Senjakala Partai Aceh?

Konten Media Partner
11 Mei 2019 1:33 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Bendera Partai Aceh pernah membuat merah wilayah Aceh. Foto: Suparta/acehkini
zoom-in-whitePerbesar
Bendera Partai Aceh pernah membuat merah wilayah Aceh. Foto: Suparta/acehkini
ADVERTISEMENT
Taharap keu pague, keubue lam pade.
Meski hasil resmi belum diumumkan Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh, komposisi kursi untuk Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) periode 2019-2024 sudah menunjukkan titik terang. Partai Aceh (PA) keluar sebagai pemenang dalam pemilihan legislatif (Pileg) 2019 di Aceh dengan memperoleh 18 dari total 81 kursi yang diperebutkan.
ADVERTISEMENT
Jumlah tersebut jauh menurun dibandingkan hasil dua kali pemilu yang diikuti Partai Aceh sebelumnya: Pemilu 2009 (33 kursi) dan Pemilu 2014 (29 kursi). Hasil ini sama sekali tidak mengejutkan. Tanda-tanda ‘kekalahan’ partai bentukan mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), itu mulai terlihat sejak Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2017 lalu. Selain gagal menempatkan kader terbaiknya, Muzakir Manaf, untuk kursi Gubernur Aceh, calon bupati/walikota yang diusung Partai Aceh keok di beberapa Kabupaten/kota.
Di Aceh Besar, Saifuddin Yahya (Pak Cek) dikalahkan oleh Mawardi Ali yang diusung gabungan partai nasional dan lokal. Partai Aceh juga gagal mempertahankan kursi bupati di Kabupaten Pidie dan Bireuen yang secara de facto merupakan basis PA. Partai Aceh bahkan gagal merebut kembali kursi bupati di Aceh Barat Daya, serta tidak menang di Aceh Selatan. Kegagalan tersebut membuat pamor PA meredup, dan berimbas pada Pemilu 2019 ini.
ADVERTISEMENT
Fenomena tersebut menyisakan sejumlah pertanyaan bagi kita. Ada apa dengan Partai Aceh? Mengapa perolehan kursi mereka terus menurun pada setiap pemilu? Apakah ini tanda-tanda senjakala partai lokal kian tak terbendung?
Kampanye calon Gubernur Aceh dari PNA, Demokrat, PDA dan PKB. Foto: Suparta/acehkini
Kelahiran partai lokal
Salah satu poin penting dari Memorandum of Understanding (MoU) yang ditandatangani pada 15 Agustus 2005 silam di Helsinki, Finlandia, adalah warga Aceh boleh mendirikan partai politik lokal (parlok). Selain soal otonomi khusus, parlok merupakan syarat yang membuat GAM setuju tetap berada di dalam konstitusi Republik Indonesia, dan membuang jauh-jauh impian Aceh merdeka.
Perdana Menteri Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Malik Mahmud Al-haytar, pernah menyebutkan alasan mengapa parlok sangat penting bagi Aceh dan membuat GAM menerima klausul ini. “…Pemerintahan yang pernah berdiri di Aceh tak betul-betul mewakili aspirasi yang berkembang di masyarakat. Dengan pengalaman itu, dalam upaya penyelesaian masalah Aceh, GAM menuntut agar rakyat Aceh punya partai politiknya sendiri, yang sesuai dengan aspirasi rakyat Aceh,” katanya dalam wawancara dengan TEMPO, 31 Juli 2005.
ADVERTISEMENT
Banyak elit politik di Jakarta kala itu tidak siap menerima kehadiran partai politik lokal. Gubernur Lemhanas, Muladi, SH, misalnya mencurigai parlok sebagai kedok GAM untuk menguasai parlemen Aceh, lalu kemudian menggelar referendum dengan opsi merdeka. Padahal, kata Malik Mahmud, GAM sudah tidak pernah lagi menuntut atau menyebut soal referendum dalam pembicaraan di Helsinki. Kerelaan GAM menerima NKRI, misalnya, dibuktikan dengan kesediaan mereka memotong senjata, urat nadi perjuangan.
Pun begitu, partai bentukan GAM beberapa kali ditolak Jakarta karena masih menggunakan akronim Partai GAM serta lambang bendera Gerakan Aceh Merdeka. Partai ini sempat mengalami beberapa kali perubahan nama, mulai dari Partai Gerakan Aceh Mandiri hingga Partai Aceh seperti kita kenal sekarang. Tak hanya itu, Malik Mahmud yang awalnya didapuk sebagai Ketua Umum menyerahkan tampuk kepemimpinan kepada Muzakir Manaf, Ketua Komite Peralihan Aceh (KPA), organisasi tempat bernaungnya anggota GAM pasca-MoU Helsinki.
ADVERTISEMENT
Malik Mahmud yang masih berstatus warga negara Swedia mundur dari Ketua Umum Partai GAM karena terganjal dengan undang-undang kewarganegaraan. Seperti diketahui, Undang-undang Indonesia tidak membolehkan warga negara asing menjadi pengurus partai politik. Hingga Partai GAM berganti nama menjadi Partai Aceh, jabatan Ketua Umum partai masih terus dijabat oleh Muzakir Manaf sampai hari ini.
Pemilu 2009 menjadi palagan politik pertama partai lokal bertarung dengan partai nasional. Selain Partai Aceh, ada lima partai lokal lain yang juga menjadi peserta pemilu. Hanya saja, Partai Aceh menganggap mereka satu-satunya partai lokal yang sesuai dengan MoU Helsinki. Narasi hegemonik ini dikembangkan sejak Pemilu 2009, berlanjut pada 2014. Alhasil, tidak ada partai lokal lain yang mampu mendapatkan kursi secara signifikan. (Baca: Pemilu 2019: Palagan Terakhir Partai Lokal)
Pendukung Partai Aceh pada Pemilu 2014. Foto: Suparta/acehkini
Tergerusnya Kursi PA
ADVERTISEMENT
Setelah berjaya dalam dua kali pemilu di Aceh, dominasi Partai Aceh mulai meredup pada Pemilu 2019 ini. Perolehan kursi partai ini jauh menurun dengan hanya menyisakan 18 kursi saja di parlemen Aceh. Penurunan perolehan kursi juga terjadi untuk tingkat parlemen kabupatan/kota. Ini merupakan pencapaian terburuk mereka sejak pertama kali mengikuti pemilu pada 2009 silam.
Ada beberapa faktor mengapa kursi Partai Aceh menurun dan berkurang. Pertama, kader potensial mereka maju sebagai caleg untuk DPR RI. Dari daerah pemilihan (dapil) Aceh 1 ada nama Anwar Ramli, Jufri Hasanuddin (Nasdem), Abdullah Saleh dan Fadhlullah (Gerindra), sementara dari dapil Aceh 2 ada sosok Kautsar (Demokrat), Muharuddin, Effendi (Nasdem), Azhari Cagee (PBB), Ermiadi (PAN), Ruslan M Daud (PKB), dan Kamaruddin (PSI).
ADVERTISEMENT
Selama ini, sosok tersebut dikenal sebagai getting voters suara untuk Partai Aceh. Di antara mereka ada yang pernah menjabat bupati dan peraih suara terbanyak dalam pemilu sebelumnya. Dengan majunya mereka ke level nasional (DPR RI), secara matematis merugikan internal Partai Aceh. Tidak ada lagi figur yang mampu membantu mendulang suara untuk partai. Celakanya lagi, dari nama-nama tersebut, hanya Fadhlullah atau Dek Fad yang melenggang dengan mulus ke Senayan.
Kedua, masyarakat mulai berani. Masyarakat Aceh sudah memberi kesempatan kepada Partai Aceh dalam dua kali pemilu: 2009 dan 2014. Saat itu, masyarakat mendukung mereka karena dihantui ketakutan, bahwa jika PA tidak menang maka Aceh akan kembali bergolak. Karenanya, masyarakat memberi kesempatan kepada kader partai perjuangan untuk membangun Aceh dengan visi mereka.
ADVERTISEMENT
Hanya saja, kesempatan tersebut tidak dimanfaatkan dengan baik oleh Partai Aceh. Banyak cita-cita perjuangan yang disematkan kepada mereka gagal diwujudkan, seperti soal lambang, hymne dan bendara. Parahnya lagi, elit partai yang diklaim sebagai representasi perjuangan GAM ini sibuk gontok-gontokan. Ada yang dipecat, ada yang dibunuh, dan banyak memilih loncat pagar. Ini, setidaknya, mereduksi kepercayaan masyarakat kepada Partai Aceh, dan menganggap partai lokal ini tidak berbeda dengan partai politik lain. Cukup beralasan ketika mereka menghukum partai ini pada Pemilu 2019.
Ketiga, koalisi dengan Gerindra. Kerjasama Partai Aceh dengan partai besutan Prabowo Subianto ikut berpengaruh pada berkurangnya kursi Partai Aceh, baik untuk level DPRA (provinsi) maupun DPRK (kabupaten/kota). Ini, misalnya, dibuktikan dengan kerelaan Partai Aceh memberikan panggung kepada Gerindra untuk menanamkan pengaruh di Aceh, dimulai pada Pemilu 2014 dan berlanjut pada Pemilu 2019.
ADVERTISEMENT
Koalisi dengan Gerindra ini lebih mirip seperti orang memelihara tuyul, sejenis makhluk halus yang awalnya dimaksudkan untuk memberi keuntungan, tapi pada akhirnya justru mempreteli apapun milik tuan rumah. Kondisi ini persis seperti bunyi pepatah Aceh yang dikutip di awal tulisan, “taharap keu pague, keubue lam pade.” Pagar yang seharusnya untuk melindungi tanaman, justru membiarkan kerbau merusak tanaman.
Massa kampanye Partai Aceh. Foto: Suparta/acehkini
Koalisi dengan “tuyul”
Koalisi antara Partai Aceh dan Gerindra yang terjalin sejak Pemilu 2014 bukan tanpa protes. Azmi Abubakar dari Barisan Penyelamat Partai Aceh (BPPA), misalnya, pernah mempertanyakan kerjasama dengan Gerindra yang disebutnya lebih menguntungkan partai nasional (parnas) tersebut. Pendiri Museum Peranakan Tionghoa ini bahkan meminta Muzakir Manaf mengundurkan diri dari partai Aceh. Azmi menuding Mualem—sapaan akrab Muzakir Manaf—menerima dana 50 miliar dari Prabowo Subianto pada Pemilu 2014. Dana tersebut, katanya, demi ‘menyogok’ Partai Aceh agar mendukung mantan Danjen Kopassus itu sebagai calon presiden.
ADVERTISEMENT
“Nyanyian” Azmi saat itu hanya dipandang angin lalu saja oleh Mualem. Faktanya, pada Pilpres 2014, Partai Aceh secara bulat mendukung Prabowo-Hatta sebagai calon presiden dan wakil presiden. Hanya saja, meski pasangan itu meraup dukungan mayoritas dari masyarakat Aceh, tak mampu menyelamatkan suara mereka secara nasional. Pilpres 2014 dimenangkan oleh Joko Widodo-Jusuf Kalla dengan meraih 54 persen suara.
Koalisi pada 2014 tersebut membuat Partai Aceh memberi tempat untuk partai Gerindra menanamkan pengaruhnya di Aceh. Bahkan, Mualem sendiri didapuk sebagai Ketua Dewan Pembina Gerindra Aceh, partai yang dipimpin TA Khalid. Tidak hanya itu, Gerindra memberikan kuota caleg DPR RI untuk kader Partai Aceh. Dari daerah pemilihan (dapil) Aceh 1, PA mengajukan nama Fadhlullah alias Dek Fad, sementara dari dapil Aceh 2 PA mengusung Khaidir, anggota DPRK Aceh Utara. Keduanya melenggang dengan mulus ke Senayan.
ADVERTISEMENT
Untuk parlemen Aceh, Gerindra berhasil menempatkan 3 orang kadernya. Begitu pula untuk kursi DPRK, mereka sukses mengamankan sejumlah kursi. Secara kalkulasi politik, koalisi tersebut lebih menguntungkan Gerindra. Partai ini menjadi satu-satunya parnas yang diterima secara terbuka oleh Partai Aceh, di mana aktivitas perekrutan dan kampanye mereka tidak diganggu. Perlakuan yang berbeda terjadi terhadap partai lain, termasuk partai lokal, yang tidak leluasa melakukan kegiatan politik di Aceh.
Koalisi dengan Gerindra menyebabkan menurunnya perolehan kursi Partai Aceh di DPRA. Dari 33 kursi pada Pemilu 2009, Partai Aceh hanya kebagian 29 kursi pada Pemilu 2014. Padahal, jumlah kursi DPRA bertambah dari 69 kursi pada Pemilu 2009, menjadi 81 kursi pada Pemilu 2014.
ADVERTISEMENT
Cengkeraman Gerindra di Aceh kian kuat pada Pemilu 2019. Berdasarkan perhitungan sementara perolehan kursi DPRA, jumlah kursi Partai Aceh diprediksi menurun hingga 11 kursi, atau cuma menyisakan 18 kursi. Bandingkan dengan Gerindra, berhasil melipatgandakan perolehan kursi dari 3 kursi pada Pemilu 2014, menjadi 6 kursi pada Pemilu 2019 ini.
Massa Partai Aceh. Foto: Suparta/acehkini
Koalisi partai lokal
Meski kursi Partai Aceh berkurang, tapi tiga parlok lain sukses menambah jumlah kursi. Kursi Partai Nanggroe Aceh (PNA) dari tiga kursi pada Pemilu 2014 bertambah menjadi enam kursi dalam Pemilu 2019, demikian juga dengan PD Aceh (3 kursi). Partai SIRA yang sempat absen pada Pemilu 2014 berhasil mengamankan 1 kursi. Pun begitu, jumlah gabungan kursi parlok yang cuma 28 kursi jauh di bawah perolehan kursi gabungan parnas (53 kursi).
ADVERTISEMENT
Secara politik, parlok akan sulit membendung ekspansi parnas yang secara de facto sudah sukses menguasai kembali Aceh. Ini sebuah ‘alarm’ tanda bahaya bagi kepentingan Aceh secara keseluruhan. Tanda-tandanya mulai terlihat dari kekalahan sejumlah calon yang diusung partai besutan mantan GAM dan terakhir kasus penangkapan Irwandi Yusuf.
Fenomena ini mengingatkan kita pada frasa ‘winter is coming’ dari serial Game of Thrones yang dimaksudkan sebagai peringatan akan datangnya bahaya. Hanya saja, banyak elit di Aceh tidak menyadari bahwa ‘musim dingin’ yang segera datang’, itu akan melumat kedigdayaan partai lokal, dan tatanan politik lokal. Sebelum semuanya terlambat, koalisi sesama parlok perlu segera digagas. Tidak boleh lagi parlok bertengkar dan saling mereduksi satu sama lain. Sebab, bahaya yang lebih besar sedang mengintai.
ADVERTISEMENT
Sepenggal dialog antara Sansa dan Arya Stark dalam Game of Thrones 7 pada akhir episode 7 layak menjadi bahan renungan. “Di musim dingin, kita harus melindungi diri kita sendiri. Saling menjaga satu sama lain,” kata Arya. Lalu Sansa menimpali, “saat salju turun dan angin putih berhembus, serigala mati tapi kawanannya tetap bertahan.” Kalau ingin kawanan tetap selamat, parlok harus saling menjaga satu sama lain.
Gabungan partai lokal di parlemen Aceh tidak akan mampu mengimbangi kekuatan gabungan partai nasional, apalagi kalau cuma Partai Aceh sendirian. Hanya “kawanannya” yang akan tetap selamat. Mudah-mudahan, senjakala Partai Aceh tidak dengan sendirinya menjadi malapetaka bagi Aceh, seperti ketakutan awal Malik Mahmud pada partai nasional.
ADVERTISEMENT
Bukan tidak mungkin, jika tanpa evaluasi menyeluruh, maka Pemilu 2024 nanti akan menjadi senjakala Partai Aceh. Ketika itu terjadi, menyesal bukan kata yang tepat. []
Taufik Al Mubarak