Diblokirnya TikTok Shop dan Nasib UMKM

Andi Riza
Konsultan Digital Marketing dan SEO Specialist di PT Jawara Data Nusantara
Konten dari Pengguna
26 September 2023 18:27 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Andi Riza tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
TikTok Shop. Foto: Ascannio/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
TikTok Shop. Foto: Ascannio/Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Hari ini, Selasa, 26 September 2023, Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan memutuskan untuk merevisi Permendag Nomor 50 tahun 2020 tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik.
ADVERTISEMENT
Hal ini menegaskan pemerintah akan melarang penggabungan layanan perdagangan e-commerce di dalam platform media sosial. Maka praktik semacam itu yang dilakukan oleh TikTok Shop akan secara resmi dilarang.
Mendag menjelaskan TikTok sebagai social-commerce hanya diperbolehkan untuk memfasilitasi kegiatan promosi barang atau jasa. Ia menegaskan, platform social-commerce tidak boleh melakukan kegiatan transaksi jual beli secara langsung.
Pertanyaannya apakah hal ini sudah dianggap melindungi UMKM yang saat ini sedang dalam kondisi lesu karena dianggap kalah bersaing dengan platform penjualan online. Untuk menjawab ini, maka kita perlu melihat lebih dalam apa pangkal permasalahannya, baru kemudian mencari solusi yang tepat.
Masalah utama mengapa UMKM kalah bersaing adalah banjir produk impor dengan harga sangat murah. Realita di lapangan baik di marketplace maupun di social-commerce seperti TikTok Shop, mudah menemukan produk-produk yang dijual dengan harga sangat murah, bahkan jauh lebih murah dibanding HPP produk buatan UMKM dalam negeri. Ini praktik predatory pricing yang akan dengan cepat mematikan UMKM.
TikTok Shop. Foto: Koshiro K/Shutterstock
Ketua Asosiasi Pengusaha Logistic E-Commerce (APLE) Sonny Harsono mengatakan persoalan barang-barang impor ilegal yang diperjualbelikan dengan sangat murah di platform marketplace lokal maupun di social-commerce sudah lama terjadi imbas tidak adanya aturan ketat terkait penjualan barang online.
ADVERTISEMENT
Hal senada dikatakan oleh Ketua Asosiasi Logistik Digital Ekonomi Indonesia (ALDEI) Imam S, bahwa dugaan impor ilegal bisa mematikan UKM dalam negeri. Hal itu dilihat dari banyak biaya yang dipangkas secara tidak resmi sehingga harga pun bisa jauh lebih murah.
Masalah kedua yang terjadi adalah produsen-produsen besar menjual langsung produknya ke end user. Marketplace maupun social-commerce menyediakan fasilitas ini. Maka toko-toko terbanyak menjual produk selama periode big sale adalah toko milik produsen produk itu sendiri.
Hal ini mematikan jalur distributor di bawahnya, terutama UMKM sebagai pengecer di lapangan. Harga yang ditawarkan produsen bisa lebih murah daripada harga eceran di kalangan UMKM.
Masalah ketiga adalah kemampuan UMKM dalam beradaptasi dengan bisnis digital. Di berita yang ada, penjual-penjual pakaian di beberapa sentra grosir seperti Tanah Abang, mengeluhkan bahwa ketika mereka pindah ke Shopee Live atau TikTok Live, tetap tidak ada yang menonton, apalagi yang membeli.
Kondisi Pusat Mode Tanah Abang yang sepi pengunjung, di Jakarta, Senin (11/9/2023). Foto: Annisa Thahira Madina/kumparan
Akibatnya beberapa penjual demo untuk mendesak Pemerintah menutup seluruh platform penjualan online yang ada. Pola pikir semacam ini keliru. Digital marketing bukanlah sesuatu yang dikuasai secara instan.
ADVERTISEMENT
Perlu proses yang panjang dan berkesinambungan. UMKM harus mau menyisihkan modal (waktu, tenaga, dana) untuk mengadopsi pemasaran digital, tidak asal berjualan online lalu pengunjung kembali ramai.
Masalah keempat adalah efek pandemi. Dalam hasil riset yang dipaparkan oleh Bank Indonesia disebutkan sebanyak 87,5 persen UMKM terdampak pandemi Covid-19. Dari jumlah ini, sekitar 93,2 persen di antaranya terdampak negatif di sisi penjualan.
Masa pandemi baru saja berlalu, tapi imbas pukulan ekonominya masih terasa sampai sekarang. UMKM yang terdampak PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) dan PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) belum sepenuhnya pulih dan bangkit.
Modalnya sudah banyak tergerus kegiatan bertahan hidup dan aktivitas jual-beli secara langsung (tatap muka) juga tidak serta merta kembali seperti dulu. Masyarakat sudah terbiasa jual beli online selama dua tahun masa pandemi. Ada perubahan pola belanja di masyarakat.
ADVERTISEMENT
Nah dengan beberapa masalah yang diuraikan di atas, apakah penutupan TikTok Shop adalah solusinya?
TikTok Shop. Foto: farzand01/Shuttersock
Jika boleh berpendapat, seharusnya Pemerintah menyelesaikan permasalahan penting seperti pengetatan impor produk dan pengawasan produk e-commerce yang ada di tanah air. Penjualan langsung oleh produsen ke konsumen akhir harusnya dilarang, ini merusak sistem distribusi dan harga jual di masyarakat.
Untuk masalah edukasi pemasaran dan penjualan digital, saya lihat di level pelatihan, pemerintah sebenarnya sudah sangat gencar. Maka hal berikutnya bisa diikuti dengan pendampingan dan bimbingan yang berkesinambungan.
Bagaimana dengan TikTok Shop? Menurut saya tidak perlu ditutup, tapi wajib diatur. Pemerintah sebagai regulator memiliki hak untuk menertibkan e-commerce yang ada di Indonesia termasuk social-commerce.
ADVERTISEMENT
Bagaimanapun, baik marketplace maupun social-commerce memiliki dampak yang positif bagi perkembangan ekonomi dan berpotensi untuk meningkatkan penjualan UMKM secara online. Aturannya harus jelas, sehingga UMKM juga memiliki kesempatan yang sama menikmati hal ini dan tidak dimakan sendiri oleh pemain-pemain besar.
Harapan saya, pemerintah lebih memperhatikan payung hukum untuk kegiatan-kegiatan e-commerce ke depannya, sehingga meminimalisasi polemik yang ada dan menghindari keputusan yang dibuat secara terburu-buru.