Tujuh Juni

Ahmad Fazlur Rahman
A student, majoring in psychology, Universitas Brawijaya. Penulis dadakan. Sering melantur.
Konten dari Pengguna
25 November 2022 7:55 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ahmad Fazlur Rahman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi memberi hadiah, oleh Porapak Apichodilok: https://www.pexels.com/id-id/foto/kotak-hadiah-coklat-360624/
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi memberi hadiah, oleh Porapak Apichodilok: https://www.pexels.com/id-id/foto/kotak-hadiah-coklat-360624/
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Para awan sedang merasakan duka yang mendalam. Mereka menangis tanpa henti, entah terpaksa atau dipaksa, entah mengapa juga tidak ada yang tau pasti sebabnya. Butiran air berjatuhan dari serbuan kapas di angkasa, menghujam ke atas hamparan hijau penuh padi dan gulma. Hari spesial untuk seorang tuan, tetapi alam merayakan harinya dengan menurunkan hujan.
ADVERTISEMENT
Air tergenang, pemandangan yang menghiasi sepanjang jalan. Gunung dan bukit terlihat seperti seluncuran bagi tirta yang menyusuri tubuhnya. Tak jauh dari mereka terdapat lautan perumahan, pemukiman yang cukup padat untuk sekelas desa. Angin sering kali menyapa para manusia di sana, sesekali membawa pesan dari atas puncak atau ujung pulau. Namun, bukan itu yang membuatnya spesial. Ada hal yang lebih berharga untuk dinikmati, lantaran hari belum berakhir begitu saja sampai di sini.
Figur lelaki bertubuh tegap mengambil langkah maju perlahan-lahan. Iris mata legamnya bolak-balik menyusuri jalan setengah beraspal yang diwarnai lingkaran gelap berbagai ukuran di depannya itu. Ia mendapati dirinya melangkah tanpa arah, sekadar lupa mata angin mungkin. Tanpa payung di atas kepalanya, bisa-bisa ia sudah basah kuyup dan menggigil kedinginan. Jaket kulit berwarna senada dengan matanya menutupi atas badannya, dilengkapi celana krem dan sepatu sketch putih bergaris abu-abu. Pilihan yang sangat bagus untuk keluar rumah saat hari sedang hujan, lantaran lumpur dan kotoran akan lebih terlihat sebagai motif natural untuk setelan pakaiannya itu.
ADVERTISEMENT
Pemuda itu berhenti sejenak, menatap tajam ke depan ujung pandangnya. Sebuah toko dengan dekorasi penuh lampu berwarna-warni terang-benderang di bawah guyuran hujan. Papan digital bertuliskan "Toko Souvenir Karya Jaya" terlihat bersinar, menaruh mantra pemikat kepada siapapun yang berhasil menatapnya cukup lama. Tak terkecuali si pemuda, ia mengambil langkah penuh niat menuju ke arah bangunan berukuran sedang itu. Air muka yang semula dingin berubah menghangat pelan-pelan, seakan ia sedang menemukan mutiara di bawah lautan.
Melirik ke arah kaca setengah tembus pandang di depannya, tatapannya berbinar. Entah karena lampu LED di atas kepalanya atau memang keajaiban mata manusia yang membuatnya dapat melakukan itu, yang jelas ia terkagum-kagum. Di balik kaca itu, terduduk diam sebuah topi kulit yang serasi dengan pantulan jaket kepunyaannya. Sejenak ia memanjakan matanya dengan figur topi yang berkilauan itu. Ia mulai mengamati dengan lebih dalam dan presisi, mencari-cari satu harta karun utama bagi para pembeli di seluruh dunia: label harga. Lantas, wajahnya murung. Gundah gulana menghampiri dirinya saat hari spesialnya sebentar lagi hampir sirna. Si pemuda meraba saku celananya, ia tahu uangnya tidak akan cukup untuk bisa membawa pulang pujaan hatinya.
ADVERTISEMENT
Nampaknya, hari istimewa harus berakhir bagi yang sempat merayakannya. Gelapnya angkasa seakan tak hilang-hilang, bahkan saat hujan sudah memilih untuk mengambil cuti sebentar. Sinar rembulan mengintip dari balik gumpalan awan, menyinari pelosok desa bahkan hingga ke tepi jurang. Tak ada lagi yang bisa menghibur sang tuan, hatinya diselimuti kekecewaan. Kelap-kelip bintang pun tak mampu menawarkan hiburan yang gemilang. Setidaknya, satu persatu tetesan air yang menyerang tanah habis-habisan berhasil menghidupkan malam.
Si pemuda memilih beranjak dari keterpakuannya, menginjakkan kaki berbalik arah menuju rumah tempat tinggalnya. Ratu malam memandu jalannya, berusaha menjauhkan sang tuan dari kesendirian. Lelaki itu menatap kosong ke arah jalan-jalan di depan, lurus, tanpa ekspresi sedikit pun. Sebelah tangannya memegang erat payung hitam yang sempat mandi hujan. Andai ini perkotaan, ia sudah jadi bahan gosip para perempuan. Namun, pemuda itu memilih tak peduli, desa tanah kelahirannya tak bisa disandingkan dengan kota yang kotor penuh dosa.
ADVERTISEMENT
Di bawah lampu jalan, siluet seorang puan terlukis jelas. Wajahnya gelisah, tubuhnya kaku dan gemetar. Betapa sayang, setengah wajah asrinya tertutup kain tipis berwarna putih pucat. Dari bahasa matanya, si pemuda tahu wanita itu sedang cemas. Lantas, ia mendekat perlahan-lahan, mencoba untuk terlihat tidak mencurigakan. Perempuan itu sejenak terkejut dari lamunannya, menatap tajam ke arah figur yang semakin jelas terlihat di bawah cahaya. "Seorang pemuda?" benaknya bertanya.
"Halo, Anda sedang apa di sini sendirian?" tanya si pemuda, sembari sesekali mengamati gadis itu dari atas hingga bawah. "Ia sepertinya masih muda, seumuran denganku," batinnya.
"Ah, ya, aku hanya menunggu taxi atau apapun itu untuk lewat." Gadis itu membuka maskernya, senyuman tipis terkembang di paras cantiknya.
ADVERTISEMENT
Sang tuan membalas senyum sang puan, menunjukkan sifat ramah yang jarang ia tunjukkan ke orang-orang di sekitarnya. "Kau ingin pulang? Rumahmu jauh dari sini, kah?"
"Oh, tidak, tetapi aku cukup takut untuk jalan sendirian," tutur si gadis, diikuti kekehan kecil yang keluar dari mulutnya.
"Oh ya, mungkin aku bisa menemanimu pulang.. jika kau mau." Pemuda itu menggaruk acak belakang kepalanya, senyumnya terkesan terpaksa. Arah pandangnya berubah ke sepasang sepatu penuh lumpur miliknya itu. Ia sungguh berharap perempuan itu menerima tawarannya, lantaran ia juga tidak berniat yang buruk-buruk terhadapnya.
"Hm.. boleh saja, tapi jika kau berani macam-macam, aku akan telepon polisi," ucap si gadis setengah bercanda, tawa kecil darinya menghiasi atmosfer di sekitar mereka. Pemuda itu tersentak sejenak dan ikut tertawa canggung.
ADVERTISEMENT
"Ah, tidak, aku tidak ada niatan untuk berbuat seperti itu. Lagi pula, kau mungkin akan berakhir menunggu hingga larut malam jika terus berdiri di sini."
"Benar juga," sang puan menarik napas sejenak, "Baiklah, aku akan menunjukkan jalan ke rumahku."
Lelaki itu hanya menanggapi dengan anggukan pelan dan senyuman hangat yang terlukis di wajahnya. Ia mengekor si gadis, sebelum berjalan berdampingan di sebelahnya. Sepanjang jalan, mereka riang berbicara tentang kehidupan masing-masing insan. Tentang hobi, kesukaan, hingga cita-cita di masa depan, semua mereka habiskan demi menjaga perasaan hangat satu sama lain. Tembok penghalang memang masih menjadi garda terdepan yang memisahkan mereka, tetapi perlahan-lahan keduanya mulai merenggang, meruntuhkan satu per satu dari bata paling atas untuk membuat jalan. Senyuman, tawa, candaan kecil menghiasi dunia kecil yang mereka buat di sekeliling mereka. Pada akhirnya, sang tuan menemukan kegembiraan, setidaknya untuk sekarang, atau mungkin bisa berlanjut hingga tahun yang akan datang.
ADVERTISEMENT
Hadiah sejati mungkin tak pernah berbentuk sebuah barang atau bahkan tak pernah bisa dilihat sama sekali. Terkadang, yang dibutuhkan oleh orang-orang yang merayakan hari spesialnya hanyalah seorang teman. Meskipun datang dari kejadian yang tidak disangka-sangka wujudnya, mereka tetap akan bahagia. Tujuh Juni menjadi saksi nyata peristiwa bersejarah dalam hidup sang pemimpi. Kekecewaan yang menutupi nuraninya berubah menjadi cinta yang menghiasi alam dunianya. Kesenangan sederhana sudah cukup untuk menorehkan warna-warni dalam hari istimewa miliknya. Semesta seakan memberikan karunia tak terbatas dari sang penguasa. Dua hati yang bertemu pada malam gelap gulita, berakhir bersatu, bersinar secerah sang surya.
Hal terbaik selalu menghampiri pintu orang yang bersabar dalam menunggu. Kadang kala, ia datang secara tiba-tiba. Kini, bukan hanya kejutan yang ia dapatkan di hari ulang tahunnya. Sekarang, ia dilanda asmara.
ADVERTISEMENT