Bayang-bayang Keadilan: Ilusi Tak Bertepi

AHMAD WIJAYA
Dosen Fakultas Hukum Universitas Negeri Gorontalo
Konten dari Pengguna
27 Juli 2023 6:54 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari AHMAD WIJAYA tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Pengadilan. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Pengadilan. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Dalam lorong-lorong gelap hampa asa, bayang-bayang keadilan menghiasi dinding-dinding hening. Ia datang seperti sang angin yang mencumbui pipi-pipi seorang pecundang, mengusapkan sentuhan ketidakadilan.
ADVERTISEMENT
Di negeri seberang sana, terhampar pemandangan indah alam surga, namun di baliknya, kesenjangan menjerat manusia dengan ganas. Inilah ironi pahit yang disebut kehidupan.
Pada panggung pementasan kehidupan, sandiwara keadilan berperan. Ia menyamar bak siluman malam yang mengintai setiap langkah yang diambilnya.
Namun, dalam balutan ilusi tak bertepi, kebenaran dan keadilan hanyalah dua sisi mata uang palsu yang dibalut emas. Sementara di atas panggung gemerlapan, penindas berlenggak-lenggok, dan korban terusir dalam jurang kegelapan.
Ilustrasi pemimpin memberikan inspirasi dan motivasi. Foto: Shutterstock
Dalam tarian ini, pemimpin tampak gagah berani selayaknya sang raja, tapi apa daya, hanya selimut tipis kerakusan yang menyelimuti hati nurani mereka.
Dengan retorika manis nan memesona, janji-janji palsu dilemparkan ke udara bagai bunga mawar indah, namun bunga-bunga itu layu sebelum bersemi. Bayang-bayang keadilan tertawa sinis, menertawakan sepihak kebijaksanaan.
ADVERTISEMENT
Peradilan, itu dia, pelarian terakhir kaum tertindas, semakin terseret dalam pasir keputusasaan. Di balik balutan jubah hitamnya, lady justice pun menangis pilu.
Hukum seakan tergantung dalam keadaan tak menentu, dengan kalimat-kalimat hukuman yang bervariasi seiring status sosial dan kantong tebal. Seolah terdapat hitungan matematis yang rumit: berapakah harga keadilanmu?
Ilustrasi menulis surat. Foto: Shutter Stock
"Bangunlah, wahai rakyatku!" seru seorang penyair tua di balik jeruji besi. Dia menggumamkan kata-kata indah dari dalam selnya yang dingin. "Bayangkanlah keadilan sebagai sinar mentari yang menerangi kegelapan hatimu, bukan ilusi tak bertepi yang mengaburkan pandanganmu!"
Namun, tangis pilu rakyat tak mampu menggetarkan hati para penjaga istana. Mereka tetap terlena dalam mimpi indah kekuasaan, seperti tiran berkepala mahkota yang memanjakan ego tak terkendali. Mereka membisikkan kebohongan yang mengalun bagai harmoni surga, tetapi apa daya, surga tersebut kian menjauh.
ADVERTISEMENT
Dalam suramnya malam, terdengarlah suara-suara lirih yang memenuhi relung hati nurani yang terhempas. Para penyair dan sastrawan berjuang menentang tirani, dengan pena sebagai pedang dan kata-kata sebagai tameng. Mereka menulis bait-bait puisi penuh makna yang membangkitkan semangat para penindas.
"Bertukarlah peran, wahai tuan! Tengoklah keadaan dari sisi lain! Bayangkanlah dirimu merasakan penderitaan yang mereka derita!" begitu seruan suci mereka.
Ilustrasi rasa hangat di hati. Foto: Shutter Stock
Tetapi, dalam balutan tahta kekuasaan, telinga para penguasa tertutup rapat. Hati mereka mati rasa, tak tersentuh oleh derita rakyat jelata. Mereka berpesta pora di atas reruntuhan harapan yang hancur berkeping-keping.
Begitu banyak cerita pilu tentang pengorbanan dan kegigihan rakyat jelata yang tak pernah terungkapkan. Mereka bekerja keras seperti buruh lelah di ladang gersang, mengais nafkah untuk keluarga yang kelaparan. Mereka seperti kuli bangunan yang membentuk kemegahan kota, namun senyum kebahagiaan tak pernah melintas di wajah-wajah mereka.
ADVERTISEMENT
Oh, bayang-bayang keadilan, kau berteduh dalam hati nurani setiap orang. Pahit getir menghias hidup ini, dan takdir menari dengan angkuh di atas kepala kaum tertindas.
Namun, satu masa, satu ketukan pintu tak terduga akan membawa keajaiban. Suara-suara merdeka akan menyatukan hati nurani yang terluka. Saat itulah sang keadilan tak lagi menjadi ilusi tak bertepi, melainkan realita yang hakiki.
Ilustrasi Palu Sidang. Foto: Shutterstock
Di ujung perjalanan yang panjang ini, sinar pagi akan menyingsingkan kegelapan. Kekuatan penyair dan sastrawan tak tergoyahkan, kata-kata mereka akan menerobos benteng-benteng kebohongan. Kesenjangan sosial akan menyusut seiring perjuangan yang semakin menguat.
Mari bersama, hela napas kehidupan ini. Mari rasakan keadilan yang sesungguhnya, bukan sekadar bayang-bayang ilusi. Angkatlah pena sebagai senjata, dan katakanlah dengan lantang: "Keadilan bukanlah hak istimewa, tetapi keharusan bagi setiap insan yang bernyawa!".
ADVERTISEMENT
Bersatu tuk merobek tirani, menghapus bayang-bayang keadilan yang tak bertepi. Hingga pada akhirnya, bayang-bayang itu hanya tinggal kenangan yang memudar di balik cahaya kebenaran."