Di Antara Sejarah dan Sastra

Abrar Rizq Ramadhan
Hanya seorang pelajar yang tenggelam di lautan Humaniora. Mahasiswa Ilmu Sejarah - FIS - Universitas Negeri Semarang
Konten dari Pengguna
9 Juli 2023 6:54 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Abrar Rizq Ramadhan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Bab tiga dalam buku Rumah Kaca, Pramoedya Ananta Toer. Merupakan buku terakhir dalam tetralogi Buru sekaligus bentuk perwujudan sejarah dan sastra. (foto: dokumen pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Bab tiga dalam buku Rumah Kaca, Pramoedya Ananta Toer. Merupakan buku terakhir dalam tetralogi Buru sekaligus bentuk perwujudan sejarah dan sastra. (foto: dokumen pribadi)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
“Sejarah itu berbeda dengan sastra setidaknya dalam empat hal; cara kerja, kebenaran, hasil keseluruhan, dan kesimpulan” -Kuntowijoyo
ADVERTISEMENT
Kutipan di atas dilontarkan oleh seorang sejarawan besar Indonesia serta guru besar Universitas Gajah Mada (UGM), Prof. Dr. Kuntowijoyo, M.A., dalam karya yang berjudul “Pengantar Ilmu Sejarah”.
Pernyataan tersebut menjadi dasar bagi tiap-tiap sejarawan baik pemula maupun senior untuk kembali menegaskan bahwa sejarah itu berbeda dengan sastra dari segi disiplin ilmu. Pasalnya sejarah itu kerap pada pembuktian akan kebenaran terhadap peristiwa masa lampau sehingga dalam penelitian sejarah, seorang sejarawan sangat disarankan untuk bersikap objektif.
Sedangkan sastra sendiri memiliki cakupan yang sangat luas dan penuh dengan subjektivitas penulisnya. Sehingga penulis karya sastra bisa saja memiliki keberpihakan tertentu dalam menulis ceritanya.
Meski begitu, kerap pribadi penulis bertanya-tanya. Bukankah sejarah dan sastra itu sangat berkesinambungan? Bukankah keduanya saling melengkapi layaknya selai dan roti? Karena banyak sekali buku-buku sastra yang penulis lahap berdasarkan sejarah sebagai tema utamanya.
ADVERTISEMENT
Sebut saja karya-karya besar gubahan Pramoedya Ananta Toer macam Bumi Manusia yang ditulis berdasarkan pada sejarah Indonesia masa Hindia-Belanda, akhir abad 19.
Pada artikel ini penulis akan mencoba mendeskripsikan hasil pemikiran pribadi penulis soal korelasi antara sejarah dan sastra yang secara kasar keduanya saling melengkapi meskipun para ahli kerap menegaskan bahwa: sejarah bukanlah sastra!

Mengapa Sejarah dan Sastra itu Berbeda?

Ilustrasi buku puisi. Foto: Shutter Stock
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa banyak ahli menegaskan bahwa kedua disiplin ilmu ini berbeda. Padahal kerap sejarah sering disamakan dengan sastra. Disebut berbeda barang kali karena unsur keberpihakan dalam kedua kepenulisan. Sastra itu sangatlah luas dan tidak terbatas pada imajinasi sang penulis karenanya unsur keberpihakan diperkenankan dalam penulisan sastra.
ADVERTISEMENT
Oleh sebab itu juga sastra identik dengan karya tulis non ilmiah dan pernyataan tersebut tidak sepenuhnya salah. Sastra itu kaya akan fantasi dan penuh akan karangan setiap penulisnya sementara karya tulis ilmiah sesuai namanya harus berbahasa ilmiah karena berbasis pada pelbagai metode dan metodologi penelitian.
Ilmu sejarah termasuk pada basis karya tulis ilmiah karenanya baik sejarah dan sastra disebut tidak bisa disatukan. Jika sastra disatukan pada penelitian sejarah maka akan timbul suatu subjektivitas yang berlebih ditambah penggunaan bahasa yang lebih terasa seperti roman.
Sementara, dalam penelitian sejarah, sejarawan harus bersikap objektif terhadap suatu peristiwa. Sangat bertentangan dengan sastra yang penuh dengan subjektivitas. Walaupun sebenarnya dalam menulis sejarah unsur subjektif tidak bisa dielakkan. Sejarawan setidaknya berlaku subjektif ketika menyusun data sejarah atau peristiwa sejarah yang disusun berdasarkan pelbagai sumber primer dan sekunder.
ADVERTISEMENT
Beberapa hasil penelitian sejarah secara ilmiah di antaranya adalah: “Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan” (1997) karya Soe Hok Gie, dan “Pelurusan Sejarah Indonesia” (2007) karya Asvi Warman Adam. Kedua karya hebat itu dihasilkan atas metode dan metodelogi penelitian sejarah yang teratur. Serta keduanya ditulis seobjektif mungkin.
Ilustrasi buku Soe Hok Gie, Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan, berdampingan dengan buku-buku kiri lainnya. (dokumen pribadi)
Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan adalah hasil skripsi yang dibukukan, karya salah seorang tokoh aktivis kenamaan Indonesia, Soe Hok Gie. Buku itu membahas soal gerakan-gerakan kiri yang bermunculan di Indonesia sejak ditumpasnya peristiwa pemberontakan PKI 1926/1927 hingga ke peristiwa berdarah di Madiun pada 1948.
Buku itu ditulis oleh Gie berdasarkan metode kajian yang kiranya tepat. Gie mengumpulkan banyak sumber mulai dari lisan hingga tertulis. Ia kabarnya bahkan sampai pergi menuju Soviet untuk memperoleh sumber sejarah. Metode riset sumber ini juga disebut dengan metode heuristik.
ADVERTISEMENT
Berikutnya adalah Pelurusan Sejarah Indonesia karya Asvi Warman Adam, seorang sejarawan serta seorang tenaga riset di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Buku itu membahas soal penjabaran terkait pelurusan sejarah di Indonesia yang dianggap sangat subjektif dan condong pada rezim orde baru. Sehingga secara objektif, Asvi mencoba untuk meluruskan sejarah yang sudah simpang siur itu.

Sejarah dalam Karya Sastra

Keempat novel tetralogi Buru. (foto: dokumen pribadi)
Meski telah ditegaskan bahwa proses penulisan antara sejarah dan sastra itu jelas berbeda, antara sejarah yang objektif dan sastra yang subjektif, terdapat beberapa karya sastra yang berbasis pada sejarah dan bahkan bisa dijadikan rujukan sebagai sumber sejarah sekunder dalam penelitian sejarah.
Penulis memberi contoh tetralogi Buru, magnum opus Pramoedya Ananta Toer. Keempat buku yang terdapat dalam tetralogi itu merupakan sebuah pencampuran antara sastra dan sejarah. Keempat buku itu adalah: “Bumi Manusia” (1980), “Anak Semua Bangsa” (1981), “Jejak Langkah” (1985), dan “Rumah Kaca” (1988). Novel-novel ini yang kerap merasuki pikiran penulis soal korelasi antara sejarah dan sastra.
ADVERTISEMENT
Sejatinya buku-buku tetralogi Buru merupakan karya fiksi namun berdasarkan atas peristiwa historis. Tokoh utama dalam tetralogi ini adalah Minke yang merupakan fantasi Pram terhadap tokoh pergerakan nasional, Tirto Adhi Soerjo. Baik penggambaran latar, peristiwa, dan penokohan semuanya berpadu pada sisi historis.
Banyak juga tokoh-tokoh yang diangkat dari peristiwa nyata seperti R.A. Kartini, Cipto Mangoenkusumo, dan Thamrin Muhammad Tabrie (Ayah M.H. Thamrin). Dengan hadirnya tokoh-tokoh penting itu semakin menegaskan bahwa tetralogi Buru memang berbasis pada peristiwa sejarah yang historis.
Ilustrasi penulis. Foto: Shutter Stock
Belum lagi dengan aksi-aksi pergerakan Minke yang mendirikan pelbagai organisasi modern seperti Sarekat Prijaji, Sarekat Dagang Islam (SDI), dan media pers pribumi pertama Medan Prijaji.
Semuanya disusun secara historis dengan jejak sejarah yang benar meski terdapat sedikit sentuhan fiksi demi mendukung alur cerita. Pada dasarnya memang keempat novel itu adalah karya sastra yang dilatarbelakangi aspek sejarah.
ADVERTISEMENT
Karya sastra seperti ini bisa dijadikan rujukan dalam penelitian sejarah. Mengapa demikian? Tetralogi Buru dapat dijadikan sebagai sumber sekunder atas gambaran kehidupan sosial pada masa Hindia Belanda di akhir abad 19 hingga awal abad 20.
Dengan membaca keempat novel itu, pembaca bisa mendapatkan gambaran atas pertentangan antara kaum pribumi, kaum Indo, dan kaum Eropa. Buku itu menggambarkan situasi sosial hingga politik di masa itu di mana hukum kolonial yang berlaku sangat merugikan pribumi sebagai bangsa penetap.
Selain itu, pembaca juga disuguhkan dengan aksi-aksi pergundikan yang merampas hak wanita-wanita pribumi. Selain itu, masih banyak lagi gambaran-gambaran yang Pram hadirkan dalam buku soal kehidupan sosial di Hindia Belanda kala itu.
ADVERTISEMENT

Opini Pribadi

Ilustrasi penulis. Foto: Shutter Stock
Sejarah seyogyanya tidak bisa dilepas dari sastra. Memang secara bentuk penelitian keduanya berbeda, namun dengan hadirnya novel-novel seperti tetralogi Buru, semakin menegaskan bahwa kedua disiplin itu sebenarnya bisa Bersatu.
Memang sastra itu tidak ilmiah dan unsur faktualitasnya patut dipertanyakan, namun menurut hemat penulis sastra itu adalah upaya dalam mengenalkan sejarah bagi khalayak ramai. Misal saja terdapat seorang individu yang tengah tertarik mempelajari sejarah, maka novel sejarah bisa dijadikan acuan sebagai awal dalam mengenal kesejarahan.
Jika disuguhkan dengan karya ilmiah yang berat, bisa jadi individu tersebut justru merasa bosan dengan beratnya topik yang dibawa sehingga ia berpotensi meninggalkan minatnya terhadap sejarah.
Kesimpulannya adalah sejarah memang berbeda dari sastra, namun tidaklah salah dalam menjadikannya sebagai suatu kesatuan untuk memikat minat banyak massa.
ADVERTISEMENT
Barulah jika massa telah menemukan minatnya dalam sejarah, maka ia bisa memulai membaca karya dalam bentuk ilmiah tidak lagi dalam bentuk sastra.
Namun kembali menegaskan bahwa dalam penelitian, unsur sastra tidak bisa disatukan dalam tulisan sedangkan dalam penulisan sastra, pengarang bisa dengan bebas berimajinasi dan bereksperimen pada tulisannya termasuk memasukkan unsur sejarah.