Ini Penyebab Gubernur Serius Nyatakan ‘Perang’ dengan Menteri Susi

Konten Media Partner
4 September 2019 19:52 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Ambonnesia.com-Ambon,-Gubernur Maluku Murad Ismail memprotes kebijakan menteri Susi terkait moratorium yang dinilai merugikan masyarakat Maluku.
ADVERTISEMENT
"Saya minta dukungan semua komponen bangsa di Maluku untuk moratorium Laut Maluku karena yang diberlakukan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti ternyata merugikan Maluku," kata gubernur.
Murad merujuk pada data ikan tuna di Laut Banda, Kabupaten Maluku Tengah stelah pengoperasiannya melalui sistem navigasi berbasis satelit (Global Position System-GPS) oleh pengusaha, maka ikan yang ditangkap tersebut bermigrasi ke laut Jawa yang selanjutnya ditangkap untuk tujuan ekspor dengan label dari Surabaya, Jawa Timur.
Gubernur juga menyoroti izin yang diberikan Menteri Susi Pudjiastuti kepada 1.600 armada penangkap ikan di Laut Arafura, Kabupaten Kepulauan Aru dengan produksi 4.100 kontainer setiap bulan.
Apalagi, lanjut dia, praktek tersebut tidak memberikan kontribusi bagi pendapatan asli daerah (PAD) Maluku. Termasuk pengujian mutu ikan yang tidak lagi diterbitkan di Ambon, tetapi saat ini diterbitkan di Sorong, Papua Barat.
ADVERTISEMENT
"Tragisnya dari 1.600 unit kapal penangkap ikan yang diizinkan Menteri Susi beroperasi di Laut Arafura, ternyata tidak satu pun Anak Buah Kapal (ABK) berasal dari Maluku," tandasnya.
Sementara itu, Manager Advokasi Sektretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran, Ervyn Kaffah salut dengan pernyataan 'perang' dari Gubernur Maluku Murad Ismail kepada Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti.
Namun, menurut Ervyn, gubernur beserta jajarannya perlu mengetahui data ihwal dana bagi hasil (DBH) pajak dan DBH Sumber Daya Alam (SDA) di daerah itu.
Dia mengatakan, hanya sebagian pernyataan gubernur yang mudah ditindaklanjuti. Sementara, sebagian besar memerlukan perubahan Undang-Undang (UU) dan regulasi teknis. Langkah koordinasi dan diskusi dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dipandang lebih masuk akal untuk menemukan solusi.
ADVERTISEMENT
Ervyn mengatakan, skema penerimaan negara berkaitan dengan wewenang pengelolaan wilayah laut dimana jarak lebih dari 12 mil adalah wewenang pemerintah pusat. Sementara daerah memiliki kewenangan kurang dari 12 mil (dibagi antara provinsi dan kabupaten/kota).
Selain itu, wewenang perizinan berkaitan dengan Gross Tonnage (GT) kapal penangkap maupun pengangkut ikan. Kedua hal tersebut diatur oleh UU nomor 23 tahun 2014 tentang pemerintahan daerah.
“Jika ingin ada perubahan skema kewenangan, maka harus dilakukan revisi pembagian wewenang tersebut dalam Undang-Undang. Hal itu cukup sulit dilakukan. Butuh effort bersama dari pemerintah daerah untuk melakukannya,” jelas Ervin, Rabu (4/9).
Ervyn menjelaskan, pendapatan negara dari sektor sumber daya alam (SDA) meliputi dua sumber, yakni pajak dan pendapatan negara bukan pajak (PNBP). Dari penerimaan tersebut, daerah-daerah kemudian mendapatkan transfer dari pusat berupa dana bagi hasil (DBH Pajak dan DBH SDA).
ADVERTISEMENT
“Hal tersebut juga berlaku di sektor perikanan, dimana daerah mendapat DBH pajak (PPh Badan dan PPh perseorangan) atas usaha di sektor perikanan, dan DBH SDA sektor perikanan,” jelasnya.
Disisi lain, tidak ada hubungannya antara kebijakan moratorium kapal asing dengan penerimaan negara. Bahkan, jika kebijakan moratorium itu efektif, jumlah penerimaan negara baik pajak maupun non pajak dipastikan meningkat.
Kaitannya dengan pendapatan daerah, lanjutnya, untuk DBH Pajak sangat bergantung dimana perusahaan tersebut terdaftar. Sementara untuk PNBP, jika illegal fishing oleh kapal asing tak lagi berlangsung, kapal dalam negeri yang beroperasi bisa meningkatkan PNBP. Konsekwensinya bagian DBH perikanan untuk daerah akan meningkat pula.
Namun berbeda dengan sektor SDA lainnya, DBH sektor perikanan menurut Undang-Undang 23 tahun 2014 tentang pemerintahan daerah dibagi masing-masing 20 persen dari seluruh penerimaan PNBP perikanan untuk pemerintah pusat, dan 80 persen untuk seluruh pemerintah kabupaten/kota.
ADVERTISEMENT
Kata Ervyn, menurut Undang-Undang, Pemerintah Provinsi Maluku memang tidak dapat bagian DBH SDA perikanan. Namun seluruh Pemerintah kabupaten/kota di Maluku mendapat bagian.
Gubernuru Maluku, Murad Ismail saat berkampanye calon Presiden dan Wakil Presiden Joko Widodo dan Ma’ruf Amin di Lapangan Merdeka Ambon, Rabu, 27 Maret 2019 (Foto: Doc. Ambonnesia)ggGGGIa menyebut bahwa untuk tahun 2019,Gubernur secara keseluruhan pemerintah daerah di Maluku mendapat alokasi total DBH perikanan sebesar Rp 10 miliar lebih. Dengan rincian tiap pemerintah kabupaten memperoleh Rp 983 juta.
Evryn juga menyarankan agar Gubernur Maluku, Murad Ismail berkoordinasi dan mendiskusikan hal itu dengan Menteri Susi mengenai upaya memperbesar jumlah tenaga kerja yang diserap oleh kapal perikanan di perairan sekitar Maluku. Lantaran apa yang dikeluhkan cukup logis bagi kepentingan daerah sebagai upaya mensejahterakan masyarakatnya.
ADVERTISEMENT
“Jadi tak harus ribut-ribut,” ungkapnya.
Disisi lain,Ervyn mengatakan bahwa sesuai pembagian kewenangan yang diatur Undang-Undang dan regulasi KKP, Pemerintah Provinsi Maluku dapat mengoptimalkan pendapatan asli daerah (PAD) dari sektor perikanan dengan kembali pengaturan retribusi daerah.
Antara lain, izin usaha perikanan, izin usaha penangkapan ikan, izin pengadaan kapal penangkap dan pengangkut ikan kurang dari 30 GT untuk kapal dengan tenaga kerja lokal, dan izin penangkapan ikan di wilayah laut kurang dari 12 mil. (Amar)