Sekelumit Keruwetan Sistem Pemilu di Indonesia

Adam Andriantama Bayu Aji
Wakil Direktur Nusantara Connection Youth and Development
Konten dari Pengguna
12 Juni 2023 16:38 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Adam Andriantama Bayu Aji tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber gambar : Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Sumber gambar : Pribadi
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Jelang pesta demokrasi yang kian dekat, Indonesia saat ini justru sedang berada pada dimensi dialektika pengetahuan dan perdebatan kepentingan dalam menentukan sistem pemilu serentak 2024.
ADVERTISEMENT
Hal tersebut terjadi dikarenakan pada saat waktu pemilu 2024 sudah ditentukan dan tahapan pemilu sudah berjalan, justru terjadi judicial review di Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai sistem pemilu.
Fenomena yang cukup menarik. Sebab dalam persidangan, para ahli memberikan pandangannya mengenai lebih baik sistem proposional tertutup atau proposional terbuka untuk diterapkan di Indonesia. Sehingga penantian terhadap putusan MK pada perkara nomor 114/PUU-XX/2022, sedang dinantikan oleh seluruh stakeholder.
Keputusan yang dinantikan itu akan menentukan bagaimana wajah demokrasi Indonesia ke depan. Sejak pemilu menggunakan sistem proporsional terbuka ternyata cukup banyak problematika yang terjadi.
Ilustrasi Komisi Pemilihan Umum RI Foto: Nugroho Sejati/kumparan
Seperti misalnya terkait biaya kampanye yang cukup tinggi, integritas pelaku politik yang dipertaruhkan dengan maraknya praktik money politic, dan biaya yang dikeluarkan oleh negara untuk penyelenggaraan terhitung cukup besar.
ADVERTISEMENT
Namun, sebaiknya kita kembali mengingat bagaimana ketika sistem Pemilu menggunakan proporsional tertutup. Sejak tahun 1955 sampai 1999 atau disebut dengan Orde Lama-Orde Baru, secara realitanya justru negara berkuasa begitu kuat.
Mengutip apa yang disampaikan oleh Hilal Hilmawan bahwa terdapat harapan dari sistem proporsional daftar terbuka yaitu pemilih tidak lagi memilih kucing dalam karung. Sebab, pemilih tahu identitas sekaligus track record sehingga ketika terpilih nanti, antara pemilih dan wakil terpilih terjalin hubungan politik yang dapat dipertanggungjawabkan (accountable political relationship).
Sistem proporsional terbuka merupakan bentuk antitesa dari sistem yang diterapkan sebelumnya. Kemudian, sistem ini merupakan pembaharuan dalam wajah demokrasi Indonesia.
Ilustrasi lambang Mahkamah Konstitusi. Foto: Helmi Afandi/kumparan
Kenapa? Karena salah satu faktor penting dari penerapan sistem proporsional terbuka yaitu membatasi elite partai politik dalam menentukan sirkulasi struktural legislatif dan para calon legislatif dipaksa untuk berkampanye dan bersentuhan langsung dengan rakyat, bahkan juga memohon kepada rakyat agar memilihnya.
ADVERTISEMENT
Sehingga dalam hal ini, rakyat diberikan keleluasaan dalam memilih tokoh siapa yang dapat menjadi wakilnya di parlemen. Kemudian apabila terjadi permasalahan terkait tingginya anggaran dan praktik gelap dalam sistem proporsional terbuka, maka yang harus diperbaiki dan disempurnakan adalah tata cara pelaksanaan agar efektif dan efisien.
Termasuk juga di dalamnya, sistem pelaksanaan serta peraturan yang ketat agar problematika yang sempat terjadi tidak terulang kembali. Karena sistem proporsional terbuka merupakan realisasi nyata dari adagium “vox vopuli vox dei” karena kedaulatan rakyat tercapai.