Rumphius Sang Ilmuwan Buta, 50 Tahun Meneliti Kekayaan Alam Maluku

Konten Media Partner
22 Desember 2018 18:39 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Rumphius Sang Ilmuwan Buta, 50 Tahun Meneliti Kekayaan Alam Maluku
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Rumphius, ahli botani asal Jerman yang meneliti kekayaan alam Maluku. (Dok: Istimewa)
ADVERTISEMENT
Rumphius adalah ilmuwan yang penting bagi Maluku dan Indonesia, 50 tahun ia mengabdikan hidupnya meneliti kekayaan alam Maluku. Sayangnya, ia dilupakan. Tak banyak yang mengenal Rumphius di Ambon.
Di sudut kiri belakang gedung Gereja Katedral di Jalan Pattimura, Ambon, sebuah bangunan perpustakaan kecil berdiri. Perpustakaan itu tampak sunyi. Tak ada aktivitas orang tengah melihat-lihat ataupun membaca buku seperti di perpustakaan pada umumnya.
Padahal, perpustakaan bernama Rumphius itu menyimpan sekitar 10.000 literatur sejarah berbaris rapi di enam rak kayu di ruangan utama perpustakaan. Mulai dari buku ensiklopedia tua, sejarah kependudukan Belanda di Maluku, sampai buku seri internasional.
Satu ruangan khusus menyimpan sekitar 600-an buku tua, di antaranya 47 buah literatur yang ditulis ulang oleh berbagai penulis dunia tentang Rumphius, sang ahli botani asal Jerman, dan disimpan rapi di dalam lemari kaca. Termasuk enam karya yang ditulis sendiri oleh Rumphius, salah satunya Amboinsche Kruidboek atau dikenal juga dengan Herbarium Amboinense, berisi tentang rempah-rempah dan botani yang diterbitkan pada 1695.
ADVERTISEMENT
Buku itu biasanya dijadikan panduan bagi ahli botani dunia. Ada pula buku berjudul D’Amboinsche Ratreitkamer (Barang-Barang Aneh dan Langka dari Ambon) terbitan tahun 1705 dan Amboinsche Dierbook, tentang binatang di Amboina (sekarang Ambon) yang diterbitkan pada 1690 dalam bentuk salinan.
Buku aslinya hingga kini tak ditemukan lagi. Tiga buku lain Rumphius berkisah tentang sejarah yakni, D’Ambonsche Land-Beschrijving (Pulau-Pulau Amboina), yang ditulis pada 1679; De Ambonensche Historie (Sejarah Ambon) ditulis pada 1679; dan Waerachtigh Verhael van de Schrickelijcke Aerdtbevnge tentang gempa bumi dahsyat yang diterbitkan di Batavia pada 1675.
ADVERTISEMENT
Lahir dari seorang ayah berkebangsaan Jerman, keseluruhan buku-buku Rumphius ditulis dalam Bahasa Belanda karena ia memiliki kedekatan dengan Belanda lewat sang ibu, Anna Elizabeth Keller, yang berdarah Belanda. Baru pada 23 April 2007, Frans Rijoly menerjemahkan buku De Ambonsche Historie dan De Blinde Zeiner Van Ambon atau Si Buta dari Ambon ke dalam Bahasa Indonesia.
Enam buku tua tersebut dijaga dengan baik, para pengunjung yang datang pun tak bisa sembarangan memegang tanpa sarung tangan atau sekadar memfotokopi, kecuali yang sudah disalin dalam bentuk jilid.
“Buku-buku Rumphius tidak banyak karena langka. Makanya, buku-buku itu tidak bisa dibawa keluar, untuk fotokopi juga tidak bisa,” kata penjaga perpustakaan, Yola.
Rumphius Sang Ilmuwan Buta, 50 Tahun Meneliti Kekayaan Alam Maluku (1)
zoom-in-whitePerbesar
Rumphius adalah ilmuwan yang penting bagi Maluku dan Indonesia, 50 tahun ia mengabdikan hidupnya meneliti kekayaan alam Maluku. Sayangnya, ia dilupakan. Tak banyak yang mengenal Rumphius di Ambon.
ADVERTISEMENT
“Di Ambon, ada perpustakaan tapi hanya sedikit literatur Padahal, ia (Rumphius) penting karena penelitiannya, banyak ilmuwan yang memakai bukunya untuk rujukan penelitian,” kata Anis De Fretes, pegiat Rumphius.
Selain di perpustakaan Rumphius, kata Anis, sejumlah karya-karya Rumphius lainnya banyak terdapat di Universitas Leiden, Belanda. Museum Tropic di negeri kincir angin itu juga membuat patung lilin Rumphius. Untuk mengingat kembali perjalanan hidupnya di Ambon, komunitas Rumphius berencana membangun mini museum di Desa Hila, Kecamatan Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku.
“Mengenang jejak silsilah Rumphius di Ambon, kami berencana membangun museum di Hila untuk melawan lupa,” katanya.
ADVERTISEMENT
100 meter dari perpustakaan, tepat di seberang Gereja Katedral, jejak Rumphius lainnya berada di halaman sekolah Yayasan Xaverius. Tugu berbahan batu marmer itu berdiri dibelakang bangunan sekolah, tampak tak terurus dan berdebu.
Tugu setinggi satu meter tersebut dibangun 22 April 1996 oleh Uskup Sol dan pemerintah daerah setempat untuk mengenang Georg Eberhard Rumph, nama lengkap Rumphius, yang juga punya nama latin Georgius Everhardus Rumphius. Tugu tersebut dibangun sebagai penghargaan terhadap Rumphius yang mengabdikan seluruh hidupnya hingga meninggal di tanah Ambon pada 1702.
Rumphius Sang Ilmuwan Buta, 50 Tahun Meneliti Kekayaan Alam Maluku (2)
zoom-in-whitePerbesar
Meski lahir di Wolfersheim, Hessen, Jerman, nama Rumphius justru masyhur di Belanda. Ia sempat menjadi anggota militer Belanda. Karena kedekatan ibunya yang memiliki kerabat dekat di Belanda menjadi akses Rumphius mendaftar sebagai Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) dengan pangkat Adelborst atau setara kopral.
ADVERTISEMENT
Pada 1652, dari Hanau, ia dan ribuan tentara lainnya berlayar ke timur dengan kapal “Muyden”.
Setahun kemudian, pada bulan Juli 1653, Rumphius tiba di Batavia, pada tahun yang sama armada Vlaming dari Batavia tiba di Ambon. Sebelum menghabiskan semasa hidupnya sebagai ahli botani, karena kecerdasannya, Arnold De Vlaming menaikkan pangkat Rumphius sebagai Vaandrig setingkat perwira.
Empat tahun lamanya Rumphius menjadi seorang tentara, ia memutuskan berhenti lantaran tak tega berlaku kejam. Perang telah merenggut kedamaian hatinya. Karena kinerjanya, ia dipromosikan menjadi pengawas perdagangan di Desa Hila.
Jejak tempat tinggal Rumphius tak berbekas lenyap akibat tsunami yang menyapu Hila pada 2 Juli 1674. Tsunami itu merenggut nyawa hampir 2000-an warga termasuk istri Rumphius, Susanna, dan dua anak mereka.
ADVERTISEMENT
Saat terjadi tsunami, Rumphius selamat karena berada di dalam Benteng Amsterdam, benteng yang menjadi gudang penyimpanan rempah milik Belanda. Di situlah sehari-hari Rumphius bekerja sembari melakukan penelitiannya tentang flora dan fauna.
Namun di usia 45 tahun, Rumphius mengalami buta karena mengidap penyakit glaukoma. Dalam kebutaannya, ia mengandalkan indra penciuman dan meraba tumbuhan ataupun hasil laut yang akan ia teliti.
Dulu rumah Rumphius berada di kawasan Benteng Amsterdam Hila, 42 kilometer dari pusat Kota Ambon. Kini dijadikan pusat informasi sejarah kependudukan Belanda di desa itu.
ADVERTISEMENT
Benteng Amsterdam peninggalan Portugis kemudian dikuasai Belanda setelah Portugis angkat kaki dari Leihitu. Damri Lating, penjaga benteng, menuturkan terdapat fondasi bekas rumah sang Ilmuwan. Karena letaknya tak jauh dari pantai, seiring waktu fondasi itu rusak akibat abrasi.
“Sebelum dibangun kembali, bangunan itu ada fondasi rumah Rumphius yang rusak karena air laut,” kata Damri Lating, penjaga Benteng Amsterdam.
Terdapat foto enam jenis kerang hasil penelitian Rumphius yang dibingkai dalam pigura kaca serta dua buah sketsa wajahnya di piring. Benda-benda tersebut sengaja dipajang di atas meja sebagai tanda ia pernah hidup di sana.