Bahasa sebagai Instrumen dan Medium Kekuasaan

Akhlis Nastainul Firdaus
Aktivis Mahasiswa Peneliti Surabaya Academia Forum (SAF) Universitas Muhammadiyah Surabaya
Konten dari Pengguna
14 Maret 2023 16:43 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Akhlis Nastainul Firdaus tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Bahasa-bahasa di Dunia Foto: Getty Images
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Bahasa-bahasa di Dunia Foto: Getty Images
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Bahasa merupakan suatu ungkapan yang mengandung maksud untuk menyampaikan sesuatu kepada orang lain. Sesuatu yang dimaksudkan oleh pembicara bisa dipahami dan dimengerti oleh pendengar atau lawan bicara melalui bahasa yang diungkapkan.
ADVERTISEMENT
Chaer dan Agustina (1995:14) fungsi utama bahasa adalah sebagai alat komunikasi. Hal ini sejalan dengan Soeparno (1993:5) yang menyatakan bahwa fungsi umum bahasa adalah sebagai alat komunikasi sosial. Sosiolinguistik memandang bahasa sebagai tingkah laku sosial (sosial behavior) yang dipakai dalam komunikasi sosial.
Suwarna (2002: 4) bahasa merupakan alat utama untuk berkomunikasi dalam kehidupan manusia, baik secara individu maupun kolektif sosial. Kridalaksana (dalam Aminuddin, 1985: 28-29) mengartikan bahasa sebagai suatu sistem lambang arbitrer yang menggunakan suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri.
Bahasa selalu bersifat politis. Bahasa bukan hanya sebagai alat komunikasi semata, seperti yang dipahami banyak oleh khalayak orang, tetapi juga sebagai alat dan sarana kekuasaan. Misalnya, pola kekuatan dalam bahasa ditandai dengan sistem ejaan. Disiplin halus di antara keragaman ekspresi linguistik dalam masyarakat.
ADVERTISEMENT
Joss Wibisono dalam buku terbarunya berjudul Niat Politik Jahat (2020) dengan gamblang menggambarkan posisi bahasa dan kekuasaan di Indonesia. Kritik kerasnya terhadap penggunaan Enhanced Orthography (EYD) membeberkan praktik diskursif rezim Suharto selama tiga dekade. Saat itu, rezim otoriter seluruh lapisan masyarakat Indonesia sedang menyembunyikan "niat jahat" di balik kebijakan EYD.

Relasi Bahasa dan Kekuasaan

Banyak ilmuan memosisikan atau cenderung kepada salah satu dari dua posisi yang bertentangan dalam diskursus epistemologi, seperti idealisme-materialisme, rasionalisme-empirisme, subjektivisme-objektivisme, mikro-makro, agensi-struktur, kebebasan-determinisme. Bourdieu -ilmuan sosial Prancis- keluar dari perdebatan tersebut dan mengadirkan konsep habitus yang meleburkan agensi dan struktur. Habitus mencakut bahasa, yang berperan sebagai sistem simbolik dan kapital. Ia bukan hanya bagian dalam transmisi pesan saja tetapi juga sebagai instrumen/mekanisme simbolik untuk memperoleh kekuasaan dan mempertahankan.
ADVERTISEMENT
Kekuasaan dan bahasa memiliki relasi dan keterkaitan yang erat serta unik. Melalui bahasa, dominasi kekuasaan dapat dipraktikkan. Perbedaan posisi seorang penutur bahasa dalam sebuah hierarki sosial dapat dilihat melalui penggunaan aksen, intonasi, kalimat dan kosa kata yang digunakan. Kekuatan dan pengaruh penggunaan bahasa dan kata-kata sangat bergantung pada siapa yang melakukan tindak bahasa tersebut dan bagaimana bahasa tersebut diucapkan.
Otoritas yang mengucapkan bahasa akan memberikan efek yang berbeda kepada penerima. Sebuah rezim yang otoriter dapat menggunakan bahasa tak hanya sekadar melanggengkan kekuasaannya saja, namun juga bisa menggunakan bahasa untuk memproduksi sistem simbol dalam kaitannya dengan posisi kekuasaannya. Sistem simbol yang diproduksi tersebut berperan sebagai control, penguasaan bahkan kekerasan yang dilakukan secara samar, halus dan simbolik.
ADVERTISEMENT
Pada dasarnya bahasa dibentuk oleh habitus yang berperan sebagai alat kekuasaan simbolik. Bahasa adalah modal penting untuk meraih singgasana kekuasaan. Dalam perspektif kapital Bourdieu, kapital bukan dalam hal materi, kekayaan atau uang, melainkan pemikiran dalam perspektif sosial-budaya, dan simbol. Bahasa dalam panggung politik nasional akhirnya dipahami sebagai peragaan pertarungan kelas-kelas yang muncul akibat segregasi yang dalam percakapan sosial perebutan kekuasaan tertinggi di negeri ini.
Dalam realitasnya, kapital memberikan akibat yang sama, yaitu memunculkan perbedaan atas dasar kepemilikan kapital. Kajian menemukan bahwa istilah-istilah tersebut diasosiasikan pada kelompok tertentu. Istilah-istilah itu merupakan modal sosial untuk membangun struktur imajiner yang berafiliasi pada kelompok tertentu dan istilah tersebut mencetuskan polarisasi pada struktur masyarakat terutama berkenaan dengan perebutan puncak kekuasaan di negeri ini.
ADVERTISEMENT