Menilik Nilai-nilai Tradisi Meugang, Warisan dari Kesultanan Aceh

Konten Media Partner
5 Mei 2019 14:53 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Warga memenuhi pasar daging dadakan di Peunayong, Banda Aceh. Memburu daging merayakan meugang. Foto: Suparta/acehkini
zoom-in-whitePerbesar
Warga memenuhi pasar daging dadakan di Peunayong, Banda Aceh. Memburu daging merayakan meugang. Foto: Suparta/acehkini
ADVERTISEMENT
Belum genap sebulan, Muhajir Maop, mempersunting gadis pujaannya asal Indrapuri, Aceh Besar. Ini adalah meugang pertama bagi pasangan baru itu. Sebuah kebiasaan yang diwariskan para Sultan Aceh sejak abad ke-17. Mereka harus mengikuti adat untuk menjaga tradisi.
ADVERTISEMENT
Usai menikah, Muhajir tak tinggal dengan mertuanya. Bersama istri, dia memilih menyewa rumah di kawasan Darussalam, Banda Aceh. Alasannya dekat dengan tempat bekerja.
“Tapi untuk merayakan tradisi meugang, sebagai pasangan baru, saya tetap harus pulang ke rumah mertua,” katanya.
Seorang pembeli di pasar daging, merayakan meugang. Foto: Suparta/acehkini
Adat, tak membolehkan Muhajir pulang dengan tangan kosong di hari meugang. Dia pun memburu daging di pasar, untuk dibawa pulang ke rumah mertua bersama istrinya.
“Saya membelinya lima kilo, termasuk daging, tulang dan hati sapi,” kisahnya kepada acehkini, Sabtu (4/5).
Sebagai warga Aceh, Muhajir mengaku paham soal tradisi meugang sejak kecil.
ADVERTISEMENT
“Juga soal kewajiban bagi pengantin laki-laki yang baru menikah untuk membeli daging bagi keluarga mertuanya,” ujarnya.
Pulang sore ke kampung istrinya, Muhajir menginap di sana sambil membantu membersihkan rumah dan lainnya. Sejak Sabtu malam, sampai Minggu (5/5), keluarganya menyantap daging bersama dengan ragam olahan khas Aceh Rayeuk. Dari rendang, masak puteh (masak putih) sampai sie reboh (daging rebus). Yang tersisa akan disantap nanti malam sampai awal-awal Ramadan.
Pemerhati adat budaya Aceh, Tarmizi A Hamid, mengakui kewajiban tak tertulis bagi pengantin laki-laki yang baru menikah membeli daging untuk keluarga istrinya, telah berlangsung sejak lama.
“Ini makna lain di balik tradisi meugang, ada pesan silaturahmi dan tanggung jawab di dalamnya,” kata Tarmizi.
ADVERTISEMENT
Bahkan dulunya, pengantin laki-laki mempunyai kebanggan sendiri jika membawa pulang kepala sapi dan kerbau ke rumah mertua saat merayakan meugang.
“Bagi pria baru menikah, akan jadi aib kalau meugang tak membawa pulang daging ke rumah mertuanya,” jelas Tarmizi, juga kolektor naskah kuno Aceh.
Tarmizi A Hamid, pemerhati adat budaya Aceh, dan kolektor naskah kuno. Foto: Ahmad Ariska/acehkini
Menurutnya, masyarakat Aceh selalu memperingati meugang dengan suka cita. Biasanya dilakukan selama dua hari menjelang Ramadan. Warga sering menyebutnya sebagai meugang ubit (kecil) di hari pertama, dan meugang rayeuk (besar) pada satu hari menjelang Ramadan, maupun hari raya.
Maka tak heran, di Aceh warga berbondong-bondong memenuhi lapak penjual daging di pusat-pusat pasar hingga ke jalan-jalan yang ramai.
“Semua orang Aceh makan daging hari ini, mahal sedikit bukan kendala,” ujar Tarmizi.
Daging sapi yang dibagikan kepada warga untuk meugang. Foto: Suparta/acehkini
Nilai-nilai Meugang
ADVERTISEMENT
Ketua Majelis Adat Aceh (MAA), Tgk Badruzzaman, menjelaskan tradisi meugang pertama sekali diperingati pada masa Kerajaan Aceh Darussalam dipimpin Sultan Iskandar Muda yang berkuasa dalam periode tahun 1607-1636. Tradisi ini tercatat dalam Qanun Meukuta Alam Al Asyi atau Undang-Undang Kesultanan Aceh.
Dalam regulasi itu, meugang juga disebut madmeugang, dengan kata lain meuramien (makan bersama) menjelang Ramadan maupun Idul Fitri, dan Idul Adha. Bunyi aturan meugang dalam Qanun Meukuta Alam tercantum pada Bab II, pasal 47, dengan bunyi sebagai berikut:
“Sultan Aceh secara turun temurun memerintahkan Qadi Mua'zzam Khazanah Balai Silatur Rahmi, untuk mengambil dirham, kain-kain, kerbau dan sapi dipotong di hari madmeugang. Maka dibagi-bagikan daging kepada fakir miskin, dhuafa, orang lasa, buta, yaitu pada setiap-tiap satu orang meliputi; daging, uang lima mas dan dapat kain enam hasta. Maka pada sekalian yang tersebut diserahkan kepada keuchik-nya masing-masing gampong daerahnya. Sebab sekalian semua mereka tersebut itu hidup melarat lagi tiada mampu membelikannya, maka itulah sebab Sultan Aceh memberi tolongnya kepada rakyat yang selalu dicintai."
Tgk Badruzzaman. Foto: Ahmad Ariska/acehkini
Menurut Badruzzaman, perintah merayakan meugang awalnya dimaklumatkan sultan kepada keuchik (kepala desa) untuk mendata warga miskin. Daging kemudian dibagikan secara gratis kepada mereka, sebagai wujud kemakmuran.
ADVERTISEMENT
Meugang juga memiliki makna menguatkan silaturrahmi, sekaligus wujud kegembiraan menyambut bulan suci,” sebutnya kepada acehkini.
Penjual dan pembeli bumbu untuk memasak daging di pasar Ulee Kareng, Banda Aceh. Foto: Adi Warsidi/acehkini
Di pedesaan yang adatnya masih kuat, orang tua akan melarang anak-anaknya bermain ke rumah tetangga atau sekolah pada hari meugang. Mereka wajib makan di rumah, karena begitulah cara merayakannya.
Kata Badruzzaman, dulu tradisi Meugang sedikit berbeda dengan sekarang. Saat teknologi belum semaju saat ini, peringatan memasuki bulan Ramadan disampaikan oleh pemuka agama sambil menyerukan warga menjalankan tradisi meugang.
ADVERTISEMENT
“Saat saya masih muda, untuk menandakan masuknya bulan puasa, berarti ada meugang sehari sebelumnya. Artinya, meugang hanya sehari, besoknya langsung puasa,” katanya. Saat ini, meugang umumnya dilakukan selama dua hari menjelang Ramadan.
Tradisi itu sekaligus membangun silaturrahmi, sosial, dan kebersamaan antar sesama. Salah satunya, kata Badruzzaman, dikenal meubleem atau meuripee, yang dilakukan beberapa bulan sebelum Ramadan. Ini sebuah cara mengumpulkan uang sedikit demi sedikit secara bersama-sama yang nantinya digunakan untuk membeli sapi atau kerbau untuk disembelih di hari meugang.
Dagingnya selain dibagikan kepada penyumbang, juga disisihkan untuk fakir miskin di desa atau lingkungan masing-masing.
“Hingga orang miskin tak perlu membeli daging. Kebiasaan ini mulai bergeser sekarang, membuat orang miskin pun terpaksa membeli daging walau harus mengutang,” katanya.
Salah satu pasar daging dadakan di Banda Aceh, diserbu pembeli untuk merayakan meugang. Foto: Suparta/acehkini
Meski sudah jarang ditemui, beberapa orang masih menjalankan tradisi Meubleem.
ADVERTISEMENT
“Karena orang tak sudah mempersiapkan sapi atau kerbaunya sendiri, tak perlu membeli daging di pasaran. Yang membeli daging, hanya sebagian orang yang tak meuripee di kota-kota,” kata Badruzzaman.
Satu lagi nilai yang bergeser dari meugang di Aceh. “Dulu pasar tidak mengambil laba banyak saat tradisi meugang, nilai sosialnya lebih tinggi, sekarang nilai ekonominya yang lebih banyak,” tutup Badruzzaman.
Reporter: Adi Warsidi