Metode Pengobatan Tradisional Afrika Selatan melalui Sangoma

Agus Maulana Attabrani
Seorang pria biasa yang dilatih berpikir dua kali sebelum tidak mengatakan apa-apa.
Konten dari Pengguna
7 Maret 2020 20:55 WIB
comment
11
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Agus Maulana Attabrani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Potret Seorang Sangoma dari Afrika Selatan. (Sumber: peterfrank-gallery.com)
zoom-in-whitePerbesar
Potret Seorang Sangoma dari Afrika Selatan. (Sumber: peterfrank-gallery.com)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Di era modern seperti saat ini sepertinya susah untuk dinalar jika masih ada orang yang percaya pada hal-hal berbau klenik, mistis, ataupun supernatural. Baik di Indonesia maupun di Afrika Selatan, pendekatan seperti ini sering dikenal sebagai upaya “alternatif” atau “non-konvensional” atau “tradisional”. Biasanya hal ini muncul karena adanya ikatan budaya dan tradisi yang kuat, bersumber dari nilai-nilai kearifan lokal.
ADVERTISEMENT
Pendekatan alternatif tidak hanya digunakan untuk pengobatan atau penyembuhan akan tetapi juga sudah meluas ke aspek-aspek kehidupan lainnya. Bagi seorang dokter atau tenaga medis, mengobati seseorang merupakan perkara rutin. Namun, untuk seorang sangoma (dibaca: sang-go-ma) di Afrika Selatan, menyembuhkan orang itu hanyalah salah satu dari berbagai peran penting yang bermuara pada penciptaan harmoni baik dalam konteks individu, antar sesama manusia, maupun dengan kekuatan eksternal yang sering dikaitkan dengan arwah nenek moyang.
Sangoma dan Inyanga
Praktisi pengobatan tradisional di Afrika Selatan, khususnya dalam tradisi Zulu, dapat dibedakan menjadi sangoma dan inyanga (dibaca: in-yang-ga). Sangoma, atau isangoma, memiliki peran mendiagnosa penyakit seseorang dan melihat keterkaitannya dengan masyarakat. Alasannya, penyakit yang muncul pada diri seseorang dianggap bersumber dari lingkungan sosial sekitar, seperti hubungan dengan orang di rumah atau di tempat kerja. Metode ini disebut sebagai pendekatan holistik.
ADVERTISEMENT
Kalau dokter identik dengan jas putih dan stetoskop, sangoma juga punya pakaian khusus yang biasanya terbuat dari kulit hewan serta manik-manik yang digunakan di leher, di pergelangan tangan dan kaki, atau di rambut. Dalam ritual pengobatan, sangoma dapat menari, menyanyi, atau membuat bunyi-bunyian. Selain itu, ada pula ritual melempar tulang — biasanya menggunakan tulang hewan, batu, cangkang, atau obyek lain — yang dilemparkan di satu tempat untuk kemudian ‘dibaca’. Posisi tulang dan objek lainnya menandakan bagian-bagian dari kehidupan sang pasien.
Tulang Hewan, Batu, Cangkang, serta Kelengkapan Lainnya dalam Ritual Lempar Tulang. (Sumber: vagabond.se)
Sangoma ‘Membaca’ Kondisi Pasiennya melalui Ritual Lempar Tulang. (Sumber: vagabond.se)
Sementara itu, inyanga lebih dominan sebagai praktisi pengobatan tradisional yang menggunakan obat-obatan herbal dan tradisional maupun memanfaatkan bagian dari tubuh binatang untuk mengobati pasiennya. Adapun ilmu yang didapat oleh inyanga diwariskan secara turun temurun. Secara singkat dapat dikatakan bahwa inyanga spesifik menangani penyakit fisik sedangkan sangoma menangani aspek yang lebih luas termasuk menangkal nasib buruk dan kutukan, melindungi suku dari roh jahat, berkomunikasi dengan nenek moyang, hingga menemukan barang hilang — dalam konteks kehidupan tribal misalnya untuk menemukan hewan ternak yang hilang.
Sejumlah Tanaman, Kulit Kayu, dan Akar-Akaran yang Digunakan sebagai Sumber Obat Tradisional di Afrika. (Sumber: health24.com)
Privilese dan Tanggung Jawab Sosial
ADVERTISEMENT
Topik mengenai pengobatan tradisional ini relevan dilihat baik dari perspektif sosio-ekonomi maupun dari perspektif sosio-kultural. Pertama, dari sisi sosio-ekonomi, ada klaim yang menyatakan bahwa lebih dari 60 persen masyarakat Afrika Selatan berkonsultasi dengan praktisi pengobatan tradisional, baik sangoma maupun iyanga. Berdasarkan jumlah, diperkirakan ada 200 ribu orang praktisi pengobatan tradisional di Afrika Selatan, jauh lebih banyak dari jumlah dokter yang jumlahnya hanya sekitar 38 ribu orang.
Kondisi ini bertambah kompleks ketika melihat data Bank Dunia mengenai Afrika Selatan di tahun 2019 bahwa 18,8 persen dari jumlah populasi sebanyak 58,8 juta jiwa masih hidup di bawah garis kemiskinan; 27 persen angka pengangguran; gini coefficient sebesar 0,63; serta realita 10 persen kelompok kaya menguasai 71 persen net wealth sementara 60 persen kelompok miskin harus membagi 7 persen net wealth. Pesan yang ingin disampaikan di sini adalah memiliki akses kesehatan ke dokter merupakan sebuah privilese di Afrika Selatan.
Pemukiman Kelas Menengah Bloubusrand dan Informal Settlement (biasa disebut Township) Kya Sands di Johannesburg, Afrika Selatan. (Sumber: CNN)
Kedua, dari sisi sosio-kultural, menjadi sangoma kerap dikaitkan dengan panggilan (ukutswa) dari nenek moyang (amadlozi) dan memiliki peran sentral dalam kebudayaan masyarakat Afrika karena memiliki nilai kehormatan sekaligus nilai tanggung jawab yang besar. Sangoma dilihat sebagai penjaga komunitas serta tempat berkonsultasi ketika ada yang sakit, tempat berkomunikasi dengan arwah nenek moyang, hingga tempat meminta perlindungan dari marabahaya. Walaupun mayoritas masyarakat Afrika Selatan adalah penganut Kristen Protestan (lebih dari 80 persen) akan tetapi dalam kehidupan sehari-hari aspek tradisional ini masih cukup kental dan melekat.
Penggunaan White Clay (Umcako) di Wajah Merupakan Bagian dari Budaya Afro dalam Proses Menjadi Sangoma. (Sumber: Minka Schumese, Pinterest)
Meluruskan Salah Kaprah
ADVERTISEMENT
Pada masa kolonial, sangoma yang sejatinya merupakan pengusir roh jahat yang dikirimkan oleh penyihir mengalami pergeseran makna menjadi lebih negatif atau konotatif. Sangoma justru dianggap sebagai pihak yang mengirimkan mantra jahat dan menciptakan ramuan mematikan. Sangoma juga menjadi tertuduh ketika ada kasus yang melibatkan perdagangan organ tubuh manusia, misalnya seperti penggunaan plasenta dalam praktik pengobatan karena dianggap mampu mengolahnya menjadi obat kesuburan (fertilitas) maupun sebagai jimat pembawa keberuntungan.
Berdasarkan Traditional Health Practitioners Act of 2007, sangoma telah diakui secara legal ke dalam kelompok diviner, seperti halnya inyanga sebagai herbalist, ababelethisi sebagai traditional birth attendant, dan ingcibi sebagai traditional surgeon. Di bawah undang-undang tersebut, Pemerintah Afrika Selatan berupaya mengakomodasi mekanisme pengobatan tradisional yang telah ada di masyarakat untuk kemudian diatur ke dalam sebuah sistem yang terstandardisasi serta memiliki mekanisme pengawasan. Dalam kaitan tersebut, diviner diartikan sebagai seseorang yang menerapkan praktik kesehatan tradisional sesuai kaidah dan ketentuan yang berlaku.
Sangoma, Menjaga Tradisi di Tengah Arus Modernisme. (Sumber: Frank Trimbos, petapixel.com)
Asa bagi yang Termarjinalkan
ADVERTISEMENT
Cara-cara pengobatan tradisional merupakan kumpulan pengetahuan, keahlian, dan praktik yang didasarkan pada teori, kepercayaan, dan pengalaman unik pada masing-masing kebudayaan yang digunakan untuk menjaga kesehatan ataupun menyembuhkan. Pada umumnya, metode pengobatan tradisional berfungsi sebagai pelengkap ataupun alternatif dari pengobatan mainstream. Laporan WHO menyebutkan bahwa 80 persen dari populasi dunia justru mengandalkan pengobatan tradisional.
Pengobatan tradisional Afrika diklaim sebagai yang tertua dan mungkin juga memiliki cakupan terluas di dunia. Afrika sering dirujuk sebagai tempat asal muasal manusia (cradle of humankind) dengan kekayaan keanekaragaman hayati dan budayanya. Penggunaan tanaman obat merupakan praktik yang paling umum dan aksesibel bagi kebanyakan orang, khususnya yang hidup dengan keterbatasan ekonomi. Di antara kebutuhan masyarakat dan kekayaan alamnya, hadir sosok sangoma (ataupun inyanga) yang menjembatani hal tersebut. Sangoma tidak hanya berperan sebagai penyembuh ataupun konselor spiritual tapi juga sebagai simbol perlawanan terhadap kapitalisme dan eksklusifitas sistem kesehatan mainstream.
ADVERTISEMENT