Ancaman Kebebasan Netizen

Alja Yusnadi
Kolumnis, tinggal di Aceh
Konten dari Pengguna
4 September 2020 15:35 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Alja Yusnadi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi media sosial Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi media sosial Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Oleh: Alja Yusnadi
Dulu, di saat Perusahaan media tidak bisa bekerja leluasa, gerakan masyarakat sipil bersepakat menuntut dibukanya ruang kebebasan pers. Sebagian besar masyarakat mendukung wacana tersebut, sehingga terbukalah kemerdekaan bagi pers untuk menuliskan apa saja yang menurut mereka layak diberitakan.
ADVERTISEMENT
Kekuasaan pers kemudian ditambah dengan kehadiran Dewan Pers yang dalam perjalanannya berfungsi sebagai lembaga yang menaungi perusahaan media yang sudah memenuhi ketentuan.
Jika dalam praktiknya ada pihak-pihak yang keberatan dengan pemberitaan pers, maka tempat penyelesaiannya di Dewan Pers, bukan di kepolisian atau di kejaksaan. Begitulah pers telah mendapatkan tempat yang sangat layak di Republik ini.
Lambat-laun, kemerdekaan yang telah mereka dapatkan sedikit demi sedikit dirampas oleh kemajuan teknologi, bukan oleh kekuasaan seperti rezim diktator. 
Ketajaman tulisan membuat media-media tersebut menjadi media dengan oplah tertinggi dan juga menjadi tempat memasang iklan, entah itu pengusaha, maupun penguasa. Jadilah media-media itu begitu kuat secara finansial.
Kemajuan teknologi, memaksa media-media cetak ikut membuka cabang atau anak perusahan menjadi media online. Ada yang mempertahankan kedua-duanya, ada yang beralih total ke online atau melebarkan sayap menjadi portal media yang menyediakan hampir semua kebutuhan pengguna, termasuk untuk mendownload lagu.
ADVERTISEMENT
Revolusi Industri ternyata ikut menyeret Revolusi media. Jika sebelumnya yang menjadi saingan media-media mainstream adalah portal online, sekarang yang menjadi saingan justru para netizen.
Dengan menggunakan berbagai aplikasi media sosial, perlahan peran netizen sudah menggerus peran media tadi. Warganet dengan modal seadanya dapat membuat situs web pribadi dengan housting gratis atau berbayar.
Sudah banyak kita lihat peran netizen dalam hal “pemberitaan”. Beberapa kasus kriminal berhasil diadvokasi para netizen. Tentu tidak semua pengguna internet atau media sosial mengambil peran itu. 
Sebagaian yang serius mendapat penghasilan yang layak dari aktivitasnya di internet. Ada yang menjadi konten kreator, influencer, blogger dan lain-lain. Sebagiannya lagi hanya sekadar iseng.
Aktivitas para netizen yang dibantu oleh platform media sosial mulai dirasakan oleh media mainstream. Media-media tersebut juga tidak tinggal diam. Sebagai industri, mereka juga memberikan reaksi. Ada yang meresponnya dengan beradaptasi dengan teknologi, karena tidak semua peran media dapat digantikan netizen melalu media sosial.
ADVERTISEMENT
Ada juga yang bereaksi lain, seperti Tempo.co melaporkan kepada pihak berwajib karena situs mereka di “ganggu”. RCTI dan INewsTV melakukan uji materi UU Penyiaran ke Mahkamah Konstitusi.
Menurut mereka, undang undang tersebut sudah ketinggalan zaman. Karena tidak mengatur tentang layanan Over the Top (OTT) seperi live streaming Netflix dan Youtube.
Beberapa kali situs Tempo.co dibobol oleh orang yang belum diketahui. Ada beberapa asumsi yang bisa digunakan. Sasaran pertama tentu harus dialamatkan kepada yang tidak senang Pemerintah diganggu oleh Tempo.co dalam tulisan-tulisannya.
Karena, lazimnya di Indonesia, media yang dianggap kritis itu tidak disukai oleh pemerintah yang dapat membuka boroknya. Sasaran kedua merupakan pihak-pihak yang terganggu oleh tulisan Tempo.co di luar pemerintah.
ADVERTISEMENT
Siapa mereka? Bisa jadi pengguna internet yang selama ini mendapat keuntungan dari Pemerintah. Untuk kategori ini, ada yang menamakan Buzzer, ada yang menamakan Influencer. Pemerintah mulai melirik pengguna media sosial non perusahaan untuk bekerjasama dalam hal penyampaian informasi.
Kemudian, kasus selanjutnya, gugatan beberapa stasiun televisi terhadap undang-undang penyiaran. Mereka menilai undang-undang itu sudah usang karena tidak mengatur tentang layanan OTT. Mau tidak mau, keberadaan layanan Youtube dan Netflix dan beberapa media sosial yang menyediakan fitur live streaming menjadi pola baru dalam komunikasi internet.
Hanya bermodalkan kuota internet dan perangkat sederhana, kita sudah bisa melakukan “siaran langsung” yang disaksikan oleh banyak orang. Beberapa fungsi televisi sudah diambil oleh fasilitas media sosial.
ADVERTISEMENT
Di satu sisi cukup beralasan mereka menggugat. Tapi yang tidak bisa dipungkiri adalah kemajuan teknologi. Dulu, sewaktu saya kecil, sekitar tahun 1980-an, televisi adalah barang mewah, minimal di tempat saya berdomisili.
Lambat-laun televisi menjadi barang biasa, siapa saja bisa memilikinya. Kemudian muncul parabola. Setelah itu muncul siaran berbayar. Perubahan itu tidak dapat dihindari. Dia terus hadir sebagai konsekuensi logis dari berkembangnya ilmu pengetahuan.
Seharusnya, kita bisa hidup berdampingan dengan kemajuan teknologi itu. Lihatlah bagaimana Bluebird sebagai raksasa Taksi di Indonesia harus berdampingan dengan penyedia layanan online.
Media-media tadi seharusnya juga demikian. Group bisnis mereka harus cepat beradaptasi dengan dunia digital, jika tidak mau tergerus oleh zaman. Membatasi gerak-langkah netizen merupakan langkah mundur.
ADVERTISEMENT
Karena, diawal kemerdekaannya, pers justru manunggal dengan rakyat melawan kekuasaan. Hari ini sebagian besar dari mereka menjadi netizen.
Lagi pula, ada atau tidaknya mereka, perubahan akan terus terjadi. Sesuatu yang hebat di masa lalu, menjadi biasa di masa depan. Suatu yang tidak terbayang si masa lalu, justru menjadi besar di masa depan. Jangan pula, laku kekuasaan di masa lalu, telah diambil sebagian oleh perusahaan pers di masa depan.
Alja Yusnadi, Kolumnis tinggal di Aceh.