Analisis Produk Halal Indonesia: Potensi Domestik untuk Persaingan Global

Akbar Sabili
Mahasiswa IPB University
Konten dari Pengguna
16 Maret 2022 13:54 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Akbar Sabili tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber : Pribadi (ilustrasi)
zoom-in-whitePerbesar
Sumber : Pribadi (ilustrasi)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
“Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal dan baik yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagimu” (QS. Al-Baqarah : 168).
ADVERTISEMENT
Terdapat dua poin yang dapat kita petik dari terjemahan ayat di atas. Pertama, kata ‘makanlah’ merupakan kalimat perintah dari Allah swt. pada seluruh manusia. Bagi muslim, konsumsi makanan yang halal adalah perintah Allah swt yang wajib hukumnya untuk ditaati, berpahala bila dikerjakan dan berdosa bila ditinggalkan. Bagi non-muslim, perintah mengonsumsi makanan halal mestinya diterima dalam rangka hak asasi setiap manusia.
Kedua, halal selalu berpasangan dengan thoyyib (baik). Halal adalah segala sesuatu (benda atau perilaku) yang boleh dikerjakan menurut syariat Islam. Halal merupakan aspek spiritual kerohanian dalam mengonsumsi atau menjalankan aktivitas. Thoyyib adalah baik, membawa kebaikan, dan aman untuk dikonsumsi, termasuk aspek keamanan pangan seperti bersih, menyehatkan, dan bermutu. Thoyyib meliputi aspek fisik, kimia, dan biologi produk yang dikonsumsi serta aspek fasilitas dan lingkungan produksi. Aspek halal dan thoyyib ini dalam syariat islam bertujuan pada pencapaian tujuan kemaslahatan umat berdasarkan syariat (maqashid syariah).
ADVERTISEMENT
Secara implisit, halal dan thoyyib sesungguhnya mencakup standar Food Safety, GMP, dan ISO. Konsep produk halal bahkan lebih dari sekedar mutu, juga sebagai tanggungjawab spiritual bagi setiap muslim. Berbeda dengan standar mutu, halal menganut prinsip zero tolerance, tidak mengenal toleransi kontribusi zat haram ke dalam zat halal, baik sengaja dicampurkan maupun tidak sengaja terkontaminasi.
Perspektif halal yang juga menyangkut mutu dari suatu produk menjadikan produk halal juga diminati dunia secara global, termasuk non-muslim. Permintaan terhadap produk halal dunia makin meningkat setiap tahunnya.
Berdasarkan State of the Global Islamic Economy Report (GIER) 2020/2021, umat Islam menghabiskan total $2,02 triliun pada tahun 2019 di seluruh sektor makanan, farmasi, kosmetik, mode, perjalanan dan media/rekreasi. Pengeluaran untuk sektor makanan halal $1,17 triliun, aset keuangan syariah $2,88 triliun, perjalanan dan wisata mencapai $194 miliar, fesyen mode $277 miliar, dan obat-obatan $87 miliar.
ADVERTISEMENT
Industri dalam negeri tentu harus memanfaatkan pertumbuhan pasar halal global ini dengan menimbang analisis SWOT (Strength, Weakness, Oportunity, and Threat) sederhana yang akan dibahas pada poin berikutnya.
Indoneisa memiliki populasi muslim terbesar di dunia, sehingga isu halal-haram merupakan hal yang sensitif. Berdasarkan GIER 2020/2021, Indonesia menempati peringkat pertama sebagai konsumen produk makanan halal sebesar $144 miliar, namun Indonesia bukan menjadi produsen produk makanan halal terbesar di dunia. Hal ini mengindikasikan Indonesia dominan menjadi target pasar produk makanan halal. Jumlah penduduk muslim di Indonesia harusnya dipandang sebagai konsumen potensial produk halal sekaligus menjadi produsen produk halal dunia.
Terkait hal sertifikasi halal, Indonesia memiliki MUI yang memayungi seluruh ormas Islam dan dapat menyatukan pendapat keagamaan termasuk fatwa halal melalui fatwa MUI. Selain itu Indonesia juga memiliki Halal Assurance System (HAS) yang sepantasnya menjadi referensi lembaga sertifikasi halal dunia. HAS merupakan manajemen terpadu untuk menjamin konsistensi dan kesinambungan proses produksi produk halal selama masa berlaku sertifikat halal tersebut.
ADVERTISEMENT
Meninjau keperluan sertifikasi halal secara merata, MUI melalui Lembaga Pengkajian Pangan Obat-Obatan dan Kosmetika (LPPOM) memiliki auditor dalam jumlah yang relatif lebih banyak daripada auditor sertifikasi halal di luar negeri. Auditor sudah memiliki kualifikasi yang mumpuni, latar belakang keilmuan dan kompetensi (minimum S1) yang relecan dengan proses. Sejak awal berdirinya LPPOM, terjalin kerjasama antara ulama yang memahami dalil naqli dengan ilmuan yang memahami dalil aqli dalam memutuskan fatwa jalal dan haram yang berbasis ilmiah.
Terkait aspek legalitas kehalalan di Indonesia, pemerintah telah mengeluarkan UU No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH) sebagai pedoman hukum pelaksanaan kewajiban sertifikasi halal terhadap produk makanan, minuman, obat-obatan, kosmetika, dan barang gunaan lainnya yang beredar dipasar Indonesia. Dalam rangka menjalankan UU JPH dengan baik, dibentuklah Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH).
ADVERTISEMENT
Penerapan UU JPH mampu membawa Indonesia memiliki peluang untuk mengurangi arus impor barang konsumsi guna melindungi industri dalam negeri, terlebih industri yang memerlukan bahan baku hewani.
Dengan kelebihan Indonesia yang telah dijelaskan sebelumnya, industri dalam negeri berpotensi menjadi produsen dan eksportir utama yang bersertifikasi halal di dunia, setidaknya menguasai pasar produk halal di Indonesia. Hal ini tentu menuntut konsekuensi peningkatan industri dalam negeri guna memenangkan persaingan global.
Indoensia dengan dinamika kondisi kehidupannya juga memiliki kelemahan sebagai penghambat dalam mewujudkan cita-cita besar sebagai produsen serta eksportir terbesar produk halal bersertifikat dunia. Sebagian besar pengusaha dalam negeri cenderung menjadi pedagang, bukan industriawan yang perlu mengolah bahan baku dan menjual barang jadi.
ADVERTISEMENT
Pengusaha dalam negeri dominan sudah puas setelah menjadi eksportir bahan baku dibandingkan harus berinvestasi dalam negeri untuk menjalankan industri yang menghasilkan barang jadi.
Selain itu, pelaksanaan UU JPH berpotensi mengakibatkan peningkatan biaya ekonomi yang lebih tinggi bagi UMKM yang memiliki omset relatif kecil. Perbedaan UMKM dengan industri besar salah satunya terletak pada biaya promosi.
Industri besar cenderung telah menyiapkan porsi biaya promosi pada pengurang pendapatan, berbeda dengan UMKM yang cenderung tidak mempersiapkan alokasi biaya promosi. Dengan demikian, kemungkinan UU JPH memiliki kemampuan untuk memperlemah daya saing industri dalam negeri sebab peningkatan biaya ekonomi yang dihadapinya.
Dengan pertimbangan yang dipaparkan sebelumnya, bila pihak yang terlibat mampu mengatasi kelemahan dan ancaman serta mampu memanfaatkan kekuatan dan peluang yang Indonesia miliki, Insyaallah usaha ini dapat memperkuat daya saing industri dalam negeri dan diharapkan mampu memenangkan persaingan pasar global.
ADVERTISEMENT
Setidaknya industri dalam negeri yang berkualitas mampu menguasai pasar dalam negeri yang selama ini hanya menjadi target pasar industri halal luar negeri.