Merawat Mutiara Murni di Batas Negeri

Konten dari Pengguna
16 Agustus 2018 21:44 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Akhmad Baihaqie tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Hiruk pikuk politik di Jakarta membuat jenuh. Pencarian pemimpin negeri dipenuhi intrik politik keruh. Namun asa tak boleh pudar. Sebab sinar fajar negeri ini ternyata masih terus berpendar. Dari ujung negeri, tepian bangsa, untuk Indonesia.
Tanggal 10 Agustus 2018, Indonesia bergembira. Deklarasi pasangan capres dan cawapres menjadi pertanda gong pesta demokrasi terbesar lima tahunan telah berbunyi. KPU menjadi magnet bagi seluruh mata rakyat Indonesia. Presiden Joko Widodo menggandeng KH Maruf Amin, sementara Prabowo menjatuhkan pilihan kepada Sandiaga Uno sebagai mitra perebutan kursi tertinggi politik negeri ini.
ADVERTISEMENT
Namun, lika-liku drama seru di balik pemilihan tersebut perlahan terurai, seakan warga langit tak ingin penduduk bumi pertiwi terus menerus disuguhi kepalsuan. Cuitan Andi Arif serta curhatan Mahfud MD semakin meneguhkan hipotesa lama, bahwa perhelatan ini hanyalah pesta elit.
Kecewa boleh saja, namun putus asa bukan pilihan. Masih ada kebaikan negeri yang tersembunyi dan mampu mengubah kernyit dahi menjadi senyum lebar.
Setidaknya, itulah pesan yang disampaikan oleh anak-anak bangsa di kota tepian negeri. Pertemuan dengan anak didik di Belu, Atambua, salah satu daerah di Provinsi NTT yang bersentuhan langsung dengan Timor Leste, seakan menyumbang energi positif bagi kami yang datang dari Jakarta.
Sebagai bagian dari program Diplomat Menuju Perbatasan di Belu, kami diberikan kesempatan bertemu para peserta didik SMPN 1 Atambua, dan mengajar di sebuah kelas yang sangat sederhana.
Dalam sambutannya, Kepala Sekolah Agustina mengungkapkan rasa bahagianya lantaran sekolah yang dipimpinnya menjadi tujuan para diplomat untuk berbagi kisah dan cerita. “Kunjungan semacam ini merupakan kali pertama bagi kami di Belu. Dan kami berharap agar kunjungan ini bukan yang terakhir. Bapak-bapak dan mama-mama dari Jakarta bisa berbagi cerita agar anak-anak kami di SMPN 1 ini bisa termotivasi. Suatu saat, kami akan bangga kalau melihat salah satu dari mereka akan menjadi diplomat.”
ADVERTISEMENT
Sebenarnya, yang terjadi adalah sebaliknya. Bukannya kami yang bercerita, namun peserta didik yang aktif menyampaikan harapan dan keinginan mereka dengan bahasa yang sederhana namun penuh makna.
Saat memasuki ruangan yang diisi oleh 36 peserta didik, aroma positif sudah bisa terbaca. Ucapan salam penuh semangat menyambut saya dan dan Mas Prakoso, rekan diplomat yang pernah bertugas di KRI Tawau selama tiga tahun. Selama dua jam pelajaran, kami berinteraksi dengan penuh tawa dan canda.
Memulai interaksi, Mas Prakoso meminta anak-anak untuk menggambar apa saja yang terlintas dalam benak mereka atau membuat coretan-coretan tentang sesuatu yang sangat mereka sukai. Dalam waktu kurang dari 30 menit, dan dengan alat tulis seadanya, kreatifitas gambar anak-anak sangat beragam.
ADVERTISEMENT
“Ini gambar kincir angin. Yang saya tau ada di Belanda. Saya pingin ke Belanda,” ujar Kristin dengan sedikit tersipu malu. Kristin, yakin bahwa Amsterdam adalah ibu kota Belanda, sangat berharap sutau saat akan menginjakkan kakinya di sana, bertemu dengan pemain Ajax Amsterdam, dan bisa mengenyam pendidikan tinggi di negeri kincir angin tersebut.
“Saya menggambar teman-teman di kelas. Karena mereka semua adalah saudara bagi saya,” ungkap Rachel dengan wajah lugunya. Rachel menjelaskan, orang tuanya bekerja di Kabupaten Melaka yang berjarak tempuh lebih dari satu jam, sementara Rachel bersama sanak familinya di Belu. Karenanya, beranjak ke sekolah dan bertemu teman-teman baginya sangat membahagiakan seakan bertemu dengan saudara. Harapannya, ia ingin menjadi diplomat dan bisa berkeliling dunia.
ADVERTISEMENT
Nonie, menggambar anak sedang bernyanyi, sangat lihai mengolah suara. Dengan suara yang sangat merdu, ia menyanyikan lagu daerah Belu dan mempersembahkannya untuk kami berdua. Kemampuannya bernyanyi, bila diolah dengan baik, mampu bersaing ketat dengan penyanyi-penyanyi yang berseliweran di layar kaca media tv nasional.
Gambar serta cerita siswa-siswi tersebut adalah ekspresi yang murni dan tidak dibuat-buat. Tidak ada persekongkolan antara sesama mereka untuk membuat kami takjub dan terpana. Tidak ada telikung sembunyi yang memaksa kami memilih beberapa diantara mereka untuk mendapatkan oleh-oleh baju dari Jakarta.
Kami datang tidak dengan mahar tertentu untuk membuat mereka menggambar, berdiri di depan kelas dan bercerita dengan panjang. Pun andaikata kami memiliki akumulasi uang yang menumpuk, kami dengan sukarela memberikannya agar senyum asri mereka terus terjaga hingga dewasa.
Saat di dalam kelas, naluri kami juga mendeteksi benih-benih subur toleransi. Dari 36 siswa, kami melihat empat siswa didik menggunakan jilbab dan bergaul tanpa canggung dengan kawan lainnya yang berbeda agama. Saat Saskia, salah satu siswa muslimah, menggambar Kabah dengan harapan suatu saat akan bisa menunaikan ibadah haji ber sama orang tuanya, beberapa siswa lainnya yang mayoritas Katolik menyahut dan menjelaskan, bahwa Kabah ada di Mekkah, sebuah kota di negeri padang pasir Arab Saudi.
ADVERTISEMENT
Apa yang terjadi di dalam kelas tersebut membuat ingatan saya tentang hasil survey yang dilakukan Alvara Research Center pada tahun 2017 menyeruak kembali ke permukaan. Survey tersebut menyatakan bahwa tingkat penerimaan masyarakat Indonesia terhadap kelompok berbeda agama mulai menurun, utamanya di kalangan mahasiswa. Hal ini ditandai dengan meningkatnya politik identitas. Diprediksi, pada tahun ini dan tahun depan, presentase tersebut akan meningkat tajam menyusul pemilu legislative dan presiden.
Belum lagi pertanyaan yang diajukan oleh siswa-siswi sebelum kami meninggalkan kelas yang menyiratkan harapan dan cita-cita suci mereka. Mayoritas peserta didik sangat mengharapkan agar bisa melanjutkan pendidikan ke luar negeri. Ini adalah mimpi yang membuat mereka terus bertahan dan belajar di tengah kekurangan. Kami mencoba menyemangati mereka dan menjelaskan secara normatif beberapa skil yang perlu diperkuat seperti penguasaan bahasa asing.
ADVERTISEMENT
Sayangnya, masalah klasik bisa jadi membuat cita-cita mereka menjadi terpendam, seperti kurangnya guru di daerah perbatasan, rendahnya upah yang diperoleh tenaga pengajar, serta minimnya fasilitas sekolah.
Menurut data yang diperoleh dari Kadis Pendidikan Belu, jumlah sekolah lanjutan di Belu tidak menjamin seluruh anak didik bisa meneruskan ke jenjang yang lebih tinggi. 148 Sekolah Dasar, 50 SMP, 31 SMA, serta hanya 1 Perguruan Tinggi. Itu artinya, tidak semua anak lulusan SD akan mendapatkan kursi di SMP dan begitu seterusnya. Gaji guru komite yang berkisar antara 100 – 200 ribu tentu sangat memengaruhi semangat para tenaga pendidik.
Bagi kami, anak-anak Belu adalah salah satu denyut nadi masa depan bangsa Indonesia. Mereka adalah aliran darah bangsa yang masih tersembunyi dalam jantung negeri, belum terpompa ke seluruh jaringan syaraf di seluruh bagian tubuh bangsa.
ADVERTISEMENT
Para pemimpin saat ini dan yang nantinya akan terpilih perlu merawat dengan cermat mutiara-mutiara dari timur di ujung batas negeri ini. Kami meyakini, mereka adalah salah satu mutiara murni yang akan membawa cahaya Indonesia bersinar dengan gempita. Tidak hanya menjadi mercusuar bagi masyarakat Indonesia, tapi juga bagi dunia.