Solusi Permasalahan Kredit Kepemilikan Rumah Menurut Hukum Perlindungan Konsumen

Afni Mutmainnah
Mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Syariah Al Wafa Bogor
Konten dari Pengguna
10 Januari 2023 16:01 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Afni Mutmainnah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi gambar perumahan KPR (Sumber : Galeri Pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi gambar perumahan KPR (Sumber : Galeri Pribadi)
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Untuk menyelesaikan permasalahan kebutuhan sandang dan pangan, konsumen dengan mudah bisa mendapatkan semua yang ia butuhkan di toko terdekat sekitar tempat tinggal nya. Namun, berbeda jika dihadapkan dengan permasalahan kebutuhan papan yang tentunya tidak bisa dengan mudah konsumen dapatkan di toko secara langsung. Pertama kali yang harus dipersiapkan konsumen adalah tanah kosong yang bisa dibangun diatasnya rumah. Tidak hanya itu, waktu, tenaga dan biaya tidak sedikit yang dibutuhkan untuk membangun rumah.
Dari sekian banyak solusi permasalahan ini, yang menjadi salah satu solusi untuk memenuhi kebutuhan papan ini adalah dengan Kredit Kepemilikan Rumah (KPR). Namun, kebanyakan awam belum tahu apa yang dimaksud dengan KPR secara mendalam. Banyak terjadi permasalahan perihal KPR ini. Padahal, jumlah masyarakat Indonesia sangatlah banyak, tetapi hampir keseluruhan menjadi konsumen dan yang memahami perihal KPR secara mendalam hanyalah sedikit bahkan ada yang dianggap buta dengan hak-hak dan kewajiban konsumen yang harus dipenuhi.
ADVERTISEMENT
Yang dimaksud dengan Hukum Perlindungan Konsumen adalah asas atau pun kaidah yang didalamnya mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungan dan masalah penyediaan dan penggunaan produk konsumen antara penyedia dan penggunanya dalam bermasyarakat. Menurut Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja Hukum Konsumen adalah keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur hubungan dan masalah penyediaan dan penggunaan produk barang dan/atau jasa, antara penyedia dan penggunaan nya dalam kehidupan bermasyarakat.
Secara garis besar, ada beberapa hal yang menjadi permasalahan mengenai hak konsumen dalam Kredit Kepemilikan Rumah (KPR), yaitu:
1. Bunga sangat tinggi yang menguntungkan pihak bank;
2. Sertifikat rumah yang belum diserahkan kepada konsumen setelah kredit tuntas;
3. Kerusakan yang ditemukan setelah serah terima rumah KPR.
ADVERTISEMENT

Bunga Sangat Tinggi yang Menguntungkan Pihak Bank

Bunga yang digunakan oleh pihak bank biasanya ada 3 jenis. Diantaranya adalah bunga efektif, bunga tetap (flat rate) dan bunga anuitas (annuity rate). Biasanya bunga efektif merupakan bunga yang paling banyak menguntungkan nasabah. Mengapa bisa begitu? karena cara perhitungan bunga yang mana dihitung dari cicilan pokok yang tersisa. Berbeda dengan nasabah yang memilih model bunga tetap, besaran bunga tidak berubah sampai pengurangan utang pokok hingga pelunasan terakhir. Bunga anuitas seringnya berubah-ubah mengacu pada bunga Bank Indonesia (BI rate) ditambah dengan besaran yang telah ditentukan oleh bank. Bank menentukan jumlah yang disesuaikan dengan keuntungan yang diharapkan bank.
Sangat sedikit yang memberikan fasilitas bunga efektif untuk KPR dari pihak bank. Yang ada saat ini biasanya bunga KPR yang di kombinasikan antara flat rate dan floating rate. Sebuah hal yang sangat wajar dilakukan, karena dari dulu sampai saat ini tanah merupakan investasi yang nilainya tidak akan pernah turun. Biasanya bank memberikan penawaran flat rate beberapa tahun dalam satu periode. Konsumen sangat dituntut untuk mempertimbangkan dengan baik dan memutuskan untuk mengambil keputusan yang tepat dan cerdas agar tetap bisa mempertahankan flat rate sesuai perencanaan debitur. Debitur juga bisa take over KPR ke bank lain, apabila dirasa bunga yang dibebankan pihak bank terlalu besar. Memang pengalihan seperti ini sedikit merepotkan, tetapi keuntungan yang bisa didapatkan oleh debitur akan sepadan
ADVERTISEMENT

Sertifikat yang Belum Diserahkan Kepada Konsumen Setelah Kredit Tuntas

Permasalahan ini terjadi karena developer yang mangkrak mengakibatkan konsumen terlambat mendapatkan sertifikat. Menurut Ombudsman Republik Indonesia, banyak masyarakat yang sudah menuntaskan kewajiban cicilan rumah mereka tetapi Sertifikat Hak Milik (SHM) rumah tidak kunjung diberikan. Yeka Hendra Fatika selaku anggota Ombudsman mengatakan kurang lebih 600 kasus rumah KPR yang sudah lunas cicilan nya tetapi tidak kunjung diberikan sertifikat. Ungkapannya, angka yang ditemukan tersebut berasal dari beberapa kota yaitu Kota Bitung, Kota Medan, Kabupaten Sumedang, Kabupaten Gresik, Kabupaten Garut dan Kabupaten Bandung. Menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999, keterlambatan penyerahan rumah atau pun sertifikat ini telah melanggar Pasal 16 dimana pelaku usaha pada saat menawarkan barang dan/atau jasa dilarang untuk tidak menepati pesanan (wanprestasi) dan/atau kesepakatan waktu penyelesaian yang tidak sesuai dengan perjanjian.
ADVERTISEMENT

Kerusakan yang Ditemukan Setelah Serah Terima Rumah KPR

Biasanya pada transaksi awal diadakan perjanjian yang disebut dengan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) Ketika dilaksanakan PPJB maka konsumen perlu memperhatikan klausula baku pada saat transaksi. Banyaknya kasus yang sering terjadi adalah developer tidak berusaha untuk menjelaskan klausula baku secara detail kepada konsumen. Akibatnya, konsumen tidak memahami isi klausula yang sudah disepakati oleh kedua pihak. Ketika ditemukan kerusakan pada rumah konsumen KPR, kurangnya tanggung jawab developer terhadap kerusakan rumah konsumen tersebut. Padahal, sebagaimana tercantum di dalam UU Perlindungan Konsumen dalam Pasal 18 memberikan larangan mengenai pencantuman klausula baku di setiap dokumen dan/atau penyampaiannya bertujuan untuk merugikan pihak konsumen. Bahkan pada ayat (3) dijelaskan bahwa apabila pelaku usaha menetapkan klausula baku pada dokumen perjanjian dan tidak memenuhi syarat ketentuan yang dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) maka menjadi batal demi hukum.
ADVERTISEMENT
Beberapa poin yang menjadi Hak dan kewajiban konsumen, pengembang (developer) dan pihak bank, adalah sebagai berikut:
1. Konsumen mempunyai kewajiban untuk membayar kredit mengikuti syarat dan ketentuan. Untuk metode pembayaran dilakukan sesuai dengan klausula baku yang ada dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB). Apabila konsumen melakukan keterlambatan untuk menunaikan kewajiban nya, maka akan diberikan sanksi berupa denda ataupun teguran. Jika konsumen tidak bisa melunasi hutangnya maka perjanjian yang sudah terjadi secara otomatis menjadi batal. Uang yang telah masuk dan sudah dibayarkan terkena potongan sebagai ganti rugi bagi pihak pengembang. Perihal ini sudah tercantum didalam Pasal 4 UUPK tentang Hak Konsumen
2. Pengembang (Developer) berkewajiban untuk memberikan barang yang telah dilunasi oleh konsumen dan memberikan jaminan kepada konsumen bahwa konsumen memiliki hak garansi atas barang-barang yang telah dibelinya dengan tenang serta pelaku usaha akan bertanggung jawab jika ditemukan cacat yang tersembunyi. Hak Pengembang (Developer) adalah menerima pembayaran dan boleh mengalihkan perjanjian kepada pihak lain atau pihak ketiga (bank) dalam perihal urusan pembayaran. Sebagaimana tercantum pada Pasal 6 UUPK yang membahas hak-hak pelaku usaha;
ADVERTISEMENT
3. Bank berkewajiban melayani nasabah yang mengajukan pembiayaan kredit, tentu dengan porsi yang sesuai dengan permohonan nasabah. Nasabah berkewajiban memberikan data dan informasi selengkap-lengkapnya dan sejelas-jelasnya mengenai kondisi keuangan nasabah, karena itu merupakan hak pihak bank terhadap nasabah yang mengajukan pembiayaan kredit. Selain itu, bank juga berhak menerima pembayaran angsuran dan tambahan bunga serta denda jaminan

Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Pihak-pihak Dalam KPR

Selain menggugat kepada lembaga tempat penyelesaian sengketa, konsumen bisa melakukan gugatan melalui peradilan setempat yang berada di wilayah peradilan umum. Kasus persengketaan ini dapat diselesaikan melalui lingkup peradilan maupun luar peradilan disesuaikan dengan kesepakatan kedua belah pihak secara sukarela. Dijelaskan pula bahwa sanksi yang akan dikenakan tidak hanya berupa sanksi perdata saja, tetapi sanksi pidana pun bisa menjeratnya. Sesuai dengan perbuatan yang dilakukan maka pertanggungjawaban nya pun harus ditunaikan. Sebagaimana pernyataan yang sudah dijelaskan di dalam UUPK pada pasal 45 ayat 1-4
ADVERTISEMENT
Jika konsumen terjerat kasus sengketa dengan pelaku usaha, maka terdapat dua cara yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan persengketaan tersebut, yaitu :
1. Melalui jalur damai. Yaitu cara menyelesaikan sengketa di antara dua belah pihak yaitu (konsumen dan pelaku usaha) diluar pengadilan maupun lembaga terkait seperti BPSK. Perlu diperhatikan juga bahwa penyelesaian melalui jalur damai ini tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang berlaku.
2. Menyelesaikan persengketaan melalui lembaga tertentu. Konsumen dan pelaku usaha yang sedang bersengketa dan sudah berusaha untuk menyelesaikan dengan menggunakan jalur damai, tetapi tidak terselesaikan sesuai harapan, maka yang harus dilakukan oleh kedua pihak dengan merujuk kepada Undang-Undang Perlindungan Konsumen Pasal 45 ayat (1) yang berbunyi setiap konsumen yang merasakan kerugian bisa menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum. Siapa saja yang berhak menggugat, terdapat pada Pasal 46 UUPK. Pada Pasal 23 UUPK juga disebutkan diperbolehkannya konsumen menggugat pelaku usaha yang tidak memperdulikan keluhan konsumen. Lembaga yang bisa menggugat pelaku diantaranya melalui peradilan umum atau BPSK, selain keduanya, penyelesaian yang lain yang juga bisa dilakukan di Peradilan Tata Usaha Negara (TUN). Peradilan TUN adalah peradilan yang menangani persengketaan dan penyelesaian terhadap masalah pelanggaran konsumen yang dilakukan oleh pelaku penyelenggara pemerintah.
ADVERTISEMENT