Makan Siang Terakhir Bersama Meuntroe Amir, Tokoh GAM Karib Tgk Hasan Tiro

Konten Media Partner
5 Juni 2021 11:48 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Meuntroe Amir Mahmud (duduk kanan) bersama Rgk Hasan Tiro saat pulang ke Aceh, 11 Oktober 2008. Foto: Suparta
zoom-in-whitePerbesar
Meuntroe Amir Mahmud (duduk kanan) bersama Rgk Hasan Tiro saat pulang ke Aceh, 11 Oktober 2008. Foto: Suparta
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Teungku Amir Rasyid bin Mahmud awalnya hanya sebuah nama yang saya temukan dalam berbagai tulisan di media massa dan buku. Terutama saat membaca mengenai jejak perjuangan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Namanya kerap muncul lantaran memangku jabatan Menteri Perdagangan kabinet pertama Aceh Merdeka, di bawah Wali Neugara Teungku Hasan Muhammad Di Tiro.
ADVERTISEMENT
Wali Hasan Tiro lebih tua dua tahun dari Meuntroe Amir. Mereka berdua karib sejak masa pemberontakan DII/TII meletus di Aceh dan Indonesia, lalu memperjuangkan kemerdekaan Aceh bersama GAM, sampai damai Aceh diraih pada 15 Agustus 2005. Wali Hasan Tiro meninggal dunia pada 3 Juni 2010. Dan 11 tahun kemudian pada Jumat kemarin, 4 Juni 2021, Meuntroe Amir menyusul menghadap Sang Khalik.
Saya punya kenangan bertemu dengan Meuntroe Amir yang pertama dan terakhir, pada 11 Agustus 2018. Kesempatan itu datang tiba-tiba, melalui sambungan telepon, Adi Warsidi, jurnalis Tempo (saat ini CEO acehkini) mengajak saya berkunjung ke Meuligoe Wali Nanggroe di Lampeuneuruet, Kabupaten Aceh Besar.
"Ada keperluan, penting," katanya di ujung panggilan. Davi Abdullah, jurnalis dan filmmaker andalan di Kota Banda Aceh, turut diajak dalam kunjungan ini.
Meuntroe Amir (kedua kiri) berkisah tentang hidupnya kepada kami. Foto: Davi
Sekitar pukul 10.00, kami tiba di kompleks Meuligoe Wali Nanggroe. Terdapat sejumlah bangunan--semuanya berkelir putih--dalam areal sekretariat lembaga adat Aceh ini. Karena hari libur, tidak banyak aktivitas atau orang berlalu lalang dalam lingkungan ini. Kami menuju bangunan paling kiri dari gerbang. Staf khusus Wali Nanggroe, DR Rafiq, menanti kami di teras. "Wali sudah menunggu," katanya.
ADVERTISEMENT
Benar saja. Wali Nanggroe Aceh, Paduka Yang Mulia (PYM) Teungku Malik Mahmud Al-Haythar duduk di ruang tamu bersama tiga lelaki. Obrolan mereka terhenti begitu kami menjabat tangannya satu per satu. Teungku Malik memperkenalkan lelaki mengenakan kemeja putih--lengkap dengan pulpen menggantung di kantong--di sampingnya itu sebagai Meuntroe Amir, abang kandungnya. Sosok yang selama ini hanya saya baca dan dengar dalam kisah-kisah perjuangan GAM. Dua lainnya adalah rekan Meuntro Amir yang selalu menemaninya di Singapura.
Ini adalah kepulangan yang kesekian kalinya pria kelahiran Singapura pada 1927 itu ke Aceh. Meuntroe Amir berkewarganegaraan Singapura dan menetap di sana. Kepulangannya ke Aceh saat itu beberapa hari menjelang peringatan 13 tahun perdamaian Aceh pada 15 Agustus 2018.
ADVERTISEMENT
Setelah bersalaman, kami pindah ke ruang lain di sisi kanan bagian dalam gedung. Adi Warsidi lantas menyodorkan majalah ACEHKINI dengan halaman muka menampilkan gambar Teungku Hasan di Tiro disertai tulisan, "Di Simpang Jalan". Teungku Malik membolak-balik majalah setebal 52 halaman itu, sebelum mengulurkannya ke Meuntroe Amir. Majalah edisi November 2008 itu mengulas kepulangan Hasan Tiro ke Aceh untuk pertama kali setelah perdamaian.
Rekan Meuntroe Amir membaca majalah Acehkini. Foto: Habil Razali
Saat itu, Majalah Acehkini mengirimkan seorang jurnalisnya, Yuswardi Ali Suud, mengikuti kepulangan Wali Hasan dan Meuntroe Amir dari Malaysia ke Aceh. Suparta Arz, saat itu masih bekerja di Harian Aceh (kini fotografer acehkini) juga ikut serta.
Hari bersejarah bagi Hasan Tiro dan juga ribuan rakyat Aceh yang menanti kepulangan 'Wali' itu adalah pada 11 Oktober 2008. Hasan Tiro meninggalkan Swedia, tempat selama ini dia bermukim sewaktu memimpin perlawanan terhadap Indonesia. Pemimpin tertinggi GAM ini singgah di Malaysia, sebelum mendarat di tanah Aceh yang dia perjuangkan berdarah-darah.
ADVERTISEMENT
Meuntroe Amir satu di antara sejumlah petinggi GAM yang bergabung dalam rombongan Hasan Tiro kala itu. Ketika pesawat yang membawa mereka mendarat di Bandar Udara Sultan Iskandar Muda Aceh Besar, Meuntroe Amir keluar pesawat lebih dulu daripada Wali Hasan Tiro.
"Na tatukeun pakeun lon treun dilei?" kata Meuntroe Amir. [Tahu alasan kenapa saya minta turun lebih dulu?]
"Ka ditupeu Wali woe u Aceh. Musoh ka dipreh. Nyeu ditembak, ka ditembak lon dilei. Kamoe mirip, lagei adoe ngeun aduen." [Banyak yang tahu Wali pulang ke Aceh. Musuh sudah menunggu. Kalau ditembak, biar saya saja yang ditembak. Kami mirip, seperti kakak dan adik].
Saat itu, banyak jurnalis dan fotografer yang menunggu di bandara terkecoh. Seperti dikisahkan Adi Warsidi yang ikut memotret hari bersejarah itu. “Banyak fotografer terkecoh, mengira Meuntroe Amir adalah Wali Hasan Tiro. Meuntroe Amir turun lebih dulu dari pesawat,” katanya.
Tgk Hasan Tiro saat turun dari pesawat. Foto: Suparta
Kisah turun dari pesawat ini adalah penggalan sejumlah cerita yang dituturkan Meuntroe Amir kepada kami seharian penuh. Dia mengisahkan riwayat hidupnya terlibat dalam sejumlah perang, sampai membantu Wali Hasan Tiro pada awal mula hendak mendeklarasikan Aceh Merdeka, hingga mengungkap beberapa rahasia.
ADVERTISEMENT
Saya mencatat semua kata-kata yang diucapkan Meuntroe Amir. Davi merekam suasana, dan Adi Warsidi terus bertanya.
Meuntroe Amir cukup fasih berbahasa Aceh. Sesekali dia bercerita dalam bahasa Melayu. Suaranya pelan. Adakala penuturannya tak terdengar jelas sehingga harus diceritakan ulang Teungku Malik. Teungku Malik pula beberapa kali menegur saya begitu Meuntroe Amir menceritakan sesuatu yang belum pernah disampaikan secara luas. "Bagian itu rahasia, dicatat rahasia, supaya kita bisa bedakan," katanya.
Bincang-bincang harus jeda sekitar pukul 13.00, meski cerita belum sepenuhnya tuntas dituturkan. Teungku Malik mengajak kami menyantap makan siang di ruang belakang bagian dalam gedung. Di sana ada meja makan dengan lauk pauk khas Aceh sudah tersaji. Begitu sederhana. Misal, sayur bayam, asam keueung, ikan goreng, dan kerupuk mulieng. Meuntroe Amir duduk dekat dengan adiknya, Teungku Malik. Kami berpisah setelah menikmati makan siang itu.
Meuntroe Amir dan adiknya, PYM Tgk Malik Mahmud Al-Haythar saat makan siang. Foto: Adi Warsidi
Sejam berselang, pukul 14.00, kami kembali ke ruang tadi. Teungku Malik melanjutkan cerita. Meuntroe Amir tidak lagi bergabung. Dia istirahat.
ADVERTISEMENT
Beberapa hari setelah pertemuan itu, Meuntroe Amir bersama dua lelaki yang menemaninya kembali ke Singapura. Saya tak berjumpa lagi dengannya setelah makan siang itu. Kabarnya juga tak lagi kami dengar.
Hingga hampir tiga tahun kemudian, kabar duka itu menyambut saya bangun tidur pada Jumat (4/6) pagi. Meuntroe Amir meninggal dunia di Singapura, pukul 04.00 waktu setempat. Dia berpulang dalam usia 94 tahun. Pengabdiannya untuk Aceh sudah selesai. Namun semangat perjuangannya tentu tetap hidup dalam jiwa-jiwa generasi muda Aceh dalam bingkai damai. Alfatihah. []