news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Wali Nanggroe: Bendera Aceh Harus Berkibar 15 Agustus 2020

Konten Media Partner
11 Januari 2020 20:01 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Silaturrahmi eks kombatan GAM se-Aceh di Makam Hasan Tiro, Senin (23/12/2019). Foto: Abdul Hadi/acehkini
zoom-in-whitePerbesar
Silaturrahmi eks kombatan GAM se-Aceh di Makam Hasan Tiro, Senin (23/12/2019). Foto: Abdul Hadi/acehkini
ADVERTISEMENT
Wali Nanggroe Aceh, Teungku Malik Mahmud Al-Haythar, menyatakan poin-poin nota kesepahaman perdamaian antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Republik Indonesia atau MoU Helsinki yang sampai sekarang belum diimplementasi harus segera direalisasikan.
ADVERTISEMENT
Salah satunya mengenai bendera dan lambang Aceh yang sampai hari ini belum ada titik temu antara mantan kombatan GAM dengan pemerintah pusat. Padahal Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Aceh telah mengesahkan bendera Bintang Bulan sebagai bendera Aceh.
Menurut Malik, bendera Bintang Bulan harus bisa dinaikkan secara resmi ketika momen 15 tahun perdamaian Aceh pada 15 Agustus 2020 nanti.
“Kita berharap bendera dapat naik pada 15 Agustus 2020. Karena sudah 15 tahun rakyat Aceh bersabar,” kata Malik Mahmud, di Meuligoe Wali Nanggroe Aceh.
Pertemuan tertutup eks petinggi GAM dengan pengamat intelijen Suhendra Hadikuntono di Meuligoe Wali Nanggroe. Foto: Rusdi
Hal itu diutarakan Malik ketika mengadakan pertemuan tertutup dengan mantan petinggi GAM dan 19 panglima wilayah mantan kombatan GAM seluruh Aceh dengan pengamat intelijen Suhendra Hadikuntono di Meuligoe Wali Nanggroe Aceh, Lampeuneuruet, Aceh Besar, Jumat (10/1).
ADVERTISEMENT
Dalam pertemuan tersebut hadir Ketua Komite Peralihan Aceh (KPA) Muzakir Manaf atau Mualem, Wakil Ketua KPA Kamaruddin Abu Bakar atau Abu Razak, Darwis Jeunieb, Sarjani Abdullah, dan Muchtar Hanafiah atau Ableh Kandang.
Pertemuan itu dipimpin Wali Nanggroe Aceh membahas percepatan implementasi MoU Helsinki dan UUPA, terutama terkait lambang dan Bendera Aceh.
“Kesepahaman yang sudah diperjanjikan dalam MoU Helsinki dan diatur dalam UUPA harus segera diimplementasikan secara menyeluruh,” kata Malik Mahmud.
Bendera, lambang Aceh, dan himne Aceh menjadi salah satu kewenangan Serambi Makkah, sesuai Undang Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, merupakan amanah dari Memorandum of Understanding (MoU) Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka, yang disepakati di Helsinki, Finlandia, 15 Agustus 2005 silam. Sebuah kesepakatan untuk menghentikan perang selama 29 tahun di Aceh.
ADVERTISEMENT
Tapi sampai saat ini, bendera Bintang Bulan dan lambang Burak Singa yang telah ditetapkan DPR Aceh dalam Qanun Nomor 3 Tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh, tak kunjung digunakan. Masih berpolemik dengan pemerintah pusat.
Sementara Himne Aceh, telah dinyanyikan pertama kali dalam acara resmi pemerintahan, pelantikan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) pada 30 September 2019 lalu.
Himne berjudul 'Aceh Mulia' Karya Mahrisal Rubi, telah ditetapkan sebagai lagu ‘Kebangsaan’ Aceh sesuai dengan Qanun Nomor 2 Tahun 2018 tentang Himne Aceh.
Dalam pertemuan itu, mantan Panglima GAM Muzakir Manaf menyebut persoalan lambang dan bendera Aceh harus segera diselesaikan. “Ini bukan saja tuntutan kami para mantan kombatan, tapi tuntutan rakyat Aceh,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Mualem menambahkan, Pemerintah Pusat tidak perlu risau dengan lambang dan bendera Aceh, karena hal itu tidak akan membuat NKRI terpecah belah. “Bendera dan lambang ini adalah kebanggaan bagi rakyat Aceh sebagai daerah yang diakui kekhususannya lewat Undang-Undang Pemerintah Aceh,” tuturnya.
Pertemuan tersebut menyepakati beberapa langkah-langkah teknis dan strategis yang akan ditempuh baik oleh Wali Nanggroe, oleh KPA dan seluruh elemen yang ada di Aceh, untuk percepatan implementasi UUPA. Salah satunya menugaskan Suhendra menghadap Presiden Joko Widodo untuk menyampaikan langsung keseluruhan hasil pertemuan tertutup tersebut.