Polemik Bandara Internasional dan Bandara Domestik

Alvin Lie
Pemerhati Penerbangan dan Pelayanan Publik.
Konten dari Pengguna
30 April 2024 9:11 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Alvin Lie tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Pesawat di Bandara. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Pesawat di Bandara. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pada tanggal 2 April 2024, melalui Keputusan Menteri Perhubungan nomor KM31 tahun 2024, Kementerian Perhubungan menetapkan 17 bandara sebagai bandara yang melayani rute internasional. Ratusan bandara lainnya hanya melayani penerbangan domestik. Sebagian besar tanggapan publik mengandung 3 unsur, yang pertama adalah mempertanyakan mengapa provinsinya tidak lagi mempunyai bandara internasional, padahal ada beberapa bandara di provinsi tersebut. Unsur kedua adalah merasa dipersulit untuk terbang ke luar negeri, dan unsur ketiga adalah menilai bahwa bandara domestik lebih rendah kastanya dibanding bandara internasional.
ADVERTISEMENT
Melalui tulisan ini Penulis mengajak Pembaca untuk mendalami tentang Bandara Domestik dan Bandara Internasional.
Seluruh bandara di Indonesia yang telah terserfitifikasi, telah memenuhi standar keselamatan internasional secara teknis, sesuai dengan kapasitas yang dioperasikan. Soal kecanggihan, kemewahan maupun kenyamanan, tidak ada bedanya antara bandara Domestik dan Internasional. Landasan pacu sama, lapangan parkir pesawat sama, fasilitas, dan pelayanan navigasi sama.
Yang membedakan Bandara Internasional dari Bandara Domestik hanyalah tersedianya Gedung Terminal yang terpisah antara Pergerakan Domestik dari Pergerakan Internasional, di mana tersedia fasilitas, pelayanan Imigrasi, Kepabeanan (Bea & Cukai), serta Karantina. Dalam industri penerbangan disebut sebagai CIQ, singkatan dari Customs, Immigration and Quarantine. Jelas tidak ada perbedaan kasta antara bandara Domestik dengan Internasional.
ADVERTISEMENT
Sebelum pandemi, ada 34 bandara di Indonesia yang dizjinkan melayani penerbangan rute internasional. Namun dalam praktiknya, kurang dari 15 bandara yang aktif melayani rute antarnegara. Sebagian yang aktif, hanya melayani 1 hingga 3 keberangkatan per pekan, dengan jumlah penumpang yang sedikit dan secara ekonomi tidak sepadan dengan biaya yang harus ditanggung untuk pelayanan penerbangan internasional, yaitu biaya pelayanan CIQ.
Dari 15 bandara tersebut, praktis hanya 5 bandara yang melayani penerbangan rute internasional ke lebih dari 2 negara, yaitu bandara Soekarno-Hatta (Banten), Juanda (Jawa Timur), I Gusti Ngurah Rai (Bali), Sultan Hasanuddin (Sulawesi Selatan), dan Sam Ratulangi (Sulawesi Utara). Bandara-bandara internasional lainnya hanya melayani rute Singapura dan Malaysia. Itupun dengan taraf keterisian (Passenger Load Factor) yang tidak terlalu menarik bagi maskapai penerbangan sehingga mereka mengurangi jadwal/frekuensi penerbangan.
ADVERTISEMENT
Data pergerakan masuk-keluar penumpang menunjukkan bahwa pada 15 bandara tersebut, 70% hingga 90% penumpangnya adalah pemegang paspor Indonesia. Hal ini merupakan indikasi bahwa keberadaan bandara internasional hanya memfasilitasi warga kita ke luar negeri, tapi tidak efektif mendatangkan tamu dari negara lain. Bandara-bandara kita praktis hanya menjadi pengumpan bagi bandara di Singapura dan Malaysia. Kondisi ini tentu tidak menguntungkan bagi Indonesia.
Rendahnya jumlah tamu dari negara lain tidak lepas dari minimnya upaya pemerintah daerah dalam mempromosikan potensi daerahnya di luar negeri. Belum nampak upaya pemasaran daerah yang komprehensif dan berkelanjutan untuk memperkenalkan potensi perdagangan, industri, pendidikan, wisata, dan sebagainya di Singapura dan Malaysia, alih-alih di negara-negara lain. Sebaliknya agen-agen perjalanan justru aktif menawarkan paket wisata, berobat, studi, dan lain-lain di Singapura dan Malaysia
ADVERTISEMENT
Selama pandemi, jumlah bandara internasional sempat dirampingkan menjadi hanya 7 kemudian ditambah menjadi 15 hingga saat ini dan selama ini baik-baik saja. Tidak ada gejolak publik. Namun reaksi muncul ketika KM 31/ 2024 diterbitkan. Padahal Keputusan MenHub tersebut justru menambah jumlah bandara internasional dari 15 menjadi 17. Sebagian masyarakat juga menganggap bahwa KepMen tersebut merupakan Vonis Mati bagi bandara di daerahnya untuk tidak lagi melayani penerbangan rute lintas negara.
Sejumlah calon penumpang pesawat komersial antre untuk "check in" di Bandara Adi Soemarmo, Boyolali, Jawa Tengah, Senin (29/4/2024). Foto: ANTARA FOTO/Aloysius Jarot Nugroho
Perlu dicermati bahwa PerMenHub PM 40 tahun 2023 tetap membuka peluang bagi bandara di luar 17 tersebut untuk dapat tetap melayani penerbangan internasional secara insidentil atau tidak berjadwal. Penerbangan medevac (evakuasi pasien untuk perawatan di luar negeri), penerbangan charter baik charter umum atau charter khusus, misalnya untuk jemaah umrah, penerbangan untuk pergelaran kompetisi olahraga internasional, maupun untuk konferensi internasional, serta untuk berfungsi sebagai embarkasi Haji.
ADVERTISEMENT
Bandara Adi Soemarmo, Surakarta; Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II, Sumatera Selatan; dan Bandara Syamsudin Noor, Kalimantan Selatan, tidak masuk dalam 17 bandara internasional, namun tetap berfungsi sebagai embarkasi Haji. Pelayanan CIQ untuk penerbangan internasional yang tidak berjadwal, tetap disediakan oleh instansi terkait bilamana diperlukan. Tidak secara dedicated selalu tersedia di bandara.
Sudah lama saya mengusulkan kepada Kementerian Perhubungan untuk tidak menggunakan kata "Internasional" dalam nama Bandara. Setiap bandara di Indonesia setiap saat bisa melayani penerbangan domestik saja atau juga melayani rute lintas negara. Tergantung kebutuhan dan perkembangan.
Kita lihat bandara-bandara besar di negara lain, seperti Schiphol – Amsterdam, Charles de Gaulle – Paris, Gatwick dan Heathrow – London, John F Kennedy - New York, Narita dan Haneda – Jepang, Incheon – Korea dan Changi – Singapore. Semuanya tidak menyandang kata "Internasional"
ADVERTISEMENT
Kata "Internasional" di nama bandara hanya sebagai pemuas ego saja, sehingga justru menjadi masalah karena seolah-olah bandara internasional lebih hebat, kastanya lebih tinggi daripada bandara domestik. Padahal semua standar keselamatan & teknis sama. Padahal yang membedakan hanya rute penerbangan yang dilaksanakan oleh maskapai penerbangan. Apakah maskapai penerbangan juga harus menyandang nama "Internasional" atau "Domestik" dalam namanya?