Studi: Ibadah Haji Berisiko Tinggi karena Aksi Iklim Rendah

Yayasan Indonesia Cerah
Akun resmi Yayasan Indonesia Cerah, organisasi nonprofit yang fokus mendorong transisi dari energi fosil ke energi bersih dan terbarukan.
Konten dari Pengguna
18 Juli 2022 13:39 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yayasan Indonesia Cerah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi. Jemaah melakukan tawaf pada ibadah haji 2021. Foto: AFP.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi. Jemaah melakukan tawaf pada ibadah haji 2021. Foto: AFP.
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Aktivitas manusia penyebab krisis iklim, diperparah dengan rendahnya aksi iklim global mengakibatkan ibadah haji berisiko tinggi. Ancaman peningkatan suhu global dan cuaca ekstrem sebagai dampak krisis iklim, akan membahayakan jemaah di Arab Saudi, mengutip laporan Dampak Kebijakan Iklim bagi Ibadah Haji. Karenanya, penting untuk menurunkan emisi global dengan cepat, demi menyelamatkan umat Islam yang berhaji.
ADVERTISEMENT
Suhu dan kelembapan tinggi menyebabkan manusia sulit berkeringat. Sehingga, orang tua dan muda rentan terkena serangan panas, dengan risiko sakit atau meninggal. Kondisi ini dapat terjadi di Makkah, dengan peningkatan suhu rata-rata global 1,2°C akibat aktivitas manusia, terutama penggunaan bahan bakar fosil, deforestasi, dan praktik pertanian tidak berkelanjutan.
Kebijakan iklim saat ini akan berakibat pada pemanasan global 2,7°C dalam kurun waktu 78 tahun. Apabila pemanasan global dipertahankan sesuai target Perjanjian Paris 1,5°C, peluang untuk mencapai suhu dan kelembapan tinggi akan sangat berkurang. Alhasil, ibadah haji jauh lebih aman jika target penurunan emisi dapat dipenuhi saat ini. Untuk itu, tindakan segera dan lebih berdampak perlu dilakukan negara-negara industri dan kaya, juga negara mayoritas muslim.
ADVERTISEMENT
Menurut laporan yang disusun Pusat Pengkajian Islam Universitas Nasional (PPI UNAS) ini, lima negara paling bertanggung jawab terhadap krisis iklim adalah Amerika Serikat, Rusia, Cina, Brazil, dan Uni Eropa. Kelimanya merupakan negara kaya dan penyumbang emisi lebih tinggi, sehingga tanggung jawab dan potensinya besar dalam mengurangi karbon dengan cepat.
Namun, pengurangan emisi oleh negara kaya saja belum cukup. Negara mayoritas muslim, seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Turki, Iran, Mesir, Bangladesh, dan Indonesia, juga perlu bertindak, mengingat mereka berkepentingan dalam hal efek emisi karbon terhadap ibadah haji.
Jika dibiarkan, emisi karbon yang dihasilkan negara-negara mayoritas muslim ini akan meningkatan panas dengan level yang bervariasi. Upaya yang dapat dilakukan yaitu mengurangi penggunaan bahan bakar fosil, seperti minyak, gas, dan batu bara, kemudian bertransisi ke energi terbarukan.
ADVERTISEMENT
Tujuh negara di atas dapat mencontoh Maroko dan Maladewa. Keduanya merupakan negara mayoritas muslim dengan rencana iklim yang paling ambisius. Saat ini, Maroko berencana menggunakan “porsi emisinya yang wajar”. Mengutip laporan tersebut, apabila semua negara mengikuti pendekatan ini, pemanasan global dapat dibatasi pada 1,5°C atau lebih rendah lagi, sehingga umat muslim yang berhaji pun terlindungi.
“Laporan ini memberikan gambaran penting bagi umat Islam untuk peduli dan bertindak terhadap perubahan iklim. Panas ekstrem yang disebabkan oleh perubahan iklim akan membuat ibadah Haji lebih sulit dan lebih berbahaya bagi komunitas Islam. Selanjutnya, perubahan iklim juga akan berdampak buruk pada banyak negara Islam dan penduduk muslim dunia pada umumnya," ungkap Fachruddin M Mangunjaya, Ketua PPI UNAS.
ADVERTISEMENT