Pajak Penghasilan Capai 68%, Ratusan Dosen UGM Tuntut Transparansi

16 Juli 2019 9:03 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Universitas Gadjah Mada. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Universitas Gadjah Mada. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
ADVERTISEMENT
Sebanyak 108 dosen Universitas Gadjah Mada (UGM) dari berbagai fakultas menyampaikan mosi tidak percaya kepada rektorat, khususnya Wakil Rektor Bidang Perencanaan Keuangan dan Sistem Informasi terkait transparansi algoritma pemotongan pajak. Sejumlah dosen bahkan ada yang dikenai pajak hingga 68 persen.
ADVERTISEMENT
Terkait hal ini, Dekan Fakultas Hukum UGM Sigit Riyanto mengatakan para dosen ingin membayar pajak sesuai dengan ketentuan. Namun, sistem pemotongan maupun kebijakan dari kampus menunjukkan adanya ketidaksesuaian dengan peraturan yang ada.
“Kemudian ada inkonsistensi, baik di dalam sistem pemotongannya atau informasi yang disampaikan. Misalnya antara bulan Januari sampai Mei, bapak ibu dosen tidak dipotong pajaknya tapi tiba-tiba bulan Juni itu mendapatkan pemotongan sangat tinggi, ada yang 68 persen dan yang lain-lain. Ini kan tadi kebijakan tidak sesuai dengan peraturan,” ujar Sigit dihubungi kumparan, Senin (15/7).
Menurut dia, seharusnya presentase pajak dihitung berdasarkan perhitungan satu tahun, bukan penghasilan saat itu. Artinya ketika seseorang menerima penghasilan, maka pemotongan pajak tidak otomatis dilakukan, melainkan harus diakumulasi terlebih dahulu selama satu tahun.
ADVERTISEMENT
“Tapi harus diakumulasikan penghasilannya selama satu tahun itu masuk di dalam bracket yang 5 persen, 15 persen, atau 30 persen,” ungkapnya.
Saiful Ali Direktur Keuangan UGM. Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan
“(Pajak) 68 persen itu bervariasi karena dosen UGM kan ribuan. Ada yang terkena, ada yang tidak, ada yang terkena bulan Juni. Nah itu kan bagaimana memahami itu. Lah makanya itu dihitung dulu bracket penghasilannya masuk yang mana,” jelasnya.
Sigit juga mengungkapkan para dosen mengeluhkan sosialisasi yang kurang dari pihak kampus. Menurutnya, kampus menyampaikan informasi secara sepihak. Padahal mestinya ada konsensus jika pemotongan yang dilakukan tidak sesuai dengan tarif yang diatur dalam peraturan perpajakan.
“Kalau tidak sesuai berarti ada informasi yang bisa didiskusikan dulu setuju atau enggak. Lalu kebijakan itu tidak dibicarakan di pimpinan, misal dekan dan wakil dekan,” tuturnya.
ADVERTISEMENT
Sigit mengatakan masalah ini muncul karena pada awal 2018 lalu, UGM ditetapkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP). Padahal sebelumnya, UGM berstatus Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN BH).
“Itu kan sama sekali tidak sesuai dengan statuta dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi, bahkan dengan konstitusi. Kan lembaga pendidikan bersifat nirlaba. Tapi di situ disebutkan sebagai pengusaha kena pajak dengan bidang jasa pendidikan. Ini sangat tidak etis,” tegasnya.
Dia pun menyarankan agar pemotongan pajak dibuat flat 15 persen. Namun, dosen diberitahu pada akhir tahun nanti bisa terjadi kurang bayar atau lebih bayar.
“Harapannya ada kebijakan perpajakan yang sesuai ketentuan, lalu adil, ada sosialisasi yang tepat waktu dan komprehensif. Lalu kemudian didukung instrumen pendukung informasi yang memberi kejelasan semua warga UGM,” imbuhnya.
Kampus UGM di Yogyakarta. Foto: Dwita Komala Santi
Sementara itu, Direktur Keuangan UGM Saiful Ali menjelaskan bahwa isu ini berasal dari status UGM sebagai PTN BH. Jika melihat Undang-undang PPh Nomor 36 Tahun 2008 serta Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor 34 Tahun 2017, maka PTN BH dikukuhkan sebagai subjek pajak.
ADVERTISEMENT
“Subjek pajak badan itu implikasinya adalah atas penghasilan yang diberikan oleh UGM kepada karyawan UGM atau staf UGM akan dikenakan pajak yang sifatnya progresif,” ujarnya saat ditemui di Rektorat UGM.
“Sebagai PTN BH, kalau bisa ini tinjau ulang status PKP ini karena kami merasa kami bukan sebagai pengusaha. Kita melakukan pendidikan untuk mencerdaskan generasi bangsa, bukan dalam konteks menghasilkan profit seperti halnya pengusaha,” katanya.
Soal keluhan ada dosen yang dikenai pajak hingga 68 persen, Saiful menampik hal itu. Menurutnya, pajak paling tinggi sebesar 30 persen.
“Misalnya begini. Penghasilan pajak itu kan satu tahun dihitung lalu kena pajak berapa. Pajak itu batas maksimal 30 persen. Sehingga kalau dilihat rata-rata nanti memang fluktuatif, bisa dia 15, 25, bisa 30, fluktuatif," jelasnya.
ADVERTISEMENT
"Nanti diujung tahun ketika dia dilihat total efektif pajak yang dia terima pasti mendekati bracket di mana seharusnya dia kena pajak. Misalnya kalau saya bracket pajak saya misalnya 15 (persen), ya 15 persen. Jadi perbedaan itu karena fluktuasi perhitungan pajak yang ada, tapi akhirnya itu tidak akan ada pajak 60 persen. Itu tidak mungkin. Maksimal 30 persen di akhir total setahun,” tegasnya.
Dia kemudian menjelaskan skema pajak dalam satu tahun. Misalnya jika dalam setahun dosen menerima gaji Rp 800 juta, maka Rp 200 juta pertama dikenai pajak 15 persen, kemudian Rp 200 juta selanjutnya dikenai pajak 25 persen, dan sisanya dikenai pajak 30 persen.
Kasus ini pun telah dilaporkan para dosen ke Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Perwakilan DIY. Saat ini kasus ini masih terus ditelusuri oleh ORI DIY.
ADVERTISEMENT