Jejak Gampong Pande: Bekas Kota Islam dan Pabrik Senjata Kesultanan Aceh (3)

Konten Media Partner
7 Maret 2021 13:52 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Di Gampong Pande, Banda Aceh, nisan-nisan kuno memberi bukti peradaban Aceh masa silam. Sejarah panjang yang melekat, terusik proyek pembangunan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL), sebagian besar pusara indatu tak terurus. acehkini menuliskan laporan khusus tentangnya.
Peta Gampong pande di masa lalu ditunjukkan warga saat Haul Tuan Di Kandang. Foto: Adi Warsidi
Sejarah Kerajaan Indra Purba dengan ibu kota di Lamuri (sekarang kawasan Lamreh, Aceh Besar) mengalami pasang surut. Berdiri sejak 2.000 tahun sebelum Masehi, kerajaan Hindu ini tetap bertahan meski mengalami sejumlah serangan dari luar, seperti Cina, Sriwijaya, Gola, dan Portugis.
ADVERTISEMENT
Serangan yang terakhir kali dan juga mengubah arah masa depan kerajaan itu terjadi pada tahun 1059-1069 Masehi. Ketika itu tentara Cina yang telah menduduki Kerajaan Indra Jaya (sekarang di Leupueng, Aceh Besar) menyerang Indra Purba, kala itu dipimpin Maharaja Indra Sakti.
Ketika perang berkecamuk, Ali Hasjmy dalam Kebudayaan Aceh dalam Sejarah (1983: 55) menjelaskan, datanglah 300 orang pasukan yang dikirim Kerajaan Islam Peureulak (sekarang di Aceh Timur), dipimpin Syekh Abdullah Kan'an. Di antara pasukan itu terdapat seorang pemuda bernama Meurah Johan, putra Adi Geunali alias Teungku Kawee Teupat, yang dirajakan di Negeri Lingga.
Dipimpin Meurah Johan, pasukan Islam tersebut bersama pasukan Indra Purba kemudian menghadapi pasukan Cina Budha. Pertempuran hari itu dimenangkan Kerajaan Indra Purba. Atas kemenangan ini, Maharaja Indra Sakti dan seluruh rakyatnya akhirnya memeluk Islam.
ADVERTISEMENT
Di samping itu, Maharaja Indra Sakti juga menikahkan anaknya Puteri Bilieng Indra Keusuma dengan Meurah Johan. Pimpinan pasukan Cina Budha yang kalah, Nian Nio Lian Khi, ternyata juga menyukai Meurah Johan sehingga masuk Islam. Setelah mendapat restu Puteri Bilieng Indra Keusuma, Meurah Johan belakangan juga menikahi Nian Nio. Kelak, nama Nian Nio lebih dikenal sebagai Putroe Neng.
Berselang 25 tahun usai pertempuran itu, Maharaja Indra Sakti mangkat. Kepemimpinan Kerajaan Indra Purba beralih ke menantunya, Meurah Johan, dengan gelar Sultan Alaiddin Johan Syah. Setelah peralihan pemimpin itu, Sultan Alaiddin Johan Syah mengubah nama kerajaan dari Indra Purba menjadi Kerajaan Darussalam, berbasis Islam.
Selain perubahan nama, Sultan juga mengubah letak ibu kota kerajaan dari Lamuri ke suatu tempat di tepi Sungai Kuala Naga (sekarang Krueng Aceh) yang dinamakan Bandar Darussalam. "Proklamasi Kerajaan Darussalam oleh umat Islam Indra Purba dengan ibu kota negara Bandar Darussalam berlangsung hari Jumat bulan Ramadhan 601 Hijriah/1205 Masehi," tulis Ali Hasjmy.
ADVERTISEMENT
Sejarawan dan Arkeolog Universitas Syiah Kuala Husaini Ibrahim menyebut letak persis Bandar Darussalam adalah suatu tempat yang kini disebut Gampong Pande. "Gampong Pande menjadi pusat kerajaan sebagai peralihan dari kawasan Lamuri," katanya kepada acehkini.
Sebuaj nisan yang ditemukan di situs Lamuri, Lamreh, Aceh Besar. Foto: Ahmad Ariska/acehkini
Ali Hasjmy menulis, pada 1292 Masehi, pemimpin ketiga Kerajaan Darussalam, Sultan Alaiddin Johan Mahmud Syah I (1267-1309 Masehi), membangun istana Darud Dunia dan Masjid Baiturrahman di Bandar Darussalam.
Sementara pada masa pemimpin ketujuh Kerajaan Darussalam, Sultan Alaiddin Husain Syah (1465-1480 Masehi), beberapa kerajaan kecil dalam wilayah Aceh Besar sekarang dan Pidier (Pidie sekarang) bersatu dalam sebuah federasi yang dinamakan Kerajaan Islam Aceh. Nama ibu kota negara juga diubah menjadi Bandar Aceh Darussalam.
Kerajaan Islam Aceh hanya sempat melewati empat kali pergantian pimpinan. Sebab, pada masa sultan kesebelas atau yang terakhir, Sultan Ali Munghayat Syah (1511-1530 Masehi), menyatukan kerajaan-kerajaan Islam kecil di wilayah Aceh sekarang menjadi Kerajaan Aceh Darussalam. Penyatuan itu dilakukan untuk menghadapi para penjajah Portugis. Ibu kota negara tetap di Bandar Aceh Darussalam yang kini menjadi Banda Aceh.
Ilustrasi peta Banda Aceh abad ke-17. Dirk de Jong/Atlas of Mutual Heritage/domain publik
Kerajaan Aceh Darussalam mencapai puncak kejayaannya ketika kepemimpinan sultan kedua belas, Sultan Iskandar Muda Darma Wangsa Perkasa Alam Syah (1607-1636 Masehi). Dalam beberapa literatur lain, Kerajaan Aceh Darussalam juga ditulis dengan nama Kesultanan Aceh Darussalam.
ADVERTISEMENT

Bekas Istana dan Makam Kuno

Sebuah fondasi beton tua terbenam dalam aliran sungai sebelah barat kompleks Makam Raja-Raja Gampong Pande di Gampong Pande, Kecamatan Kutaraja, Kota Banda Aceh. Wujudnya sama sekali tidak kelihatan bila air laut pasang dan debit air sungai meningkat. Bila aliran air sungai sedikit, fondasi itu menyembul.
Sebagian orang percaya fondasi itu adalah bekas bangunan istana pada masa kerajaan. Sementara beberapa orang lain lebih yakin itu merupakan bekas tapak bangunan masjid. "Tapi sampai sekarang belum ada penggalian untuk penelitian yang jelas," kata Husaini.
Di samping fondasi, temuan puluhan kompleks makam kuno dengan batu nisan yang tersebar hampir di semua sudut Gampong Pande oleh Masyarakat Peduli Sejarah Aceh (Mapesa) sejak 2012, menandakan kawasan itu sebuah kota penting pada masa silam. Dari inskripsi bertulisan Arab terpahat di nisan menyebutkan orang yang dimakamkan itu merupakan tokoh-tokoh Kesultanan Aceh Darussalam.
ADVERTISEMENT
"Penemuan-penemuan itu menunjukkan bahwa Gampong Pande adalah kota penting," kata Ketua Mapesa Mizuar Mahdi kepada acehkini, Rabu (3/3).
Nisan kuno di Gampong Pande. Foto: Suparta/acehkini
Bukan saja nisan, di Gampong Pande pula pada 2013 ditemukan koin dan sepasang pedang emas masa Kesultanan Aceh Darussalam. Masyarakat kala itu heboh, lantas berbondong-bondong berkunjung ke sana untuk memungut koin dalam lumpur di rawa-rawa. "Dari sisi arkeologis, Gampong Pande itu pusat kerajaan Aceh lama. Banyak nisan atau struktur lain yang ditemukan," kata Kepala Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Aceh Nurmatias, Rabu (3/3).
Di samping ibu kota, Ali Hasjmy dalam Kebudayaan Aceh dalam Sejarah (1983: 89) menulis, di Gampong Pande terdapat satu kompleks yang menjadi daerah industri, dari kerajinan rumah tangga hingga industri perang. Beragam keahlian yang terdapat di kawasan itu disebut pande yang berarti pandai, seperti pande emas, pande besi, dan sebagainya.
ADVERTISEMENT
"Di Gampong Pande bukan saja kawasan industri perbengkelan atau batu nisan, tapi juga untuk menempa mata uang dan juga menempa senjata," kata Husaini Ibrahim.
Penunjuk arah makam raja-raja Gampong Pande. Foto: Suparta/acehkini
Sejarawan Aceh (Alm) Rusdi Sufi pernah berujar, Gampong Pande merupakan pusat perakitan meriam pada masa Kesultanan Aceh Darussalam. "Gampong Pande ini pusat pembuatan senjata, ada banyak meriam besar-besar dibuat di sini, bahkan raja mengundang 400 tenaga ahli dari Turki kala itu," kata Rusdi pada 2013 sebagaimana diberitakan merdeka.com.
Soal perakitan meriam, menurut Mizuar, juga disebutkan dalam sebuah surat yang dilayangkan dari Kesultanan Aceh Darussalam ke Kesultanan Turki Ustmani. Isi warkat tertanggal sekitar 1500-an Masehi itu menjelaskan bahwa orang Aceh menempa meriam dan senjata lainnya. "Namun, tidak disebutkan letak persisnya," ujarnya.
ADVERTISEMENT
Kini, setelah ratusan tahun terlewati, sangat minim jejak yang tersisa di Gampong Pande, kecuali nisan-nisan yang tertimbun lumpur di rawa-rawa. Setiap orang yang berkunjung ke kawasan itu barangkali tidak akan percaya bahwa di sana pernah menjadi pusat kota peradaban Islam. Sebab, yang tersisi kini adalah rawa-rawa, tambak, tempat pembuangan akhir sampah sebagian masuk Gampong Jawa, dan proyek Instalasi Pengelohan Air Limbah (IPAL). Tidak ada lagi pande di Gampong Pande! []