Sejarah AMM: Militer Asing Pemantau Damai Aceh

Konten Media Partner
16 Desember 2022 8:15 WIB
ยท
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Militer asing ikut mengawal jalannya damai Aceh. Mereka tergabung dalam Aceh Monitoring Mission (AMM) yang bertugas selama 15 bulan, dibubarkan pada 15 Desember 2006 atau 16 tahun silam.
Memantau proses damai, Pieter Feith (Kanan) bersama mantan Perdana Menteri GAM, Malik Mahmud. Foto: Adi Warsidi
AMM dibentuk atas amanat perjanjian damai di Helsinki, Finlandia. Nota ini diteken Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Indonesia. Perang tiga dekade usai di meja runding di tanah Eropa, pada 15 Agustus 2005.
ADVERTISEMENT
Kedua belah pihak sepakat membentuk AMM: pemantau agar butir damai jalan. MoU Helsinki menulis AMM dibentuk Uni Eropa dan negara-negara ASEAN. Antara lain Thailand, Malaysia, Brunei, Filipina, dan Singapura. Dua negara Eropa ikut serta: Swiss dan Norwegia.
AMM punya anggota sekitar 250 personel, umumnya perwira militer asing, tapi tak boleh menyandang senjata saat bertugas di Aceh. Kantor pusat mereka di Banda Aceh. Selain itu, ada kantor wilayah di Sigli, Bireuen, Lhokseumawe, Langsa, Tapak Tuan, Blang Pidie, Meulaboh, Lamno, Kutacane dan Takengon. Ada juga sebuah kantor logistik di Medan.
Tim AMM bebas bergerak ke mana saja. Meski keamanan tim itu menjadi tanggung jawab pemerintah, mereka berwenang menolak pengawalan polisi.
Sejak awal AMM dipimpin Pieter Feith, diplomat asal Belanda yang malang melintang di area perang. Dia pernah menjadi penasihat politik NATO bagi Komandan Pasukan Perdamaian PBB (IFOR) di Bosnia and Herzegovina. Dia juga pernah terjun mengakhiri perang antara Makedonia dan Tentara Pembebasan Albania, NLA.
Tim AMM (berbaju putih) memeriksa senjata GAM. Dok. Adi Warsidi
Misi pemantauan berjalan sejak 15 September 2005. Semula 6 bulan, tapi kelak diperpanjang hingga 15 bulan.
ADVERTISEMENT
Tugas awal AMM adalah memastikan GAM memotong senjata mereka. Juga penarikan TNI dan polisi nonorganik dari Aceh. Dua misi ini tuntas pada 5 Januari 2006.
Sesuai MoU Helsinki, GAM harus menyerahkan 840 pucuk senjata ke AMM. Bedil ini kemudian dipotong di muka umum. 27 Desember 2005, GAM juga resmi membubarkan sayap militer: Tentara Neugara Aceh.
Misi lain terus dilanjutkan. Misal memastikan bahwa Pemerintah Indonesia membebaskan semua narapidana dan tahanan politik. Serta pemberian amnesti dan reintegrasi anggota GAM ke masyarakat sipil.
AMM juga memantau pembentukan Undang-Undang Pemerintahan Aceh: memuat lebih detail butir janji damai. UUPA disahkan oleh DPR Republik Indonesia 11 Juli 2006 dan diteken Presiden Indonesia 1 Agustus 2006.
Biaya misi AMM diambil dari anggaran Uni Eropa sebesar EUR 9,3 juta dan dari kontribusi negara-negara anggota Uni Eropa serta negara-negara peserta sebesar EUR 6 juta.
ADVERTISEMENT
AMM menjadi misi pertama dan hal baru bagi Uni Eropa: memimpin misi di Asia dan kerja sama dengan negara-negara ASEAN. Membentuk AMM, bukti Uni Eropa menguatkan peran sebagai aktor global.
"Uni Eropa menggarisbawahi komitmennya terhadap proses perdamaian di Aceh, serta terhadap perdamaian dan stabilitas kawasan secara keseluruhan," tulis Uni Eropa, dalam pengantar misi AMM.
Menjelang AMM dibubarkan, Pieter Feith memberi komentar ke media di Brussel, Belgia, 18 Desember 2006. Menurutnya, situasi keamanan di Aceh sangat stabil dan para pihak memilih jalur dialog bila ada permasalahan.
Bagi Pieter, kondisi itu melegakan. Setidaknya dia ingin memberikan sinyal bahwa rakyat Aceh tidak sendirian. "Mantan Presiden Finlandia (Martti Ahtisaari) dan saya dapat memberikan bantuan kalau perlu. Tapi belum tentu ada masalah keamanan, mungkin masalah lain," tuturnya.
ADVERTISEMENT
Kini, 16 tahun berselang setelah misi AMM tuntas. Di tengah situasi damai, apa masalah utama Aceh? Data Badan Pusat Statistik barangkali jawabannya. Bahwa Aceh termiskin di Sumatra. []