Angan-angan Ruang Aman Buruh Perempuan

Adita Haafizhoh
Mahasiswi Fakultas Hukum, Universitas Andalas
Konten dari Pengguna
27 Mei 2023 16:16 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Adita Haafizhoh tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Buruh Perempuan. Foto: AFP
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Buruh Perempuan. Foto: AFP
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
May Day atau Hari Buruh menjadi momentum bagi buruh untuk menyuarakan hak-haknya yang masih saja dilanggar. Sejarah mencatat bagaimana perjuangan buruh melawan pelanggaran hak menjadi inisiasi digelarnya aksi tiap tahun. Tidak terkecuali tahun ini yang mengangkat tema “Hari Keselamatan dan Kesehatan Kerja Sedunia 2023.”
ADVERTISEMENT
Momen inilah yang tidak disia-siakan oleh buruh perempuan untuk memperjuangkan haknya yang masih menjadi persoalan. Perlindungan keselamatan, kesehatan, bahkan kesejahteraan yang seharusnya menciptakan ruang aman bagi perempuan, tidak secara optimal diterapkan oleh tiap perusahaan.
Berbagai persoalan muncul setelahnya, seperti diskriminasi potensi dan upah, pelanggaran hak maternitas, kekerasan, sampai pada hal pelecehan seksual ke buruh perempuan.
Jika ditarik pangkal permasalahan, perlakuan tidak mengenakkan ke pekerja perempuan ini dikarenakan terjadinya siklus lingkaran setan terus-menerus.
Ilustrasi Buruh Perempuan. Foto: AFP
Dilatarbelakangi mengakarnya budaya patriaki yang membawa stereotip negatif terhadap potensi dan kualitas pekerja perempuan. Anggapan negatif tadilah yang mengerdilkan posisi perempuan yang nantinya berujung pada perlakuan diskriminatif di tempat kerja. Siklus ini yang tidak dapat diputus sehingga ruang aman bagi pekerja perempuan tidak didapatkan secara optimal.
ADVERTISEMENT
Di samping faktor di atas, apabila kita meninjau dari peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia, maka aturan terkait ruang aman dan perlakuan adil bagi pekerja perempuan tidak mencakup seluruh penyelenggaraanya.
Contoh pada Pasal 28G Ayat (1) UUD NRI 1945, UU No.13 Tahun 2003, dan sampai pada UU No.6 Tahun 2023. Hal ini tentu tidak secara optimal dapat memberikan rasa aman dan perlakuan adil bagi pekerja perempuan di Indonesia.
Kondisi yang kurang optimal inilah yang menjadi salah satu urgensi pemerintah menciptakan Rancangan Undang-undang tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak.
Ilustrasi ibu hamil bekerja. Foto: Shutter Stock
RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak tentu menjadi angin segara bagi buruh perempuan di Indonesia. Segala bentuk perlindungan yang ada di RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak dapat mendorong peningkatan kualitas keselamatan, kesehatan dan kesejahteraan ibu dan anak. Seperti pekerja perempuan mendapatkan hak maternitanya, sampai menjamin peningkatan kualitas SDM sejak dini.
ADVERTISEMENT
Di tengah optimalisasi hak-hak pekerja perempuan melalui RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak, tentu masih ada hal-hal yang perlu dikritisi dan diawasi, mengingat proses implementasi sebelumnya tidak berjalan secara optimal.
Pertama, terkait dengan cuti melahirkan selama 6 bulan pada Pasal 4 yang menyatakan bahwa cuti hamil dan cuti melahirkan merupakan salah satu hak pekerja perempuan yang harus dipenuhi oleh perusahaan.
Sejatinya merujuk pada keterangan Perkumpulan Pengajar dan Praktisi Hukum Ketenagakerjaan Indonesia (P3HKI) yang mengapresiasi tujuan tapi tidak dengan Pasal 4 ini perlu dipahami lebih dalam lagi.
Ilustrasi ibu dan anak perempuan. Foto: Prostock-studio/Shutterstock
Ketua umum P3HKI menyatakan bahwa adanya gap antara peraturan dan kenyataan sosial ditakutkan gagalnya implementasi seperti yang diharapkan.
Berkaca dari permasalahan di atas, tentu menimbulkan pertanyaan bagaimana perusahaan akan membayar pekerja perempuan saat cuti hamil dan melahirkan?
ADVERTISEMENT
Dalam RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak menyatakan bahwa 3 bulan pertama gaji yang diterima pekerja perempuan 100% dan dibayarkan oleh perusahaan, kemudian 3 bulan setelahnya dibayarkan sekitar 75% dan tidak jelas siapa yang akan bertanggung jawab.
Hal ini tentu akan merugikan buruh pekerja, di samping itu juga akan membahayakan keberlanjutan usaha dari perusahaan. Belum lagi apabila seluruh gaji ditanggung perusahaan, tentu ini bertentangan dengan Pasal 74 ayat (4) dari UU Perseroan Terbatas yang menyatakan bahwa dana sosial perusahaan tidak dipergunakan untuk memenuhi tanggung jawab perusahaan terhadap hak pekerja.
Ilustrasi Buruh Perempuan. Foto: AFP
Permasalahan ini tentunya ditakutkan akan merusak tujuan utama yakni pengoptimalan hak-hak pekerja. Karena jika perusahaan merasa berat akan ketentuan ini peluang terbukanya kesempatan kerja bagi perempuan akan lebih mengecil lagi.
ADVERTISEMENT
Hal ini tentu tidak kita harapkan. Lebih dari itu, jika ingin memperjuangkan hak-hak pekerja perempuan tanpa menghambat kerja perusahaan.
Maka, sudah saatnya pemerintah untuk melakukan perbaikan dengan mengadopsi aturan di Belanda yakni pengambilan cuti melahirkan harus diambil sekurang-kurangnya 1,5 bulan sebelum melahirkan dan 1,5 bulan setelah kelahiran. 3 bulan sisa dari cuti melahirkan dapat diambil sesuai dengan kebutuhan pekerja (begitupun dengan pembayaran gaji).