Menjadi K-Pop Fangirl Menyambung Tali Kasih Persaudaraan

Lia Riyadi
Random stories and else about interesting things in a life of silly girl who happen to be a K Pop enthusiast
Konten dari Pengguna
3 Januari 2021 7:57 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Lia Riyadi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Fans Suho EXO memasang billboards ads di Jamsil Station, Korea Selatan. Foto: Suho Union Global
zoom-in-whitePerbesar
Fans Suho EXO memasang billboards ads di Jamsil Station, Korea Selatan. Foto: Suho Union Global

Ketika fangirling K-Pop tidak hanya sebuah obsesi

ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Mengawali tahun baru 2021 lalu, sebuah stasiun televisi nasional Indonesia menayangkan sinetron yang tajuknya "Kisah Nyata: Bagaimana Menyadarkan Isteriku yang Terlalu Terobsesi K-Pop". Dari judulnya saja sudah menggiring penonton pada opini bahwa menjadi fangirl yang terobsesi pada K-Pop itu seolah-olah adalah sebuah penyakit, kesalahan dan kejelekan yang harus disadarkan agar kembali ke jalan yang normal.
ADVERTISEMENT
Kemudian terlintas dalam pikiran, "Apa iya jadi fangirl itu segitu berdosanya? Apa tidak ada hal baik yang bisa diambil dengan menjadi fangirl?".
Untuk saya pribadi, satu hal positif yang saya syukuri sejak "terjerumus" menjadi fangirl K-Pop pada awal tahun 2016 adalah tersambungnya tali kasih persaudaraan dengan adik perempuan yang terpaut usia 6 tahun.
Ibu, adik perempuan saya dan saya di usia belia kami. Foto: koleksi pribadi
Selain perbedaan usia yang lumayan jauh, kami pun tumbuh kembang dalam kondisi terpisah. Kedua alasan inilah yang membuat saya merasa bahwa saya tidak terlalu memiliki ikatan persaudaraan dengan adik perempuan saya.
Kami baru melewati hidup bersama di bawah satu atap setelah saya mulai menginjak usia remaja. Terbiasa sendiri dan selalu mendapatkan apa yang saya inginkan, membuat saya kesulitan beradaptasi ketika harus berbagi dengan saudara perempuan saya. Singkatnya, bagai api dan air kami memiliki dunia yang berbeda hingga kami menuju dewasa. Meski tinggal serumah, tapi komunikasi kami berdua sangat terbatas. Sering kali kondisi tidak nyaman muncul karena kami tidak punya topik diskusi bersama.
ADVERTISEMENT
Lepas kuliah, saya disibukkan dengan dunia kerja. Saya pun tidak terlalu memperhatikan kehidupan adik perempuan saya itu. Sekilas saya hanya mengetahui bahwa dia mulai menyukai aliran musik K-Pop setelah mengikuti mata kuliah Bahasa Korea I sebagai pelajaran pilihan di Program Studi Sastra Inggris yang dijalaninya di Universitas Indonesia. Era itu K-Pop tidak setenar J-Pop atau C-Pop yang lebih populer.
Selintas lalu, untuk memperkaya isi playlist yang saya putar di MP3 player saya juga suka menyalin file musik yang dia punya. Karena terlalu malas memilah, beberapa file musik K-Pop pun ikut tersalin di luar file musik barat populer. Masa itu sekitar 2010-an, lagu yang kerap ikut terputar antaranya Bonamana, Sorry Sorry, Mr. Simple koleksi Super Junior; Replay, Lucifer, Hello, Ring Ding Dong punya SHINee, dan beberapa lagu dari SNSD.
ADVERTISEMENT
Tidak sedikitpun saya tergerak untuk mengenal lebih jauh mengenai genre musik K-Pop ini. Selain kurang minat, kami juga kembali terpisah karena saya tinggal di luar negeri dan sedang konsentrasi menyelesaikan kuliah program Master.
Hidayah K-Pop itu datang enam tahun kemudian, ketika hidup terasa sungguh berat dengan penuh beban. Saya yang merantau bekerja di luar negeri harus sendirian menghadapi problematika pekerjaan dan kehidupan. Menjaga kewarasan saat itu sungguh tidak mudah.
Di awal 2016 itu, adik perempuan saya juga sedang jenuh dengan pekerjaannya memutuskan menghampiri saya untuk berlibur. Dia datang di saat yang kurang tepat karena kondisi negara saya bekerja sedang libur nasional total selama 10 hari. Tidak ada toko yang buka, transportasi publik juga tidak beroperasi, hotel dan restoran yang masih beraktivitas juga sangat terbatas. Lebih buruk, karena miskomunikasi dengan jasa sewa mobil yang kami gunakan membuat kami berdua terjebak di kamar hotel selama satu hari penuh tidak bisa keluar hotel.
ADVERTISEMENT
Dalam kondisi tersebut, iseng saya bertanya sebuah pertanyaan yang sungguh mengubah saya selamanya, "Kamu punya file drakor Descendant of the Sun? Kita nonton itu aja kalau punya. Penasaran kok heboh banget kabarnya." Saya yang belum pernah menonton drakor sama sekali, akhirnya untuk pertama kalinya mengenal sinetron produksi Korea. Hari itu, kami menghabiskan sekaligus seluruh episode dari awal hingga akhir.
Setelah liburannya usai dan ia kembali ke Indonesia, saya mulai terpikat dengan gerakan Hallyu Korea ini. Saya takjub bagaimana Korea bisa mengemas industri kreatifnya menjadi ujung tombaknya promosi negaranya. Tapi, karena preferensi pribadi, minat saya bergeser dari drama ke musik dan berkenalan dengan penyanyi Korea bernama Kim Junsu.
Kim Junsu atau Xia. Foto: Akun IG Resmi @xiaxiaxia1215
Satu siang saya mengirim pesan pada adik perempuan saya itu, "Penyanyi Korea yang namanya Kim Junsu itu, bagus ya. Saya suka sama skill vokalnya". Terkaget dia menjawab, "Demi apa tiba-tiba nanyain Kim Junsu?" Ternyata, Kim Junsu adalah salah satu anggota grup boyband favoritnya.
ADVERTISEMENT
Akhirnya, seperti murid yang haus ilmu, saya sering mengirimkan pesan kepada adik perempuan saya itu. Menanyakan ini dan itu mengenai industri musik Korea. Dia pun sabar menjelaskan seluk beluk dunia hiburan musik K-Pop yang rumit dengan segala kebiasaannya. Pelan-pelan saya belajar mengenai dunia fandom K-Pop juga aturan-aturan tidak tertulisnya. Di akhir 2016, dia mengajak dan membimbing saya menyaksikan konser Kim Junsu di Bangkok tepat sebelum Kim Junsu memulai hiatus wajib militernya. Pengalaman konser K-Pop saya yang pertama.
Konser The 5th Asia Tour Xia Kim Junsu tahun 2016, konser K-Pop pertama saya. Foto: koleksi pribadi
Semenjak itu, rasanya tali kasih persaudaraan kami terjalin kembali setelah sekian tahun kami tidak "terkoneksi". Seperti membayar hutang, komunikasi kami menjadi sangat intensif. Diskusi mengenai K-Pop tidak ada habisnya, selalu saja ada bahan yang bisa kami bicarakan. Dia memperkenalkan saya beberapa pemusik senior K-Pop, sementara dia yang sudah lama tidak mengikuti perkembangan terkini industri musik Korea akhirnya mengenal beberapa grup boyband generasi baru yang saya monitor.
ADVERTISEMENT
Beberapa konser juga kami hadiri bersama, baik di Indonesia maupun di luar negeri. Sering saya yang menemaninya nonton konser meski saya tidak terlalu mengenal grup kesukaannya, dan sebaliknya dia juga dengan setia menemani saya menonton beberapa konser BTS karena kemudian fandom "Army" adalah tempat saya berlabuh.
Konser Wings Tour BTS di Jakarta tahun 2017. Foto: koleksi pribadi
Fanmeeting Wanna One di Kuala Lumpur tahun 2019. Foto: koleksi pribadi
Konser Prism Pentagon tahun 2019 di Jakarta. Foto: koleksi pribadi
Orang tua kami pun meski tidak sepenuhnya menyetujui dengan hobi kami, juga tidak sepenuhnya melarang. Setidaknya sekarang orang tua percaya bahwa kami dapat saling menjaga jika sedang menonton konser berdua. Beban finansial juga bisa dibagi berdua untuk urusan menghadiri konser atau mengirim album dan merchandise K-Pop dari Korea.
Tidak hanya itu, kami berdua mengambil kursus Bahasa Korea di kelas yang sama hampir setahun lamanya. Jadi, setiap akhir pekan kami habiskan satu hari bersama untuk belajar bahasa ibu para artis-artis Korea kesayangan kami. Seusai kelas, tak jarang kami terus menghabiskan hari sambil wisata kuliner Korea di seputaran Jakarta.
ADVERTISEMENT
Lingkaran pertemanan kami pun akhirnya beririsan. Beberapa kawan yang saya kenal karena mengikuti musik K-Pop juga akhirnya menjadi kawan adik saya, demikian juga sebaliknya. Jadi, aktivitas kami pun sering kali sama kalau sudah berurusan dengan per-K-Pop-an.
Hubungan persaudaraan kami yang dahulu dingin dan tidak berwarna, telah tertolong semenjak hadirnya K-Pop.
So, thank you K-Pop for saving my relation with my younger sister. Indeed, K-Pop has made my life more colorful ever since.