Koruptor Berbondong-bondong Ajukan PK, Artidjo Effect?

12 Juli 2018 18:59 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Hakim Agung Artidjo Alkostar (Foto: Widodo S. Jusuf/Antara)
zoom-in-whitePerbesar
Hakim Agung Artidjo Alkostar (Foto: Widodo S. Jusuf/Antara)
ADVERTISEMENT
Gelombang pengajuan Peninjauan Kembali dari narapidana korupsi terus bermunculan. PK menjadi upaya hukum mereka untuk meringankan atau membebaskan dari hukuman yang sedang mereka jalani.
ADVERTISEMENT
Muncul anggapan bahwa gelombang pengajuan PK tersebut tak terlepas dari pensiunnya Artidjo Alkostar sebagai hakim agung. Sebab, waktu pendaftaran PK yang tak terpaut jauh dari hari pensiunnya hakim yang terkenal galak kepada koruptor itu.
Semasa masih aktif sebagai hakim agung, Artidjo 'galak' terhadap koruptor. Ia tak segan memperberat hukuman hingga beberapa kali lipat terhadap mereka. Sebagai Ketua Kamar Pidana MA, ia juga berwenang mengatur siapa majelis hakim yang mengatur susunan majelis hakim yang menangani perkara pidana di MA, baik kasasi maupun PK.
Artidjo pensiun sejak tanggal 1 Juni 2018. Namun ia sudah tidak menangani perkara pada saat usianya menginjak 70 tahun, yakni 22 Mei 2018, sebagaimana aturan yang berlaku.
Sementara mereka yang mendaftarkan PK ialah mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum (30 April 2018), mantan Menteri Kesehatan Siti Fadillah (15 Mei 2018), mantan Menteri Agama Suryadharma Ali (4 Juni 2018), mantan Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta Mohamad Sanusi (25 Juni 2018), Choel Mallarangeng (9 Juli 2018), dan mantan Menteri ESDM Jero Wacik (10 Juli 2018).
Terpidana korupsi dana oprasional menteri dan penerimaan gratifikasi, Jero Wacik. (Foto: Instagram @imamhuseiin)
zoom-in-whitePerbesar
Terpidana korupsi dana oprasional menteri dan penerimaan gratifikasi, Jero Wacik. (Foto: Instagram @imamhuseiin)
Peneliti Pukat UGM Hifdzil Alim menilai bisa saja pengajuan PK para terpidana itu muncul karena Artidjo Effect. "Ya mungkin saja. Jangan-jangan mereka lebih takut ke Pak Artidjo dari pada hukum itu sendiri," kata Hifdzil dalam pesan singkatnya, Kamis (12/7).
ADVERTISEMENT
Kendati demikian, Hifdzil menyebut bahwa PK memang diatur sebagai salah satu hak yang bisa digunakan narapidana untuk membela diri. Namun pemohon harus menyertakan bukti baru atau novum dalam pengajuannya tersebut.
"Pada dasarnya PK itu menjadi hak narapidana. Kalau mau PK silakan saja, asalkan ada bukti baru terkait kasusnya. Kalau tidak ada, kemungkinan besarnya PK-nya akan ditolak," ucap Hifdzil.
Sementara Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia (TII) Dadang Trisasongko masih optimistis masih akan ada hakim agung lain yang memiliki integritas yang sama dengan Artidjo dalam menangani perkara korupsi. Ia meyakini pensiunnya Artidjo tidak akan membuat MA melemah terhadap para koruptor.
"Profesi hakim ditopang oleh kompetensi dan integritas para hakim. Jadi, selama hakim yang memeriksa memiliki kompetensi dan integritas yang kurang lebih sama dengan Artidjo, saya pikir Mahkamah Agung akan konsisten dengan pendirian Artidjo," kata Dadang.
ADVERTISEMENT
Anas Urbaningrum sebelumnya menyatakan bahwa keputusannya mengajukan PK tidak terkait dengan pensiunnya Artidjo. Ia hanya menyebut bahwa salah satu alasannya mengajukan PK karena vonis Artidjo terhadap dirinya tidak adil.
Terpidana kasus korupsi Pembangunan P3SON Hambalang, Anas Urbaningrum di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. (Foto:  ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)
zoom-in-whitePerbesar
Terpidana kasus korupsi Pembangunan P3SON Hambalang, Anas Urbaningrum di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. (Foto: ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)
Anas menjadi salah satu pihak yang merasakan galaknya Artidjo. Anas dihukum 7 tahun penjara oleh Pengadilan Tipikor Jakarta karena korupsi terkait proyek Hambalang dan pencucian uang.
Tak terima atas vonis itu, ia kemudian mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi DKI. Alhasil bandingnya dikabulkan, dan hukumannya turun menjadi 7 tahun penjara. Ia pun lantas mengajukan kasasi ke MA.
Pada tahap kasasi, Artidjo yang menjadi majelis hakimnya. Dalam putusannya, Artidjo memperberat hukuman Anas menjadi 14 tahun penjara.