Mengapa Kita Senang Jadi 'Serigala'?

Abdul Wahid
Pengajar FH Universitas Islam Malang dan penulis buku Hukum dan Agama
Konten dari Pengguna
26 November 2021 6:40 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Abdul Wahid tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ilustrasi pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
ilustrasi pixabay.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Saat Thomas Hobbes menyampaikan teorinya tentang salah satu kecenderungan manusia yang kini sangat populer dengan istilah “homo homini lupus” (manusia adalah serigala bagi manusia lainnya), barangkali kebenaran teorinya ini baru bisa kita saksikan dan rasakan dewasa ini.
ADVERTISEMENT
Manusia menjadi serigala tak ubahnya manusia itu berganti wajah, beralih rupa, atau berubah sikap dan perilakunya, yang sebelumnya berhabitus kemanusiaan, namun karena “sesuatu” dan “lain hal”, akhirnya manusia ini mendesain dirinya dengan sikap dan perilaku antagonistik dengan kemanusiaannya.
Desain baru dirinya itu bercorak “serigala” atau berkebinatangan, yang di antaranya ditunjukkan dengan menerkam, menusuk, membantai, mengebom, atau mendestrusi kehidupan sesamanya.
Dalam ranah itu, kehadiran seseorang atau sekelompok manusia lain menjadi objek. Di matanya, mereka bisa dan bahkan harus dilukai atau dikorbankan kapan dan di mana saja sesukanya.
Sikap dan perilaku dehumanitas (kebiadaban) yang ditampilkan manusia itu adalah untuk membenarkan kalau dirinya telah berhasil memberikan (memaksakan) hajat atau kepentingan, apa pun caranya.
ADVERTISEMENT
Sikap dan perilaku manusia demikian itu membuatnya hanya berpikir soal hasil dan bukan pada proses. Yang terpenting bagaimana yang diyakini dan diinginkannya berhasil direalisasikan. Ideologi dan agama tertinggi merupakan wujud apa yang diperbuatnya, dan bukan pada apa yang dirasakan (diderita) orang lain.
Sikap dan perilaku teroris, yang diwujudkannya dengan cara menikam (menusuk), mengebom, memenggal kepala (seperti yang suka dilakukan oleh ISIS), atau membunuh seseorang atau sekelompok orang, identik dengan opsi yang keluar dari fundamentalisme kemanusiaan, sehingga logis ketika pemerintah (negara) berlaku tegas terhadap warga negara Indonesia yang terlibat jaringan ISIS yang pulang dari Suriah.
Cara-cara yang dilakukan oleh teroris itu tak ubahnya dengan watak serigala yang menempatkan sesamanya sebagai obyek yang dimangsa. Modus perilaku demikian inilah yang membuatnya tidak layak mendalilkan dirinya sebagai subyek yang berkomitmen pada hajat kemanusiaan.
ADVERTISEMENT
“Bagian terbaik dari seseorang adalah perbuatan-perbuatan baiknya dan kasihnya yang tidak diketahui orang lain” demikian pernyataan William Wordsworth yang sejatinya mengajak setiap manusia di bumi ini untuk berlomba berbuat baik pada sesama manusia.
Wordsworth memang menunjukkan, bahwa ada jenis perbuatan yang membuat seseorang layak mendapatkan prediket terbaik atau menjadi bagian terbaik dalam konstruksi kehidupannya, manakala ia mampu menghasilkan perbuatan terbaik pada sesama yang sesama ini tidak perlu mengetahui kalau dirinya yang berbuat baik dan mengasihinya.
Itu jelas doktrin Wordsworth berdimensi kemanusiaan. Manusia ditunjukkan caranya berbuat baik tanpa pamrih, tanpa tendensi, atau tanpa menuntut imbalan (kompensasi). Dalam doktrinya, manusia terbaik merupakan sosok pengabdi dalam kerelaan atau memberikan yang terbaik untuk hajat kemanusiaan tanpa ada publikasi.
ADVERTISEMENT
Pikiran seperti itu identik dengan menempatkan perbuatan terbaik manusia dalam bentuk mengasihi, melindungi, atau menyayangi manusia lain sebagai fundamentalisme kemanusiaan.
Manusia baru benar-benar dikatakan layak memasuki ranah kebermaknaan hidup bersama manusia lain bilamana peran yang ditunjukkannya bersifat “memberikan” yang terbaik. Inilah yang disebut sebagai kebermaknaan yang ditentukan oleh kuatnya relasi protektif atas kehadiran sesama sebagai hal fundamental dalam konstruksi kehidupannya.
Memberikan yang terbaik bermakna juga memprevensi diri dan kelompok dari kecenderungan menjerumuskan dan menyesatkan orang lain dalam perbuatan tidak baik dan sebaliknya berusaha kuat melindunginya dari kemungkinan menjadi korban “serigala” yang muncul dari diri dan sekumpulan orang di tengah masyarakat.
Saat dalam diri kita mulai mencuat niat dan aksi yang berpola “serigala”, kita secepatnya berusaha dan berjuang untuk mengalahkan dan memadamkannya. Kita tidak kenal penat menghadapi segala bentuk kecenderungan yang mengarahkan pada opsi dan pembenaran kriminalistik.
ADVERTISEMENT
Dalam realitas di tengah kehidupan bermasyarakat dan bernegara ini, menjadi orang baik itu tidak mudah. Di saat seseorang sudah bertekad menjalani kehidupannya dengan nilai-nilai mulia yang menjunjung tinggi kemanusiaan, terkadang ada saja muncul sekelompok orang atau pihak lain yang berusaha dan mengajaknya berbuat di jalur keburukan dan berlawanan dengan nilai-nilai kemanusiaan.
Seseorang atau pihak itu mengajak dengan cara menjebak lewat doktrin yang bermuatan fundamentalisme kemanusiaan, yang pada intinya memprovokasi dengan berbagai cara supaya seseorang itu tidak sungguh-sungguh dan kalau perlu mengasingkan hidupnya dari kewajiban berdimensi kemanusiaan dan gencar mempengaruhinya agar tersesat di jalan pembenaran kebiadaban.
**Pengajar Universitas Islam Malang dan Penulis Buku