Bahaya Personifikasi Reformasi 98; Kapitalisasi 98 untuk tiket kekuasaan

Acep Jamaludin (Cepjam)
Seorang Aktivis pergerakan yang aktif dalam beberapa isu strategis pernah berkuliah di UIN SGD Bandung dan sekarang menjadi direktur kajian strategis di perusahaan sinergi riset nusantara yang bergerak dibidang konsultan politik dan riset
Konten dari Pengguna
31 Mei 2023 18:37 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Acep Jamaludin (Cepjam) tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
foto acep jamaludin
zoom-in-whitePerbesar
foto acep jamaludin
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Oleh Acep Jamaludn (Cepjam) Sosia Politika

Diskusi soal reformasi ini sering saya lakukan secara berulang dan tulisan ini adalah hasil opini penulis dari mengumpulkan tulisan juga pendapat orang-orang yang punya keresahan serupa.

Sebelumnya saya ingin mengatakan bahwa para aktivis penggerak yang berjuang di tahun 90-an hanyalah sebagai bidan untuk melahirkan reformasi dan generasi 2000-an adalah anak kandung reformasi yang sebenarnya, maka jika kita lihat belakangan ini ada segelintir orang yang melakukan personifikasi bahwa dirinya terlihat si paling berjasa dalam menurunkan soeharto pada tahun 1998 adalah sebuah kesalahan dalam substansi pergerakan reformasi itu sendiri. Bayangkan berapa banyak aktivis dan generasi yang bergerak untuk melahirkan reformasi dan setiap angkatan melakukan kaderisasi serta pendidikan untuk mencapai puncak reformasi, namun hanya segelintir orang yang mengklaim dan seolah-olah bahwa dirinya secara personal yang berjuang mati-matian dan bahkan cara berfikir dan bertindaknya jauh dari nilai perjuangan reformasi itu sendiri.
ADVERTISEMENT
bukannya meninggalkan pendidikan dan kaderisasi selain memperlihatkan personifikasi mereka melakukan kapitalisasi reformasi dengan menggunakan tiket 98 untuk berebut jabatan politik strategis, menjadi komisaris, atau jabatan lain di dalam kekuasaan disini terlihat seolah jika mereka hanya bisa mengandalkan tiket 98 dan seperti tidak memiliki modal kapasitas yang lain untuk mencapai kedudukan tersebut .
Ketika semua berfokus kepada momentum 2024 tanpa kita sadari bahwa kita sebagai orang yang berkuliah di tahun 2000-an sebagai anak kandung reformasi itu sendiri tidak diberikan pendidikan ataupun pengkaderan secara substansi mengenai agenda reformasi itu dan bahkan selalu putus tanpa kejelasan tindak lanjut. Sebut saja generasi 2000-an hanya disajikan sebuah arus yang cenderung kabur dari nilai perjuangan reformasi itu sendiri. Secara tekstual kita bisa dengan mudah mencarinya di google atau chat GPT mengenai poin-poin apa saja yang diperjuangkan ketika reformasi meledak, akan tetapi pendidikan bukan hanya soal kognisi tapi juga ada aspek-aspek lain yang tidak disentuh oleh para senior-senior kita di angkatan sebelumnya. padahal prosesi kaderisasi dan penurunan nilai kepada generasi berikutnya adalah sebuah bentuk pengabadian nilai-nilai perjuangan dalam hal ini reformasi.
ADVERTISEMENT
Saya teringat ketika menjadi ketua senat mahasiswa universitas di kampus UIN Bandung di tahun 2018, ketika itu ada teman yang mengajak berdiskusi mengenai 20 tahun reformasi yang sayangnya dalam agenda diskusi tersebut saya hanya melihat sebuah wacana pengkultusan tokoh tertentu yang pada waktu itu sangat terkenal dan dianggap sebagai barometer aktivisme untuk angkatan saya. Lebih lanjut lagi, sebuah penilaian terhadap aktivis yang akan berakhir menjadi seorang politisi yang handal rasa-rasanya kok agak meragukan ya. Begitulah pandangan saya dan mungkin kita semua juga bisa menilai dari menonton televisi dan media lainnya. Artinya ada sesuatu yang putus dalam pendidikan dan pengkaderan untuk anak kandung reformasi dari para aktivis 90-an.
Sebut saja organisasi yang menaungi para aktivis ini yang paling terkenal PENA 98 yang dipimpin oleh politisi PDIP yakni Adian Napitupulu mereka berlomba untuk menjadi relawan di momentum politik 2024 tanpa menilai substansi awal yang mereka perjuangkan sebelumnya, saya kira mereka melakukan konsep oposisi biner dimana ada 2 isu yang berlawanan namun menghindari substansi yang sebenarnya.
ADVERTISEMENT
25 tahun reformasi ini saya mencoba ingin membuat sebuah penegasan bahwa 98 dan perjuangan reformasi bukan hanya personal 1 atau 2 orang saja juga bukan soal dukung mendukung apalagi malah menghilangkan substansi reformasi itu sendiri. Saya mencoba memberikan tanggapan untuk dibaca oleh para aktivis 90-an yang merasa paling berjasa mengenai kemajuan bangsa ini, namun saya perlu mempertegas jika saya tidak mengkritik mengenai substansi agenda reformasi saya hanya mengkritik dan mengingatkan kepada orang-orang yang secara personal merasa dirinya lah yang paling berjasa dalam agenda reformasi bahwa perjuangan ini belum selesai.
kenapa saya melakukan ini?. saya hanya teringat pernah membaca buku karya sukandi abdul karim dengan judul Politik Kekerasan Orba ; Akankah Terus Berlanjut? bukan untuk membedahnya namun saya ingin menjawab bahwa ternyata hal tersebut masih berlanjut dimana oposisi biner untuk mempertahankan kekuasaan terus dilakukan dan yang disayangkan semua konsep ini di lakukan dan di bantu oleh orang orang yang mengaku aktivis 98, saya tidak perlu menjelaskan secara rinci tapi teman-teman pasti sudah mengetahui bagaimana kekuasaan bekerja saat ini menggunakan kekerasan fisik yang memaksa dan kekerasan non fisik yang membujuk yang pada akhirnya orang yang ditindas tidak merasakan ditindas.
ADVERTISEMENT
Semua sudah terlambat tidak mungkin bisa diperbaiki sebab ada perumpamaan bahwa gelas yang sudah pecah tidak akan bisa dikembalikan ke bentuk asalnya dengan cara apapun. Menuju akhir tulisan saya ingin mengutip tulisannya A. Rahman Tolleng NEGERI INI MILIK KITA BERSAMA Sebuah Renungan bagi Kaum Muda yakni “Anak muda sekarang tentu tidak tahu para pejuang dulu dijuluki kaum “Republikein”. Tapi kata republik kini seolah tak berarti apa-apa, kecuali bahwa Indonesia bukan kerajaan”. Sama halnya dengan anak muda saat ini bahwa kami tidak mengetahui pejuang 98 yang sering disebut-sebut sebagai pejuang reformasi yang kami tahu bahwa indonesia mengalami pergantian sistem, titik hanya itu saja. Apa itu salah kami sebagai generasi pasca reformasi? tentu saja bukan.
ADVERTISEMENT
selanjutnya secara personal saya adalah mahasiwa yang terlibat pergerakan mulai dari 2014-sekarang artinya saya merasakan betul bagaimana rezim Jokowi dari pertama sampai diakhir masa jabatannya, dari beberapa kali turun ke jalan hampir setiap isu dari mulai 2017 bayak kawan kami meninggal dan juga ditangkap namun tidak menjadikan sebuah catatan untuk bergerak lebih besar. Kami sadar jika kesalahan ada dalam kondisi generasi kami sendiri namun terlepas dari hal tersebut rezim ini kehilangan sesuatu yang berharga yakni moral dan etika publik. Dimana mereka tidak menyadari jika sebenarnya telah terjadi kemerosotan demokrasi di indonesia. Pola Idiologi State Aparatur dan Represivitas State Aparatur dijalankan dengan sangat sempurna sampai rakyat merasa tidak sedang ditindas. pembukaman demokrasi ini semua direkayasa menjadi sebuah kekuasaan yang otoriter yang legal secara hukum. selain itu ada keterlibatan penuh aktor reformasi dalam konsep ini bahkan mereka sendiri yang melakukannya.
ADVERTISEMENT
Last but not least untuk anak muda indonesia saya ingin katakan bahwa perjuangan di setiap generasi akan terus ada, mari kita tutup buku perjuangan reformasi dan buka lembaran buku perjuangan lain karena saya yakin sebenarnya kita sudah memahami dimana kita harus berdiri di tengah kondisi bangsa kita saat ini, yang terpenting bahwa kita semua adalah pemilik Indonesia dan kita semua sebagai pemiliknya lah yang akan menentukan masa depannya.