ASEAN dan Perdagangan Manusia, Sudahkah Efektif?

Ahmad Idris Al-Hammad
Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga
Konten dari Pengguna
1 Mei 2024 7:37 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ahmad Idris Al-Hammad tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Upacara penandatanganan ASEAN Convention Against Trafficking in Persons, Especially Women and Children (ACTIP) pada KTT-ASEAN ke-27 di Kuala Lumpur, Malaysia tahun 2015. (Foto: asean.org)
zoom-in-whitePerbesar
Upacara penandatanganan ASEAN Convention Against Trafficking in Persons, Especially Women and Children (ACTIP) pada KTT-ASEAN ke-27 di Kuala Lumpur, Malaysia tahun 2015. (Foto: asean.org)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sindikat kasus perdagangan manusia seakan menjadi PR bersama bagi negara-negara di kawasan Asia Tenggara. Dalam survei terbaru yang dilakukan (2023) The Global Organized Crime Index menempatkan Asia Tenggara dalam deretan 4 teratas dari 22 kawasan sub-regional di dunia dengan capaian indeks perdagangan manusia mencapai skor 6,86 per 10.
ADVERTISEMENT
Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) selaku wadah kerja sama regional di kawasan Asia Tenggara mengemban instruksi vital dalam proses pengentasan kasus ini. Pasalnya, perdagangan manusia tidak lagi menjadi isu yang menyangkut satu pihak, namun telah berevolusi sebagai persoalan transnasional yang turut melibatkan peran serta dan hubungan antar negara.
Sebagai kawasan sub-regional di belahan bumi timur, Asia Tenggara menjadi salah satu pemasok angka kejahatan manusia tertinggi sepanjang tahun 2023 silam. Salah satu diantaranya yakni terkait kasus human trafficking atau perdagangan manusia. Perdagangan manusia di ASEAN sudah menjadi persoalan sejak lama dan terus berlangsung hingga saat ini. Ironinya, 90% objek sasaran dari kasus tersebut menimpa para tenaga kerja migran dari berbagai negara di Asia Tenggara dengan rincian 83% perempuan korban eksploitasi seksual dan 82% laki-laki korban forced labour atau kerja paksa (sumber: setkab.co.id).
ADVERTISEMENT
Ketimpangan Ekonomi: Penyebab Alasan
Disinyalir perdagangan manusia dapat terjadi karena faktor internal yang berasal dari dalam wilayah itu sendiri. Asia Tenggara merupakan kawasan di benua Asia yang masih didominasi oleh negara-negara berkembang dengan pendapatan per kapita kurang dari US$11.906 per tahun atau dapat dikatakan tingkat kesejahteraan masyarakat ASEAN masih berada dalam taraf yang rendah (miskin). Di samping hal itu, ketersediaan lapangan kerja yang sangat minim menjadi double problem (permasalahan ganda) yang secara tidak langsung menuntut sebagian dari mereka mencari pekerjaan apapun agar dapat memenuhi kebutuhan hidup masing-masing.
Myanmar merupakan salah satu negara ASEAN dengan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) per kapita US$1.318 pada tahun 2023 menjadikannya sebagai salah satu negara termiskin kedua di Asia Tenggara setelah Timor Leste. (Foto: thinkstockphotos.com)
Menjadi pekerja migran merupakan satu diantara sekian banyak opsi yang dipilih oleh sebagian besar dari masyarakat ASEAN demi dapat memperoleh penghasilan yang layak. Mengandalkan pendapatan dari dalam negeri saja rasanya tidak cukup untuk menopang semua kebutuhan hidup sehari-hari. Namun, dalam prosesnya sangat sering ditemukan bahwa sebagian dari mereka justru menjadi incaran tindak kejahatan lewat perekrutan tenaga migran tersebut.
ADVERTISEMENT
Bermodus sebuah tawaran menarik serta iming-iming akan diberikan gaji yang fantastis, situasi tersebut kerap dimanfaatkan oleh para oknum yang tidak bertanggung jawab untuk menjalankan skenarionya. Sebagian besar objek yang menjadi target adalah kalangan tidak berada atau orang-orang yang memiliki persoalan ketimpangan ekonomi. Kondisi finansial yang sulit secara tidak langsung menjadikan mereka tergiur dengan mudah dan bertekad untuk menjadi ekspatriat demi dapat menempuh karier sebagai tenaga migran di luar negeri. Akan tetapi, bukannya mendapatkan penghasilan yang sepadan justru pada akhirnya mereka menjadi objek korban tindak kejahatan. Mulai dari penganiayaan paksa, eksploitasi seksual, menjadi pekerja kasar tanpa diberi upah, menjadi tawanan, bahkan tidak menutup kemungkinan organ tubuh mereka diperjualbelikan di black market (pasar ilegal).
ADVERTISEMENT
Prinsip ASEAN Way Menjadi Penghambat
Sebagai wadah kerja sama regional di kawasan Asia Tenggara, ASEAN memiliki peran sentral bagi proses pengentasan kasus kejahatan perdagangan manusia. Melalui konvensi tahunan dan jalinan hubungan bilateral antar negara telah melahirkan berbagai kebijakan dan regulasi yang telah diratifikasi oleh negara-negara anggota untuk dapat dijalankan dan diterapkan sebagaimana mestinya. Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa regulasi tersebut belum dapat berjalan secara maksimal serta angka kasus perdagangan manusia terus mengalami kelonjakan di setiap tahun.
Hambatan tersebut terjadi lantaran adanya prinsip yang menjadi pedoman negara-negara ASEAN dalam mengatur kehidupan negaranya. Dahulunya ASEAN didirikan tentu tidak lepas dari adanya latar belakang konflik dan sengketa antara negara-negara di Asia Tenggara. Oleh karena itu, dengan adanya prinsip tersebut adalah sebagai jaminan bahwa setiap negara ASEAN bebas dalam mengatur urusan internal negaranya masing-masing tanpa adanya intervensi dari negara-negara lain disekitarnya.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, penerapan nilai tersebut dalam perjalanannya justru mendatangkan dampak baru. Dalam hal penanganan perdagangan manusia misalnya, meskipun berbagai tindakan telah dilakukan mulai dari konferensi tahunan (KTT-ASEAN), penyelenggaraan ASEAN Convention Against Trafficking in Persons, Especially Women and Children (ACTIP), pembentukan ASEAN Political Security Community (APSC), hingga dicetuskannya APSC Blue Print 2016-2025 sebagai usaha dan komitmen ASEAN dalam mengentas kasus perdagangan manusia.
Meskipun demikian, perbedaan sistem, hukum, dan koordinasi antara negara anggota menjadi kendala yang menyulitkan penerapan dari kebijakan-kebijakan yang telah dibuat tersebut. Hal ini terjadi lantaran sebagian besar negara anggota cenderung lebih mengutamakan dan mementingkan apa yang menjadi prioritas internal negaranya daripada apa yang menjadi persoalan ASEAN. Tidak jarang pula pihak-pihak tindak kejahatan tersebut menjalin kerja sama ilegal dengan lembaga berwenang internal (imigrasi) untuk meloloskan calon-calon korban perdagangan manusia. Seperti halnya fenomena yang terjadi pada bulan Juli 2023 silam dimana tiga orang pihak imigrasi bandara I Gusti Ngurah Rai di Bali ditetapkan Polda Metro Jaya sebagai tersangka kasus TPPO setelah terbukti ikut serta dalam meloloskan korban perdagangan orang dengan mendayagunakan akomodasi fast line atau fast track menuju Kamboja.
ADVERTISEMENT
Di samping semua itu, sebagian negara anggota lain cenderung memilih untuk pasif dan menutup informasi bahwa beberapa oknum di lembaga berwenang mereka juga bisa turut serta dalam sengketa tersebut. Semua itu dilakukan demi menjaga marwah negara yang bersangkutan sekaligus menghindari sanksi yang diberikan oleh ASEAN ataupun perserikatan internasional lainnya.
Transformasi ASEAN dan Perdagangan Manusia
Fenomena human trafficking atau perdagangan manusia kini telah menjadi isu transnasional yang tidak hanya menyangkut prioritas satu negara, namun juga merupakan responsibilitas antara negara-negara lain yang bersangkutan ataupun tidak. Demi memperoleh hasil yang maksimal perlu dilakukan transformasi, baik perbaikan regulasi berupa kebijakan hingga aktualiasasi kebiasaan yang searah sejak dini oleh negara-negara di Asia Tenggara. Yang mana dalam hal ini ASEAN menjadi unit/lembaga strategis yang menentukan proses berhasil atau tidaknya kolaborasi tersebut.
Presiden Jokowi dalam KTT-ASEAN ke-42 di Labuan Bajo tahun 2023 tekankan Asia Tenggara harus bersatu dan saling berkolaborasi dalam memerangi Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). (Foto: presidenri.go.id)
Di samping itu, faktor-faktor alamiah yang mendorong terjadinya kasus perdagangan manusia itu sendiri juga harus menjadi fokus prioritas dan diperhatikan. Seperti halnya dalam hal ketimpangan ekonomi, menanggapi fenomena tersebut maka perlu dilakukan kolaborasi yang masif antara pihak pemerintah dan pihak swasta dalam hal peningkatan kesejahteraan masyarakat. Hal tersebut dapat dilakukan dengan diperluasnya rekrutmen tenaga kerja dalam negeri hingga pemberian gaji yang setimpal. Selain itu, arus keluar masuk WNA ataupun WNI juga harus diperketat, terutama di area-area sensitif seperti halnya bandara dan pelabuhan. Diperlukan pula penguatan ekosistem terhadap para pemangku kebijakan, sehingga pihak-pihak yang bersangkutan tidak mudah diintervensi dan tergiur akan kerja sama ilegal bersama pihak asing.
ADVERTISEMENT
Meski berbagai regulasi dan koordinasi telah dikeluarkan sebagai upaya pengentasan kasus tersebut, namun banyak pihak yang menilai bahwa semua itu hanyalah formalitas untuk mempererat jalinan hubungan diplomasi antara negara-negara anggota ASEAN dan tidak memiliki komitmen yang lebih. Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan manakala hasil konvensi tersebut mampu diaktualisasikan secara optimal dan serentak oleh negara-negara ASEAN maka tingkat kasus perdagangan manusia bisa saja mengalami penurunan dan upaya pengentasan oleh ASEAN dapat membuahkan hasil yang maksimal. Semua itu tentu dapat terjadi dengan didukung oleh kolaborasi yang baik, respons yang searah, serta tujuan dan harapan bersama dalam upaya memerangi sindikat perdagangan manusia di Asia Tenggara.
Ahmad Idris Al-Hammad
Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga
ADVERTISEMENT