Polemik Minum Air Kencing Unta: Apakah Baik untuk Kesehatan Manusia?

5 Januari 2018 18:19 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Sebuah video yang diunggah di akun Instagram Bachtiar Nasir pada Rabu (3/1) memperlihatkan ketua Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF MUI) itu sedang meminum susu dan air kencing unta.
ADVERTISEMENT
Dalam video yang diunggah itu, pria yang namanya melambung semenjak kasus Ahok dianggap menista agama itu sedang berada di peternakan unta di Hudaibiyah, Mekkah, Arab Saudi.
Video Bachtiar Nasir sedang meminum air kencing unta ini menimbulkan respons yang beragam dari warganet. Pro kontra pun kemudian muncul terhadap aksi minum air kencing unta itu. Bahkan di media sosial hal ini menimbulkan polemik alias perdebatan di antara sesama netizen.
Dalam video itu, Bachtiar Nasir mengklaim bahwa air kencing unta mengandung obat dan dapat menyembuhkan sel-sel kanker dalam tubuh manusia.
Tapi apa benar memang begitu? Apakah secara sains air kencing unta memang baik bagi kesehatan manusia?
Klaim bahwa air kencing atau urine unta bisa menyembuhkan berbagai macam penyakit, bahkan termasuk kanker, bukanlah sesuatu yang baru. Sebuah hasil penelitian pada 2012 yang dilakukan oleh Departemen Onkologi Molekular, King Faisal Specialist Hospital and Research Center di Riyadh, Arab Saudi, mengklaim urine unta bisa menyembuhkan kanker.
ADVERTISEMENT
Hasil studi ini menyatakan urine unta mengandung sitotoksik, senyawa yang bersifat toksik (racun) yang dapat menghambat pertumbuhan sel kanker sehingga berguna untuk mengobati berbagai jenis kanker.
Namun begitu, Safia Danovi dari Pusat Penelitian Kanker Inggris mengatakan, sulit untuk menilai penelitian ini jika para peneliti belum mempublikasikan hasil penelitian air kecing unta dapat menyembuhkan kanker ini di jurnal yang mendapatkan peer review.
Bachtiar Nasir minum air kencing unta (Foto: Instagram @bachtiarnasir)
Penelitian lainnya terkait air kencing unta juga pernah dilakukan untuk mencari petunjuk pengobatan penyakit tidur yang menyerang jutaan orang di Afrika. Penyakit tidur ini disebabkan oleh parasit trypanosoma yang disebarkan oleh gigitan lalat tsetse dan menyerang saraf hingga menyebabkan nyeri sendi, sakit kepala, lemahnya koordinasi anggota tubuh, mati rasa, hingga susah tidur.
ADVERTISEMENT
Profesor biokimia dari Trinity College di Dublin, Derek Nolan, mengatakan urine unta yang terinfeksi oleh trypanosoma akan memiliki bau yang sangat kuat dan berwarna cokelat kemerahan. Menurutnya, mempelajari mengapa urine unta akan berubah warna serta menjadi bau ketika terinfeksi parasit ini dapat memberikan petunjuk untuk menemukan cara menyembuhkan penyakit tidur ini.
Berbeda dengan penelitian yang disebutkan sebelumnya, hasil penelitian ini telah dipublikasikan di jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences (PNAS).
Saat ada banyak orang yang sudah terlanjur meyakini minum air kencing unta dapat menyembuhkan kanker, Badan Kesehatan Dunia (WHO) justru mengeluarkan peringatan untuk menghindari konsumsi urine unta, khususnya unta dromedaris yang banyak berada di semenanjung Arab.
Peringatan itu berkaitan dengan hasil penelitian WHO soal air kencing unta dan penyakit MERS-CoV (Middle East respiratory syndrome coronavirus). MERS adalah penyakit yang muncul sejak tahun 2012 lalu di Arab Saudi. Penyakit ini dapat menyebabkan demam, masalah pernapasan, pneumonia, gagal ginjal dan komplikasi lainnya.
ADVERTISEMENT
Dalam studinya itu, WHO menemukan bahwa unta dromedaris adalah salah satu agen penyebaran MERS. Meski belum diketahui secara pasti bagaimana MERS dapat menginfeksi manusia dari unta, WHO menyarankan untuk tidak banyak melakukan kontak dengan unta.
Salah satu cara menghindarinya adalah dengan tidak mengonsumsi susu unta mentah dan urine dari unta. Selain itu, WHO juga menyarankan bagi mereka yang mengonsumsi daging unta agar memasak daging dengan sempurna.
“Kita harus menghindari meminum susu unta yang masih mentah atau urine unta, atau memakan dagingnya yang tidak dimasak dengan baik,” kata WHO dalam pernyataannya.