Beberapa Dugaan Pelanggaran Formil dalam Pembahasan dan Persetujuan RUU Ciptaker

Konten dari Pengguna
9 Oktober 2020 7:40 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ali Salmande tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) – minus Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) dan Fraksi Partai Demokrat (FPD) – secara resmi menyetujui Omnibus Bill Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (RUU Ciptaker) untuk menjadi undang-undang dalam rapat paripurna pada Senin (5/10) lalu. Uniknya, walau sudah disetujui, sampai artikel ini dibuat, naskah akhir RUU Ciptaker belum secara resmi diakses ke publik, termasuk anggota dewan yang ikut membahasnya.
ADVERTISEMENT
Lalu, apa yang disetujui oleh para anggota dewan tersebut, apabila sampai rapat paripurna berakhir naskah final secara RUU Ciptaker itu belum ada?
Hal tersebut merupakan salah satu bukti bahwa asas keterbukaan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan dalam Pasal 5 huruf a UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana diubah UU No. 15 Tahun 2019. Penjelasan Pasal itu memaparkan yang dimaksud “asas keterbukaan” adalah bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.
Selain pelanggaran soal asas, ada juga beberapa ketidaklaziman atau dugaan pelanggaran lainnya yang lebih spesifik. Basis aturan yang digunakan sebagai acuan adalah Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib, terutama yang mengatur turunan dari UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Poin-poin ini dapat menjadi amunisi, apabila ada pihak yang berkeberatan dengan UU Ciptaker ini, kemudian mengajukan uji formil ke Mahkamah Konstitusi (MK).
ADVERTISEMENT
Pertama, adanya dugaan beberapa materi yang tidak sesuai dengan kesepakatan hasil rapat. Hal ini disampaikan sendiri oleh Ketua Komisi X DPR RI dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (FPKB) Syaiful Huda yang kaget dan bingung bahwa masih ada pasal dalam RUU Cipta Kerja yang mengatur perizinan pendidikan. Padahal, sebelumnya, Baleg dan Pemerintah sudah sepakat untuk mencabut klaster pendidikan dari RUU Cipta Kerja.
Apabila hal tersebut benar, maka ada pelanggaran terhadap Pasal 159 Tata Tertib DPR tersebut. Ketentuan tersebut menyatakan bahwa tim perumus bertugas merumuskan materi rancangan undang-undang yang membutuhkan penyempurnaan redaksional dan terkait substansi yang disetujui tetapi rumusan perlu disempurnakan, sesuai dengan keputusan rapat kerja dan rapat panitia kerja dengan menteri. Artinya, draft akhir RUU yang dirumuskan oleh tim perumus seharusnya merujuk kepada hasil kesepakatan dalam rapat panja.
ADVERTISEMENT
Kedua, tidak diberikannya naskah RUU kepada fraksi dan anggota dalam pengambilan keputusan tingkat I di Baleg dan keputusan tingkat II di Rapat Paripurna. Ini tidak sejalan dengan konvensi atau kebiasaan ketatanegaraan, serta logika umum, bahwa seharusnya memang draft akhir RUU diberikan, agar fraksi mempunyai bahan yang cukup untuk menyampaikan pendapatnya terhadap RUU itu. Apalagi, bila merujuk kepada Pasal 163 Tatib DPR, salah satu kegiatan dalam rapat pengambilan keputusan tingkat I membutuhkan naskah akhir RUU yang utuh.
a. Pengantar pimpinan komisi, gabungan komisi, badan legislasi, badan anggaran, atau panitia khusus;
b. laporan panitia kerja;
c. pembacaan naskah rancangan undang-undang;
ADVERTISEMENT
d. pendapat akhir mini sebagai sikap akhir fraksi, presiden, dan DPD jika rancangan undang-undang berkaitan dengan kewenangan DPD;
e. penandatanganan naskah rancangan undang-undang; dan
f. pengambilan keputusan untuk melanjutkan pada Pembicaraan Tingkat II.”
Lalu, apakah kegiatan pada poin c dan e telah dilakukan pada pengambilan keputusan RUU Ciptaker di Baleg pada Sabtu, 3 Oktober 2020? Kegiatan ini sepertinya luput dilakukan, apabila merujuk kepada pendapat mini Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) yang disampaikan oleh juru bicaranya bahwa pihaknya belum menerima draft lengkap RUU tersebut. Bahkan, hal tersebut berlanjut pada saat rapat paripurna, hingga artikel ini dibuat, draft lengkap RUU itu belum disampaikan ke publik.
ADVERTISEMENT
Ketiga, perubahan jadwal rapat yang dilakukan sangat cepat. Informasi yang beredar ke masyarakat adalah awalnya rapat paripurna pengambilan keputusan RUU Cipta Kerja dilakukan pada 8 Oktober 2020. Lalu, ternyata rapat dimajukan menjadi tanggal 5 Oktober 2020. Apabila memang ada perubahan, maka perlu diuji apakah perubahan waktu rapat itu sudah sesuai dengan aturan Pasal 290 ayat (1) dan ayat (2) Tatib DPR.
Pasal 290 ayat (1) memang menyatakan bahwa “Fraksi, alat kelengkapan DPR, atau Pemerintah dapat mengajukan usul perubahan kepada pimpinan DPR mengenai acara yang telah ditetapkan oleh Badan Musyawarah, baik mengenai perubahan waktu maupun mengenai masalah baru, yang akan diagendakan untuk segera dibicarakan dalam rapat Badan Musyawarah.”
Namun, ketentuan Pasal 290 ayat (2) memuat adanya batas waktu untuk mengajukan perubahan rapat. Ketentuan itu berbunyi,”Usul perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara tertulis dengan menyebutkan waktu dan masalah yang diusulkan dalam jangka waktu paling lambat 2 (dua) hari sebelum acara rapat yang bersangkutan dilaksanakan.”
ADVERTISEMENT
Beberapa poin yang disampaikan di atas memang memerlukan pembuktian, dan oleh karenanya, proses uji formil di MK menjadi salah satu pilihan untuk memastikan apakah ada aspek prosedural tersebut dilanggar. Proses pembuktian bahkan bisa dilakukan dengan menghadirkan para anggota DPR yang ikut membahas dan memberi persetujuan RUU Cipta Kerja itu (terutama dari dua fraksi yang menolak dan mempersoalkan UU itu, seperti Ledia Hanifa dari FPKS dan Benny K Harman dari FPD) sebagai saksi dalam persidangan di MK.
Kesaksian para anggota dewan itu tentu akan memperkuat dan memberi legitimasi dalam proses pembuktian di sidang. Dan, apabila terbukti, MK sebagai penjaga konstitusi tidak perlu ragu-ragu untuk mengabulkan uji formil ini, meski konsekuensinya adalah seluruh pasal dalam UU Ciptaker itu dinyatakan tidak berkekuatan hukum mengingkat. Bukan sekadar karena MK akan ‘memecahkan telor’ uji formil yang sebelumnya tidak pernah dikabulkan dalam sejarah MK, tetapi untuk memberi efek jera kepada DPR dan Pemerintah agar tidak lagi ‘mengelabuhi’ publik dalam pembahasan dan persetujuan RUU di masa depan secara ugal-ugalan dengan menabrak aspek prosedural/formil. Ali Salmande Peneliti Kolegium Jurist Institute
ADVERTISEMENT