijennya, akhirnya Jepang harus menelan kekalahan pahit di pertempuran laut Midway yang menjadi titik balik kemenangan AL Amerika atas Jepang dalam pertempuran laut sepanjang PD II itu. Jepang harus membayar mahal akibat ofensif mereka di Pearl Harbor.
ADVERTISEMENT