Kasus Dosen Lapor Dosen di Aceh, Pengacara Hadirkan Pembuat UU ITE di Pengadilan

Konten Media Partner
18 Februari 2020 18:54 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Para saksi disumpah dalam sidang kasus Saiful Mahdi di PN Banda Aceh. Foto: Suparta/acehkini
zoom-in-whitePerbesar
Para saksi disumpah dalam sidang kasus Saiful Mahdi di PN Banda Aceh. Foto: Suparta/acehkini
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pengadilan Negeri Banda Aceh kembali menyidangkan kasus dugaan pencemaran nama baik terkait Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), yang melibatkan sesama dosen Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh, Selasa (18/2/2020). Persidangan memasuki agenda mendengarkan keterangan saksi ahli.
ADVERTISEMENT
Kasus ini melibatkan Saiful Mahdi, dosen Fakultas MIPA Unsyiah sebagai tersangka, yang sebelumnya dilaporkan oleh Dekan Fakultas Teknik Unsyiah, Taufik Saidi ke polisi. Sidang telah berlangsung beberapa kali, sejak 17 Desember 2019.
Sidang yang dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim, Eti Astuti, menghadirkan tiga saksi ahli untuk didengar pendapatnya terkait kasus yang menimpa Saiful Mahdi. Salah satu yang dihadirkan adalah Prof. Henri Subiakto, Staf Ahli Bidang Hukum Kementerian Komunikasi dan Informatika RI. Dia merupakan salah seorang penyusun rancangan UU ITE.
Selain itu juga Totok Suhardijanto, Ph.D, dosen Fakultas Ilmu Bahasa Universitas Indonesia, sebagai ahli bahasa dan Dr Ahmad Sofian dari Universitas Binus, yang merupakan ahli pidana. Semua mereka dihadirkan oleh LBH Banda Aceh, sebagai pengacara Saiful Mahdi.
Para saksi ahli yang dihadirkan, (kiri-kanan) Totok Suhardijanto, Henri Subiakto dan Ahmad Sofian. Foto: Suparta/acehkini
Dalam keterangannya, Henri kepada Majelis Hakim mengatakan, memahami pasal 27 ayat 3 UU ITE, tidak cukup dengan membaca apa yang tertuang dalam pasal tersebut, namun harus memahami konteks dan norma asli yang terkait. Pasal tersebut berbunyi: “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.”
ADVERTISEMENT
Henri ikut menjelaskan satu persatu konteks yang tertuang dalam pasal tersebut. Misalnya dalam kata-kata “memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik” mengandung pengertian pada esensinya adalah “menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya diketahui umum.”
Terdakwa Saiful Bahri bersama pengacara dari LBH Banda Aceh. Foto: Suparta/acehkini
Korban tuduhan, kata Henri adalah pribadi kodrati, bukan pribadi hukum dan bukan pula orang banyak, tapi objeknya harus tunggal. Pasal 27 ayat 3 UU ITE, sejatinya ditujukan untuk melindungi Hak Asasi Manusia (HAM). “Dan hanya manusia yang dapat merasa dirinya dihina atau nama baiknya dicemarkan,” jelasnya.
Oleh karena itu, Henri berpendapat, penghinaan yang ditujukan kepada instansi atau lembaga (rechtpersoon), misalnya universitas, fakultas dan jajaran pimpinan yang jumlahnya banyak atau lebih dari satu, tidak termasuk dalam lingkup pasal 27 ayat 3 UU ITE.
ADVERTISEMENT
Henri mengharapkan UU ITE jangan sampai diterapkan di tempat yang tidak tepat sehingga dapat menjadi ‘draconian code’ atau undang-undang yang menakutkan rakyat dan menghambat konstitusi, khususnya hak warga negara dalam menyatakan pendapat.
Saksi ahli, Totok Suhardijanto memberikan keterangan makna bahasa yang disampaikan oleh Saiful Mahdi dalam WhatsApp Group yang kemudian menjeratnya. Menurut Totok, tulisan tersebut belum dapat dikatakan sebagai pencemaran nama baik, hanya sebagai sebagai kritik.
Sidang kasus ITE yang menimpa Saiful Mahdi. Foto: Suparta/acehkini
Kritikan yang dimaksud, disampaikan Saiful pada Maret 2019 di grup WA ‘Unsyiah KITA’, berbunyi; “Innalillahiwainnailaihirajiun. Dapat kabar duka matinya akal sehat dalam jajaran pimpinan FT Unsyiah saat tes PNS kemarin. Bukti determinisme teknik itu sangat mudah dikorup? Gong Xi Fat Cai!!! Kenapa ada fakultas yang pernah berjaya kemudian memble? Kenapa ada fakultas baru begitu membanggakan? Karena meritokrasi berlaku sejak rekrutmen hanya pada medioker atau yang terjerat “hutang” yang takut meritokrasi.”
ADVERTISEMENT
Menurut Totok, subjek dalam tulisan itu adalah ‘matinya akal sehat’. “Frasa ‘akal sehat’ bukanlah merujuk kepada waras,” katanya. Dalam ranah bahasa, ‘akal sehat’ kerap digunakan sebagai kritikan, bahkan mesin pencari google mencatatnya dalam data jutaan kali, bagaimana kata tersebut dipakai. Umumnya sebagai kritikan untuk isu-isu pemerintahan dan politik.
“Orang atau siapa yang ditunjuk? (ditujukan dalam pesan tersebut),” tanya salah seorang hakim.
“Jabatan (secara) kolektif, bukan kepada orang,” jawab saksi Totok.
Setelah mendengarkan keterangan para saksi ahli, Majelis Hakim kemudian mengumumkan agenda sidang selanjutnya, memeriksa terdakwa Saiful Mahdi, pada Selasa (25/2) pekan depan.
Kasus ini menarik perhatian para aktivis dan mahasiswa di Aceh, sehingga ramai disaksikan setiap kali persidangan digelar. []
ADVERTISEMENT