Mengapa Ibu Kota Perlu Dipindahkan?

Abrar Rizq Ramadhan
Hanya seorang pelajar yang tenggelam di lautan Humaniora. Mahasiswa Ilmu Sejarah - FIS - Universitas Negeri Semarang
Konten dari Pengguna
3 Juli 2023 6:01 WIB
·
waktu baca 6 menit
Tulisan dari Abrar Rizq Ramadhan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi pemandangan di Jakarta dengan Monas sebagai sentralnya. (foto: paxels.com)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pemandangan di Jakarta dengan Monas sebagai sentralnya. (foto: paxels.com)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Konsepsi pemindahan ibu kota kiranya telah direncanakan sejak jauh hari. Pada 26 Agustus 2019, Presiden Jokowi mengumumkan soal perancangan undang-undang perihal pemindahan ibu kota yang pembangunannya akan dimulai pada tahun 2020 dan pemindahannya akan dilakukan secara bertahap dimulai dari 2024.
ADVERTISEMENT
Pemimpin ibu kota yang baru nantinya bukan lagi seorang gubernur melainkan Badan Otorita Ibu kota Indonesia yang secara jabatan setingkat dengan menteri.
Lokasi calon ibu kota baru akan terletak di luar pulau jawa tepatnya di pulau Kalimantan, yang mencakup sebagian dari wilayah Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kabupaten Kutai Kartanegara di Provinsi Kalimantan Timur.
Wilayah ibu kota baru ini secara resmi diberi nama Ibu kota Nusantara (IKN) yang merupakan kota terencana masa depan Indonesia dan akan diresmikan pada 17 Agustus 2024. IKN akan menjadi sebuah manifestasi dalam sejarah Indonesia soal kebijakan pemerintah terkait pemindahan ibu kota yang sebelumnya terletak di Jakarta.
Denah ilustrasi gedung Sekretariat Presiden yang akan dibangun Waskita Karya di IKN Foto: Dok. Waskita Karya
Meski terkesan menarik, Kebijakan IKN menuai banyak pro dan kontra dari berbagai macam pihak. Misal dari pihak kontra sendiri berargumen bahwa pemindahan ibu kota hanya akan menyebabkan pemborosan anggaran.
ADVERTISEMENT
Presiden Jokowi menyebut angka Rp501 triliun terkait biaya perpindahan ibu kota dan mayoritas menggunakan dana APBN. Pembenahan kota Jakarta kiranya bisa dimaksimalkan jika mempergunakan dana sebesar itu dan tidak diperlukannya pemindahan ke IKN.
Namun, ada beberapa alasan yang dapat memberikan pernyataan antitesis dari pelbagai penolakan itu. Penulis akan mencoba menjabarkan sedikit perihal sejarah dari proyek pemindahan ibu kota yang telah diusung sejak lama hingga alasan mengapa proyek IKN perlu diwujudkan.

Sejarah Pemindahan Ibu kota Indonesia

Sejumlah gedung bertingkat terlihat dari Jakarta Selatan, Rabu (17/5/2023). Foto: Sigid Kurniawan/ANTARA FOTO
Berbicara soal sejarah perpindahan ibu kota, Indonesia sudah empat kali mengalaminya. Mulai sejak pembacaan proklamasi 17 Agustus 1945 yang secara defacto menjadikan Jakarta sebagai ibu kota pertama bangsa Indonesia.
Setahun setelahnya terjadi pemindahan menuju Yogyakarta pada 4 Januari 1946, dikarenakan kedatangan pemerintahan sipil Belanda menuju Jakarta mengharuskan Sukarno dan sejumlah petinggi negara harus melaksanakan pemindahan ibu kota.
ADVERTISEMENT
Yogyakarta menjadi destinasi yang tepat karena merupakan daerah istimewa dari kekratonan Ngayogyakarta dan Srisultan Hamengkubuwono IX sendiri yang menawarkan Yogyakarta sebagai ibu kota sementara.
19 Desember 1948, agresi militer pecah dan presiden beserta pejabat negara ditangkap oleh Belanda menjadikan ibu kota negara kembali dalam kondisi tidak aman dan perlu dipindahkan. Bukittinggi menjadi destinasi ibu kota dalam pemerintahan darurat. Kala itu, yang menjabat sebagai ketua pemerintahan darurat Republik Indonesia adalah Syarifuddin Prawiranegara.
Ilustrasi Tugu Yogyakarta. Foto: khafidmukriyanto/Shutterstock
Setahun setelahnya tepatnya pada 27 Desember 1949, Belanda secara resmi menyerahkan kedaulatan Hindia Belanda dalam konferensi meja bundar (KMB). Sistem pemerintahan Indonesia lalu berubah menjadi federal dan ditetapkannya RIS (Republik Indonesia Serikat). Ibu kota kembali ke Yogyakarta pada periode ini. Begitu juga dengan Presiden Sukarno yang turut dilantik sebagai pemimpin RIS di kraton Yogyakarta.
ADVERTISEMENT
Ibu kota baru benar-benar kembali ke Jakarta pada 17 Agustus 1950, yang ditandai dengan berakhirnya RIS serta diutuhkannya kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Selama periodisasi pemerintahan Sukarno pasca 1950, bung besar itu kerap mempertimbangkan soal pemindahan ibu kota. Palangkaraya dan Samarinda sempat menjadi nama yang dilirik oleh Presiden Sukarno sebagai ibu kota baru. Meski begitu, perencanaan ini berakhir wacana hingga berakhirnya rezim orde lama.

Jakarta Tidak Lagi Cocok Berdiri sebagai Ibu kota Negara

Ilustrasi Monumen Nasional Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Ada beberapa alasan logis dan aktual jika kita membahas ketidaklayakan Jakarta sebagai ibu kota pada masa ini. Kurang lebih 72 tahun Jakarta telah meraih titel sebagai ibu kota Indonesia.
Pada periode waktu yang sangat panjang ini, muncul suatu dogma bagi masyarakat homogen di dearah-daerah terpencil bahwasannya Jakarta adalah satu-satunya jalan dalam meraih kesuksesan. Siapa bisa bekerja di ibu kota, maka ia berpotensi meraih untung meski sebenarnya tidak selalu seperti itu.
ADVERTISEMENT
Dengan adanya pemikiran yang lahir dalam pikiran masyarakat ini, maka Jakarta sebagai ibu kota negara menjadi suatu titik dalam urbanisasi penduduk menyebabkan masyarakat kota Jakarta bersifat heterogen.
Karenanya jumlah penduduk Jakarta meluap hingga 11 juta jiwa dengan berbagai etnis yang berbeda-beda: Jawa (35,16%), Betawi (27,65%), Sunda (15,27%), Tionghoa (5,53%), Batak (3,61%), Minang (3,18%), Melayu (1,62%), Lain-lain (7,98%). Data via Wikipedia.
Galangan VOC di Penjaringan, Jakarta Utara Foto: Shika Arimasen Michi/kumparan
Selain faktor penduduk yang kian meluap, terdapat faktor ekologi yang turut menjadi alasan bagi pemindahan ibu kota. Banyak potensi bencana alam yang mengancam Jakarta, contohnya seperti ancaman gempa, ancaman gunung berapi seperti anak Krakatau dan tentunya yang paling mengkhawatirkan adalah ramalan situasi 2030 di mana Jakarta akan tenggelam.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya tidak hanya Jakarta melainkan kota-kota padat lain di penjuru dunia juga terancam tenggelam. Oleh karena itu salah satu solusi yang dapat ditawarkan oleh pemerintah adalah dengan pemindahan Ibu kota menuju Kalimantan.
Sejatinya Jakarta memang merupakan wilayah yang rawan banjir. Bahkan sejak pertama kali gubernur jenderal VOC, J.P. Coen mendirikan Batavia. Salah satu problematika bagi orang-orang Belanda ketika meninggalkan tanah Batavia atau yang sekarang ini Jakarta adalah masalah banjir.
Faktor yang menyebabkan banjir di Batavia tidak lain karena aspek geologinya di mana tanah di Batavia cenderung cekung dan tidak stabil serta terdapatnya 13 sungai yang mudah meluap. Salah satu alasan mengapa Belanda bisa betah di Batavia adalah karena lokasinya yang strategis dalam perdagangan.
ADVERTISEMENT
Tak heran Batavia dijadikan pusat pemerintahan VOC. Ditambah orang-orang Belanda sendiri sudah terbiasa dalam menghadapi permasalahan banjir karena secara wilayah, Batavia dan Belanda tidak berbeda jauh.
Orang Belanda memang siap dalam menghadapi masalah banjir, namun bagaimana dengan orang kita? Meskipun bangsa ini telah merdeka, menurut hemat penulis kita belum merdeka sepenuhnya dalam bidang pendidikan.
Tidak heran bahwa perilaku perusakan lingkungan kerap terjadi karena minimnya kesadaran sosial. Dari aksi-aksi ketidakpedulian ini yang kemudian menjadi akar dalam bencana berkelanjutan dan puncaknya pada 2030 ketika Jakarta benar-benar tenggelam.
Faktor berikutnya adalah faktor sosial yang turut menjadikan Jakarta penuh dengan segala permasalahannya. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa populasi di Jakarta sangatlah padat.
Suasana gedung-gedung bertingkat di Jakarta. Foto: ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra
Pelbagai aktivitas masyarakat baik itu aktivitas ekonomi, sosial, serta politik banyak terpusat di Jakarta. Ketidakmerataannya pembangunan seperti maraknya pemukiman kumuh di samping gedung-gedung besar menandakan terdapat ketimpangan sosial yang tidak beres di Jakarta.
ADVERTISEMENT
Dengan banyaknya permasalahan sosial, maka sudah selayaknya ibu kota negara dipindahkan menuju IKN demi kepentingan bersama. Tujuannya adalah pengurangan aktivitas masyarakat di sekitar Jakarta.
Harapan ke depannya dengan dipindahkannya ibu kota ke IKN, segala bentuk aktivitas terpusat di Jakarta bisa mereda serta berakhirnya pemikiran Jawasentris dan dimulainya pemikiran Indonesiasentris.
Salah seorang tokoh pergerakan, Tirto Adhi Soerjo berkata bahwa bangsa Indonesia (saat itu Hindia) merupakan bangsa ganda. Tidak hanya Jawa saja. Dengan Jakarta tetap dijadikan ibu kota, maka prinsip Jawasentris tidak akan hilang sehingga pulau-pulau lain seperti Kalimantan bisa diabaikan.
Tentunya pemindahan ibu kota akan dilakukan secara bertahap dan pengalokasian dana bisa dimaksimalkan sesuai prioritas. Karena jika kita berpendapat bahwa pemindahan ini hanya akan menjadi pemborosan dana dan baiknya adalah membenahi Jakarta sebaik mungkin, penulis kira tidak dapat memecahkan masalah sosial yang terus hadir di Jakarta.
ADVERTISEMENT
Karena siklus masyarakat tidak akan berhenti jika tidak ada revolusi dari dalam pikiran warganya sendiri. Solusi terbaik adalah mengurangi aktivitas di Jakarta dengan memindahkan status ibu kota menuju IKN.