Produktivitas, Puasa, dan COVID-19

Abdul Bari
a life long learner, saat ini berkarir sebagai Direktur Kelembagaan dan Layanan di PT Jaminan Kredit Indonesia (PT Jamkrindo)
Konten dari Pengguna
5 Mei 2021 10:48 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Abdul Bari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto ilustrasi lampu. Sumber: Pexels.com
zoom-in-whitePerbesar
Foto ilustrasi lampu. Sumber: Pexels.com

Merefleksikan kembali arti produktivitas dalam konteks hubungannya dengan bulan ramadhan dan situasi pandemi COVID-19.

ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
**
ADVERTISEMENT
Bulan puasa kadang disalah artikan sebagai periode yang kurang produktif. Padahal, seharusnya bulan ramadhan momentum untuk memperbaiki diri, tak hanya secara spiritual namun juga lahiriah. Selama ini mungkin banyak dari kita menganggap urusan produktivitas hanya terbatas bekerja di kantor atau dalam tataran manajemen saja.
Produktivitas sering dimaknai secara sempit dalam kacamata ekonomis yaitu peningkatan nilai tambah dan mengurangi pemborosan. Produktivitas sering dianggap hanya mengenai bagaimana memperoleh hasil (output) sebesar-besarnya dengan pengorbanan sumber daya yang digunakan (input) yang sekecil-kecilnya.
Definisi produktivitas sendiri sebenarnya secara filosofis sangatlah luas dan masuk ke dalam aspek individual bukan hanya pekerjaan kelompok. Walter Aigner dalam karyanya “Motivation and Awareness”, mengatakan filosofi dan spirit tentang produktivitas sudah ada sejak awal peradaban manusia. Makna produktivitas adalah keinginan (the will) dan upaya (effort) manusia untuk selalu meningkatkan kualitas kehidupan dan penghidupan di segala bidang.
ADVERTISEMENT
Dengan pendekatan tersebut maka seharusnya urusan produktivitas bukan merupakan urusan bekerja atau kepentingan kelompok saja, namun produktivitas harus juga dimaknai pada tataran pribadi kehidupan keseharian kita.
Produktivitas harus dipandang bahwa mutu kehidupan hari ini harus lebih baik dari hari kemarin dan hari esok harus lebih baik dari hari ini. Pandangan atau pola pikir ini mengandung arti produktivitas ialah perbaikan secara terus menerus.
Berbicara tentang Ramadhan, maka proses perbaikan menjadi salah satu topik pembahasan yang tidak akan pernah terlepas dari momentum bulan yang suci ini. Banyak anggapan bahwa bulan ramadhan merupakan bulan perbaikan. Memperbaiki diri pribadi sekaligus hubungan dengan orang lain secara tidak langsung memperbaiki hubungan kita dengan Yang Maha Esa, karena ajaran agama pasti mengajarkan kita menjadi pribadi yang lebih baik.
ADVERTISEMENT
Puasa, sudah seharusnya tidak dimaknai menahan lapar dan haus saja, namun juga menjadi momentum menjadi insan yang produktif, atau lebih baik dari sebelumnya dari berbagai aspek kehidupan, baik spiritual maupun lahiriah.
Mungkin akan menarik bila kita mengambil sedikit pembelajaran bagaimana menjadi pribadi yang produktif lewat kacamata filosofi Stoik. Stoik percaya apa pun yang terjadi dalam hidup terdapat dua penyebab utama, yaitu faktor internal dan faktor eksternal.
Faktor internal di sini artinya segala sesuatu yang bisa kita kontrol, sedangkan faktor eksternal ialah segala sesuatu yang tidak dapat kita kontrol atau diluar jangkauan.
Untuk menjadi produktif stoik, menyarankan kita untuk fokus terhadap faktor internal, atau apa pun yang dapat kita kontrol, serta menerima apa yang memang tidak bisa kita kontrol ataupun rubah. Jangan menyalahkan diri sendiri karena sesuatu yang tidak bisa diubah. Alih-alih, kita harus berfokus pada apa yang bisa diubah, misalnya keputusan dan tindakan diri sendiri.
ADVERTISEMENT
Contohnya ketika ujian, kita bisa saja sudah belajar dari sebulan lalu, atau bahkan setahun sebelumnya untuk mendapatkan mendapatkan hasil bagus atau tidak gagal. Namun pada akhirnya hasil ujian tersebut tidak sepenuhnya dapat kita kontrol, banyak faktor-faktor eksternal lain yang dapat mempengaruhi seperti kemampuan kompetitor, kondisi bencana ketika akan melakukan ujian dan sebagainya.
Banyak orang terlalu khawatir terhadap hasil, sampai-sampai melupakan proses, melupakan hal apa saja yang harus dilakukan di tengah perjalannya, agar bisa sampai ke hasil atau tujuan tersebut. Distraksi atas faktor eksternal tersebutlah yang akhirnya menjadikan diri kita kurang produktif. Masalah hasil atau masalah faktor eksternal sudah seharusnya tidak menjadi fokus perhatian. Fokus saja terhadap hal-hal yang dapat kita lakukan untuk meminimalisir kegagalan mencapai tujuan yang kita tuju. Terus berproseslah untuk menjadi lebih baik dari waktu ke waktu. Ibaratnya ketika hujan, kita tidak mengeluh dan menolaknya. Kita menerimanya dengan sepenuh hati dan memakai payung atau berkendara dengan mobil untuk melewati hujan.
ADVERTISEMENT
Selain untuk fokus terhadap hal-hal internal, untuk menjadi produktif, stoik juga menekankan pentingnya pengelolaan emosi. Setiap emosi tentu memiliki efek kuat terhadap produktivitas. Hal ini terjadi karena emosi memiliki nilai adaptif yang dapat membantu kita untuk mengatasi dan menanggapi situasi yang dihadapi.
Rasa malas dan kurang produktif hadir karena mindset kita akan terhadap objek, bukan objek itu sendiri. Contoh jika kita menganggap tugas atau sebuah pekerjaan sebagai beban maka pasti kita akan malas dalam mengerjakan dan cenderung menunda-nunda pekerjaan. Maka mindset negatif harus diubah menjadi positif. Kita harus mengganti mindset bahwa segala tugas dan pekerjaan itu bukanlah sebagai sebuah beban namun jadikanlah tugas serta pekerjaan itu sebagai sebuah tambahan ilmu bagi kita sehingga kita akan semangat dalam mengerjakannya.
ADVERTISEMENT
Di tengah suasana pandemi saat ini, sudah seharusnya menjadi bahan refleksi kita untuk berubah menjadi pribadi yang lebih baik dari hari ke hari. Jangan sampai bencana pandemi ini hanya dianggap sebagai sebuah bencana dan peristiwa tanpa meninggalkan pembelajaran untuk hidup lebih baik ke depannya.
Ini merupakan tahun ke-2 kita bergelut dengan pandemi di tengah suasana Ramadhan dan merupakan tahun ke-2 juga terdapat larangan mudik, yang tentunya membuat rasa kangen untuk kembali ke kampung halaman membuncah.
Namun kita harus bisa mengendalikan emosi dan berpikir jernih. Pandemi merupakan faktor eksternal yang tidak bisa kita kontrol, namun kita bisa mengontrol usaha kita dalam menekan penyebaran pandemi. Perang terhadap pandemi harusnya menjadi perang yang produktif di mana setiap orang atau pribadi terlibat. Kita tidak hanya bisa berpangku tangan dan mengandalkan pemerintah saja karena pada dasarnya produktivitas kelompok hanya bisa terjadi bila segenap orang di dalamnya merupakan pribadi yang produktif.
ADVERTISEMENT