Menghayati Keberadaan Manusia: Sebuah Ikhtiar Melawan Kebanalan Hidup

Abil Arqam
Mahasiswa Filsafat Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta - Nyantri di Ngaji Filsafat MJS
Konten dari Pengguna
26 Maret 2024 13:19 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Abil Arqam tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Gambar: Unsplash
zoom-in-whitePerbesar
Gambar: Unsplash
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Mari kita berangkat dari satu model pertanyaan yang aneh, tetapi barangkali pernah terbesit di benak setiap orang. Kurang lebih seperti ini, “kenapa aku terlahir sebagai aku?”, “Kenapa aku ujug-ujug lahir dan ada di dunia sebagai aku?”, “kenapa aku tidak terlahir sebagai anak orang kaya seperti Raffi Ahmad atau Deddy Corbuzier?” “Kenapa dari sekian milyar kemungkinan, aku lahir sebagai aku yang keadaannya tidak lebih baik dengan keadaan orang lain.”
ADVERTISEMENT
Pertanyaan-pertanyaan macam ini seringnya muncul dari orang-orang yang merasa bahwa nasib hidupnya lebih buruk ketimbang orang lain, baik dari segi ekonomi, fisik, kecerdasan, prestasi, dan lain sebagainya. Kondisi ini bahkan menurutnya sudah dengan sendirinya melekat dan ada sejak ia dilahirkan.
Agak sulit untuk menentukan apakah hal ini perlu dipandang sebagai hal yang baik atau buruk. Karena pada dasarnya, tak satu pun dari kita yang tahu kenapa kita tiba-tiba terlahir dan ada di dunia dengan kondisi-kondisi tertentu.
Akan tetapi, hanya berhenti pada tahap meratapi kondisi itu adalah sikap pengecut. Sebagai manusia yang dianugerahi akal, kita perlu melakukan refleksi dan menghayati keberadaan kita sekalipun pada dasarnya sangat lah membingungkan.
Heidegger, Faktisistas, dan Keberadaan
ADVERTISEMENT
Di sini saya akan mengulas sedikit pandangan ontologis dari Martin Heiddegger mengenai Faktisistas. Dalam bahasa yang lebih sederhana, Faktisitas adalah keterlemparan (thrownness). Manusia secara sekonyong-konyong terlempar dalam suatu sistem ruang-waktu dan hidup di dalamnya. kita tiba-tiba ada di dunia dan lalu larut dalam keberadaan kita sendiri.
Jika merujuk arti umum keterlemparan ini, maka manusia sebagai "yang ada" tidaklah berbeda dengan "ada" yang lain seperti hewan, tumbuhan, dan benda-benda yang ada di dunia ini. Yang menjadikan manusia sebagai "ada" yang unik dan berbeda, ialah bahwa manusia selalu mempertanyakan keberadaannya sendiri.
Atas dasar itu, manusia kemudian disebut sebagai makhluk eksistensial. “Eks” berarti “di luar” dan “sintensi” yang berarti “berdiri”. Manusia tidak hanya sekadar ada, tetapi ia berdiri di luar dirinya sendiri untuk mempertanyakan makna dan hakikat keberadaannya. Manusia tidak hanya “ada” sejauh dimaknai sebagai yang ada dalam ruang dan waktu. Manusia ialah “ada yang menjadi”, sebagai sosok yang me-ruang-waktu dalam proses penemuan hakikat keberadaannya.
ADVERTISEMENT
Dua Corak Keberadaan Manusia
Di samping berupaya untuk terus mempertanyakan dan menemukan hakikat keberadaannya, manusia selalu dibayang-bayangi oleh imaji tentang batas dan akhir. Ini menunjukkan temporalitas kehidupan manusia yang selalu berakhir dengan kematian. Heidegger menyebutnya “Zein-Zum-Tode”, yakni ada yang sedang berjalan menuju ketiadaan.
Sebagai makhluk yang temporer dan dibatasi oleh kematian, kita kemudian tidak dapat mengukur dan menyusun secara komplit apa yang akan kita lakukan di waktu mendatang. Karena akhir atau kematian tersebut bisa datang kapan saja. Tidak sebatas kematian, ada banyak faktor di luar diri manusia yang akan membatalkan deretan rencana masa datang yang telah disusun secara komplit.
Selain bahwa manusia hidup dalam temporalitas dan keterbatasan waktu, Heidegger juga menyebut manusia sebagai ‘ada’ yang “sorge”, yang berarti peduli atau acuh. Manusia adalah sosok yang mengada bersamaan dengan keberadaan “ada-ada” yang lain. Dan dalam kondisi ini, manusia selalu saja acuh atau peduli dengan berbagai makhluk atau benda di luar dirinya sendiri.
ADVERTISEMENT
Dengan sikap keacuhan tersebut, manusia kemudian melakukan pengelolaan terhadap keberadaan "ada yang lain" tersebut. Baik dalam tujuan pemenuhan kebutuhannya, atau dalam upaya penemuan hakikat keberadaan manusia itu sendiri.
Dua corak inilah: Temporalitas dan Keacuhan, yang kemudian memungkinkan manusia untuk mencipta makna dalam hidupnya.
Dilema Dunia Modern
Kita berhadapan dengan tantangan zaman modern yang seolah ingin menjawab segala hal dan merumuskannya secara pasti (baca: Positivisme). Perkembangan pengetahuan, teknologi, dan industri membuat manusia seakan menjadi entitas yang tak lain hanyalah sebatas bagian dari dunia yang materialistis.
Keadaan ini lalu membuat kita takluk dalam kalkulasi-kalkulasi untung-rugi semata. Hari-hari hanya diisi oleh ambisi untuk mengejar keuntungan, kekayaan, dan kehormatan. Seperti ikan mati: hidup hanya mengikuti arus air, tak peduli kemana ia akan dibawa. Suatu sikap yang memandang bahwa hidup hanya sebatas kumpulan fase-fase dari lahir menuju mati, bukan sebagai sebuah misteri yang perlu digali maknanya dan dicari hakikatnya.
ADVERTISEMENT
Manusia pada akhirnya lupa untuk kembali mempertanyakan keberadaannya atau sekadar melakukan refleksi dan penghayatan hidup. Keadaan inilah yang menyebabkan manusia larut dalam banalitas hidup dan membuatnya sama dengan objek-objek lainnya.
Itulah mengapa, kenapa pada hari ini, banyak orang yang tidak tertarik dan bahkan menghindari pertanyaan-pertanyaan mendasar yang filosofis dalam hidup seperti, “apa makna dan tujuan hidup?”, “Apa arti keberadaan manusia?”, “Apa itu kebahagiaan?” dan lain sebagainya. Bagi sebagian orang, pertanyaan ini bahkan dianggap mengada-ada dan tak penting. Yang penting bagi mereka hanyalah memenuhi hasrat akan kekayaan dan kehormatan belaka.
Menemukan Makna, Menolak Kebanalan Hidup
Makna keberadaan manusia itu perlu dicari. Tentu ia bukanlah barang yang sudah membersamai kita sejak lahir. Ia ada dan perlu ditemukan dalam proses panjang yang bernama hidup. Caranya memanglah banyak, akan tetapi instrumennya hanya satu, yakni berfikir atau berefleksi.
ADVERTISEMENT
Kita perlu memulai untuk memunculkan pertanyaan-pertanyaan mendasar dalam hidup sambil berupaya menemukan jawabannya. Takluk dan larut dalam kebanalan hidup merupakan sikap pecundang: tidak bertanggung jawab atas pikiran dan hati yang telah dianugerahkan kepada manusia dan menjadikannya berbeda dengan segala hal yang ada di dunia. Melawan kebanalan hidup adalah menggunakan potensi pikiran untuk tidak terjebak dalam hal-hal semu yang merancang-bangun pikiran manusia.
Saya tertarik dengan apa yang disampaikan oleh Frank Barat dalam pengantar-nya di sebuah buku berjudul On Palestine,
ADVERTISEMENT