Mungkinkah MK Diskualifikasi Jokowi-Ma'ruf?

14 Juni 2019 19:11 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Hakim Mahkamah Konstitusi saat sidang perdana di MK, Jakarta, Jumat (14/6). Foto: Helmi Afandi/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Hakim Mahkamah Konstitusi saat sidang perdana di MK, Jakarta, Jumat (14/6). Foto: Helmi Afandi/kumparan
ADVERTISEMENT
Salah satu petitum (tuntutan yang dimohonkan) tim Prabowo-Sandi di Mahkamah Konstitusi (MK) adalah meminta pasangan calon Jokowi-Ma'ruf Amin didiskualifikasi sebagai capres-cawapres. Konsekuensinya, Prabowo-Sandi yang akan ditetapkan sebagai pemenang Pilpres 2019.
ADVERTISEMENT
Dalam gugatannya, tim 02 itu mendalihkan kecurangan yang Terstruktur, Sistematis, dan Masif (TSM). Mulai dari aparat polisi dan BIN yang tak netral, kepala daerah tak netral, penyalahgunaan program pemerintah, Situng KPU, dana kampanye, pembatasan media, hingga soal jabatan Ma'ruf Amin di bank syariah.
Lalu, mungkinkah Jokowi-Ma'ruf didiskualifikasi MK?
Tentu saja jawabannya tergantung putusan MK. Namun, pakar hukum tata negara Dr Refly Harun menilai ada satu materi gugatan yang memungkinkan Jokowi-Ma'ruf dibatalkan. Yaitu soal jabatan Ma'ruf Amin sebagai Dewan Pengawas Syariah di BNI Syariah dan Bank Syariah Mandiri (BSM), yang menurut tim Prabowo-Sandi kedua bank tersebut adalah BUMN. Dalam UU Pemilu, harusnya Ma'ruf mundur dari jabatan itu, ternyata tidak sehingga dianggap 02 tidak memenuhi syarat.
ADVERTISEMENT
“Karena dalam pengalaman MK, tidak terpenuhinya syarat bisa membuat alasan untuk bisa melakukan diskualifikasi, bahkan terhadap calon yang bisa menang dalam konteks pilkada,” ujar Refly Harun saat diskusi ‘Menakar Kapasitas Pembuktian MK’ di D’Cost VIP, Jalan Abdul Muis, Jakarta Pusat, Kamis (13/6).
Refly menilai, persoalan itu mestinya diselesaikan di tingkat Bawaslu. Namun BPN tidak pernah mempersoalkan Ma'ruf yang tidak pernah mundur dari jabatannya di bank yang dianggap BUMN. Dalam hal ini, ada kelalaian penyelenggara pemilu.
“Bisa dianggap sebuah pelanggaran yang sifatnya kelalaian, yang hari-hari ini yang didorong oleh (Tim Kuasa Hukum) 02. Tapi hanya merupakan teknikal dan kelalaian yang bisa signifikan,” ujar Refly.
Namun yang menjadi permasalahan dan harus diperjelas, menurut Refly, adalah apakah BNI Syariah dan Bank Syariah Mandiri masuk ke dalam kategori BUMN. Karena sebagaimana diketahui kedua bank tersebut adalah anak perusahaan dari BUMN sesuai dengan UU BUMN tahun 2003.
ADVERTISEMENT
Namun dalam perspektif lain, kedua bank itu bisa dianggap BUMN karena ada kaitannya dengan keuangan negara, dalam hal ini UU Keuangan Negara.
“Saya bisa memahami perspektif yang lebih ekstensif, yang terutama yang didorong oleh 02 yang melihat penafsiran yang sistematis ketimbang kontekstual. Mengaitkan eksistensi anak perusahaan BUMN ini dengan keuangan negara, dikaitkan juga dengan UU Tipikor dan UU tentang pemeriksaan uang negara,” ujarnya.
Pandangan Hamdan Zoelva
Mantan ketua MK Hamdan Zoelva, memberi perspektif agak berbeda. Menurut Hamdan, UU Pemilu mengatur lengkap mengenai penyelesaian pelanggaran pemilu. Ada sengketa administratif, sengketa proses, dan sengketa hasil.
Nah, terkait administrasi itu diselesaikan oleh Bawaslu, baik pelanggaran administrasi secara Terstruktur Masif dan Sistematis (TSM), maupun tidak TSM. Dalam hal ini, urusan Ma'ruf dianggap melanggar syarat calon adalah urusan administratif di Bawaslu, atau PTUN setelah Bawaslu.
ADVERTISEMENT
"Nah, pelanggaran administratif ini pelanggaran dalam penetapan calon. Ternyata (misal) ada calon yang tidak memenuhi syarat administratif. Itu syaratnya proses administrasi pemilu, prosesnya adalah harus diajukan keberatan ke Bawaslu 3 hari setelah penetapan calon," papar Hamdan.
Dr. Hamdan Zoelva (27/08/2018). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Namun, perkara Ma'ruf Amin tidak pernah digugat BPN ke Bawaslu. Sementara gugatan ke Bawaslu ada masa waktunya, yang saat ini tidak bisa lagi diajukan gugatan.
"Kini sudah selesai. Kalau ada yang lalai, seharusnya dulu malah diajukan, sekarang kenapa tidak dulu tidak diajukan. Karena prosesnya UU sudah mengatur. Itu yang pelanggaran proses itu," ucap Hamdan.
Proses yang sekarang sedang berlangsung adalah sengketa hasil pemilu. Menurut Hamdan, urusannya murni terkait hitung-hitungan suara. Prabowo dicurangi berapa suara, di TPS mana, buktinya apa, dan lain-lain. Hamdan menyebutnya sebagai sengketa kalkulator.
ADVERTISEMENT