Kekerasan Emosional adalah Kekerasan

Alma Dhyan Kinansih
Mahasiswi Ilmu Komunikasi Universitas Airlangga
Konten dari Pengguna
6 Juni 2022 21:24 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Alma Dhyan Kinansih tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
dokumentasi pribadi penulis
zoom-in-whitePerbesar
dokumentasi pribadi penulis
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Ketika kita mendengar kata ‘kekerasan’ sering kali yang muncul dalam benak kita adalah bentuk kekerasan fisik yang bisa dilihat melalui memar atau luka, sebuah tindakan seseorang yang bisa melukai orang lain. Namun, apakah benar bahwa untuk melukai orang lain hanya bisa dilakukan melalui serangan berbentuk fisik? Lalu bagaimana dengan ancaman atau hal lain yang bisa mengakibatkan seseorang merasa tidak aman? Faktanya, kekerasan fisik dan kekerasan emosional adalah dua hal yang serupa namun tak sama. Hanya saja, kekerasan emosional telah lama dipandang sebagai sesuatu yang tak terlihat hanya karena tidak meninggalkan jejak.
ADVERTISEMENT
Topik kekerasan emosional dalam suatu hubungan telah diangkat pada seri terbatas Netflix, berjudul Maid. Bercerita tentang seorang ibu muda yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga berupa kekerasan emosional. Sang ibu lalu harus berjuang menghidupi anaknya yang masih balita dengan membanting tulang membersihkan rumah-rumah mewah. Usahanya untuk lepas dari hubungan toxic itu diabadikan dengan realistis lewat serangkaian episode yang layak kalian tonton. Terdapat suatu dialog dalam tayangannya yang berjalan begini:
“Aku benar-benar benci mengambil tempat tidur dari seseorang yang benar-benar telah menerima kekerasan”
“Benar-benar menerima kekerasan? Apa artinya?"
“Dipukuli, terluka”
“Dan seperti apa kekerasan palsu itu? Intimidasi? Ancaman? Kontrol?"
Dialog di atas adalah cerminan bagaimana masyarakat memandang kekerasan emosional sebagai sesuatu yang 'tidak cukup merusak' atau 'tidak menjadi prioritas’ dibandingkan dengan kekerasan fisik, padahal dampak yang ditimbulkan juga sama merugikannya. Kekerasan emosional dalam hubungan sering tidak dapat dikenali karena kurangnya kesadaran korban terhadap tindakan toxic yang dilakukan oleh pasangannya. Walaupun ada kalimat populer berbunyi “cinta itu buta”, ada baiknya kita tidak menutup mata terhadap hal-hal apa saja yang termasuk dalam kekerasan emosional agar terhindar dari dampaknya yang bisa menyerang kesehatan mental korbannya:
ADVERTISEMENT
Walaupun berada di bawah kontrol kadang kali bisa menciptakan rasa aman, namun apa yang akan terjadi bila kontrol yang diberikan benar-benar membatasi keinginan dan kebebasan kita sebagai individu? Kebiasaan mengontrol ini tidak hanya tercermin dalam suatu perintah saja, namun nada-nada yang bersifat menuntut juga: “Bukannya aku udah bilang ke kamu jangan pake baju kayak gitu?”. Kebiasaan mengontrol ini bisa menyebabkan korbannya merasa terjebak dan pergerakannya sangat dibatasi, sehingga menyelimuti korban dengan rasa ketakutan terhadap pasangannya.
Manusia memang tempatnya salah, benar. Namun, apabila hal ini menjadi suatu ‘kebiasaan’ maka disitulah kamu harus menggambar garis batas dalam hubunganmu. Kebiasaan menyalahkan pasangan bisa menjadi suatu hal yang amat fatal karena bisa menyebabkan korbannya merasa tidak berharga dan selalu diremehkan. Bahkan, karena terlalu sering disalahkan, korban bisa membentuk sebuah sugesti bahwa ia memang pantas disalahkan atas hal-hal yang sebenarnya bukan salahnya. Hal ini tentu mengikis rasa percaya diri korban dan bisa berbuntut ke masalah kesehatan mental lain.
ADVERTISEMENT
Penghinaan, secara sadar atau tidak sadar akan menurunkan harga diri seseorang sampai pada titik di mana korban terluka karenanya. Dalam suatu hubungan, kerap kali ada panggilan kesayangan yang bertujuan untuk menunjukkan afeksi kepada pasangan. Namun, dalam beberapa kasus, panggilan-panggilan khusus dalam suatu hubungan ini bisa melewati batas. Contohnya adalah panggilan yang bersifat merendahkan seperti bodoh, tolol, idiot, dan lain-lain. Penghinaan juga bisa dicerminkan dalam lelucon atau sarkasme yang dapat menyakiti perasaan korban, secara terang-terangan menyebut nama panggilan tidak senonoh di depan publik, mengkritik di depan publik, serta penggunaan kata-kata kasar. Sehingga, apabila kamu merasa panggilan yang diberikan pasanganmu tidak menunjukkan afeksi tapi membuat perasaanmu terluka, pertanyakan lagi tentang kesehatan hubunganmu, ya!
ADVERTISEMENT
Kekerasan emosional belum menjadi hal yang familiar di kalangan masyarakat karena berbeda dengan kekerasan fisik, sulit untuk mendapatkan bukti perlakuan kekerasan emosional dalam diri korban, sehingga tidak ada payung hukum yang melindunginya. Padahal, kekerasan emosional sangat bersifat destruktif bagi kehidupan korbannya, kekerasan emosional dapat menyerang kesehatan mental, bahkan kejiwaan seseorang.