Teruntuk Maurizio Sarri: Jangan Keras Kepala di Chelsea

26 Juli 2018 17:56 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Maurizio Sarri merokok. (Foto: MARCO BERTORELLO / AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Maurizio Sarri merokok. (Foto: MARCO BERTORELLO / AFP)
ADVERTISEMENT
“Saya tidak ingin dipengaruhi oleh apa pun dan siapa pun,” seperti itu Maurizio Sarri membicarakan kepemimpinannya barunya di Chelsea.
ADVERTISEMENT
Sebelum dipecat, Antonio Conte berhasil mempersembahkan dua gelar juara bagi Chelsea. Yang pertama, gelar juara Premier League 2016/2017. Yang kedua, Piala FA di musim 2017/2018. Namun, dua catatan mayor itu tak cukup hebat untuk menahan keputusan Chelsea mendepak Conte dan menggantikannya dengan Sarri, si mantan bankir itu.
Sarri bukan pelatih bergelimang prestasi. Kalau berbicara raihan, maka prestasinya akan berkutat seputar penghargaan individu macam Panchina d`Oro 2015/16, Enzo Bearzot Award 2017 dan Serie A Coach of the Year 2016/17. Menyoal prestasi kolektif, maka keberhasilannya yang terbesar adalah mengantarkan Napoli sebagai runner-up Serie A 2017/2018.
Di ranah kepelatihan sendiri, Sarri malang-melintang. Hanya, ia baru mendapatkan tuahnya di klub ke-16, Empoli. Melatih tiga musim, ia angkat kaki ke Napoli dan juga menghabiskan waktu selama tiga musim.
ADVERTISEMENT
Sebagai orang Italia asli, Antonio Conte tampil sebagai sosok yang begitu mendamba kemenangan. Sekilas, ia terlihat sepadan dengan watak dan ambisi bos besar Chelsea. Cerita Conte yang menganggap kekalahan sebagai perkara najis santer terdengar di ranah sepak bola dan kepelatihan.
Untuk membuktikannya, kita hanya perlu membaca catatan-catatan pribadi Andrea Pirlo dalam bukunya yang berjudul I Think therefore I Play. Bahkan, orang setangguh Gianluigi Buffon pun akan kehilangan kegarangannya saat berhadapan dengan amukan Conte.
Yang membuat Sarri berbeda adalah ia tidak tampil sebagai pelatih yang begitu memuja kemenangan. Oke, timnya memang perlu menang. Tapi, hasil mayor tanpa permainan cantik sesuai kesukaannya tak akan memberikannya kesenangan apa pun.
Bahkan sebelum menukangi Napoli, Sarri sudah menggelontorkan perkataannya menyoal ketidaksukaannya pada permainan bertahan. Ia, katanya, tak peduli walaupun Empoli berstatus sebagai juru kunci. Yang penting, mereka bermain cantik.
ADVERTISEMENT
Secara garis besar, Sarri mengutamakan penguasaan bola, pressing ketat, dan serangan bertubi-tubi. Di mata Sarri, dominasi bukan hanya menyoal penguasaan bola, tapi segala aspek. Bermain bertahan tak akan membuatmu berhasil mendominasi permainan. Makanya, kau harus berani menyerang.
Keberanian ini pada akhirnya berhasil menjadikan Napoli sebagai salah satu tim yang paling oke di Serie A perihal mencetak gol. Di musim pertamanya, Napoli duduk di peringkat kedua dengan torehan 80 gol (kebobolan 32 gol). Di musim kedua, Napoli menjadi tim paling produktif dengan raihan 94 gol (kebobolan 39 gol). Musim ketiganya, torehan gol Napoli menurun menjadi 77 gol, terbanyak ketiga setelah Lazio (89 gol) dan Juventus (86 gol) dengan jumlah kebobolan paling sedikit dalam tiga musim terakhir, 29 gol.
ADVERTISEMENT
Catatan produktivitas itu tidak mengherankan bila dikaitkan dengan gaya permainan Sarri. Dalam membangun serangan, Sarri akan tampil sebagai sosok yang terbilang nekat. Ia akan memerintahkan dua full back-nya untuk membantu trio gelandang tengah. Artinya, hanya akan ada dua orang yang menjaga di area pertahanan asli.
Di lini tengah Napoli, Jorginho punya peran krusial: sebagai distributor bola. Akurasi umpan yang menjadi kelebihannya menjadi penyebab. Makanya, tak heran, bila pada akhirnya Sarri ikut memboyong Jorginho ke Chelsea.
Dua gelandang lainnya bermain dengan dua tugas berbeda. Satu sebagai peredam serangan, satu lagi untuk menggedor pertahanan lawan dari lini kedua. Tugas kedua biasanya dipercayakan Sarri kepada Marek Hamsik. Sementara, tiga juru gedor utama di lini serang adalah pemain-pemain yang tak cuma menyengat, tapi punya kecepatan mumpuni.
ADVERTISEMENT
Melihat gaya permainan Sarri maka siapa pun yang ada di timnya harus memenuhi satu syarat mutlak: Pekerja keras.
Selebrasi Napoli usai mengalahkan Juventus. (Foto: Reuters/Massimo Pinca)
zoom-in-whitePerbesar
Selebrasi Napoli usai mengalahkan Juventus. (Foto: Reuters/Massimo Pinca)
Yang menjadi pertanyaan, apakah pemain-pemain Chelsea punya kemampuan dan karakter untuk bermain demikian? Melihat permainan Cesc Fabregas, rasanya cukup sulit untuk mengharapkannya bisa seganas Allan ataupun Hamsik. Begitu pula dengan Marcos Alonso Mendoza yang rasanya cukup sulit untuk bermain seperti Faouzi Ghoulam di Napoli.
Sementara untuk menerka Willian dan Eden Hazard apakah dapat tampil seperti Lorenzo Insigne dan Jose Callejon, kita hanya perlu memutar rekaman pertandingan yang menunjukkan seberapa sering Conte menunjuk-nunjuk dan berteriak kepada keduanya saat kehilangan bola. Kecenderungannya, kedua pemain ini akan menghentikan tekanan mereka saat bola berhasil direbut oleh pemain lawan.
ADVERTISEMENT
Menghakimi permainan Chelsea buruk dan Napoli adalah hal bias. Pasalnya, walau bermain demikian, Chelsea juga merebut dua gelar di Inggris. Sementara, Napoli tetap nihil gelar, tak peduli seagresif apa pun permainan mereka.
Di awal tahun 2017, Josep 'Pep' Guardiola sempat melontarkan keluhannya menyoal permainan sepak bola Inggris. Bila diperhatikan, kariernya di Manchester City tidak semulus di Barcelona dan Bayern Muenchen. Musim pertamanya di City ditutup dengan kegagalan meraih gelar juara. Lantas, baru di musim keduanyalah Pep berhasil menorehkan dua gelar juara sekaligus.
Yang dikeluhkan oleh Pep di awal tahun lalu adalah perkara second-ball. Bila diartikan, second-ball adalah hasil duel antara pemain saat hendak menerima umpan-umpan panjang. Umpan panjang yang mengarah ke udara membuat pemain kesulitan menguasai bola. Akibatnya, bola baru bisa dikuasai setelah bola tersebut jatuh ke tanah dan menjadi bola liar. Dan menurut wawancara Pep, Leicester City tampil sebagai klub yang begitu andal dalam memanfaatkan second-ball.
ADVERTISEMENT
Walau berpengalaman sebagai pelatih di klub-klub raksasa, tipe permainan seperti adalah hal baru bagi Pep. Makanya, dalam wawancaranya, ia menegaskan bahwa adaptasi, menyesuaikan gaya permainannya kepada situasi kompetisi di Inggris menjadi kunci untuk merebut kemenangan dan gelar juara.
Sebenarnya, Pep bukan tipe pelatih yang menghalalkan segala cara untuk merebut kemenangan. Buktinya, kalau anak-anak asuhnya tak bermain sesuai dengan filosofinya, ia akan merasa gusar. Namun, sebagai pelatih, ia tahu bahwa bersikap adaptif adalah perkara penting.
Pada dasarnya, Guardiola memainkan skema tiga bek 3-5-2 atau 3-4-3. Namun, supaya fleksibel, ia juga tak jarang mengubahnya menjadi skema empat bek, baik 4-3-3 maupun 4-4-2. Adapun, perubahan ini dilakukannya sesuai kondisi tim dan situasi pertandingan. Walaupun cenderung fleksibel, tapi City tetap tidak kehilangan core utama permainannya.
ADVERTISEMENT
Dan yang menjadi keuntungan Pep, anak-anak asuhnya juga cukup cerdas. Mereka dapat memberikan respons taktikal yang sesuai dengan keinginan Pep atau setidaknya selaras dengan situasi yang dibaca Pep dari pinggir lapangan. Makanya, kalaupun gaya permainan anak-anak asuhnya ada yang harus diubah (Raheem Sterling, misalnya), Pep juga tidak akan mendapat kesulitan yang berarti.
Selebrasi pemain Chelsea di laga vs Perth Glory. (Foto: Paul Kane / Stringer / Getty Images)
zoom-in-whitePerbesar
Selebrasi pemain Chelsea di laga vs Perth Glory. (Foto: Paul Kane / Stringer / Getty Images)
Lantas, yang menjadi masalah, dengan gaya permainan yang sebegitu berbeda, apakah Sarri bisa mengubah gaya permainan anak-anak asuhnya yang baru? Mengubah permainan skema 3-5-2/3-4-3 warisan Conte ke 4-3-3 jelas bukan perkara mudah. Simaklah wawancara-wawancara para pemain Chelsea yang mengomentari taktik yang diusung pelatih barunya. Sarri dan skuatnya membutuhkan waktu
Berangkat dari persoalan tadi, apakah pihak klub bakal cukup sabar untuk memberikannya waktu? Bila Conte saja yang secara garis besar punya watak dan prinsip yang sama dengan klub, bagaimana dengan Sarri (yang sepintas terlihat) berbeda?
ADVERTISEMENT
Hal lain yang dibutuhkan Sarri adalah kemampuan para pemainnya untuk merespons gaya permainannya yang begitu berbeda. Lantas, dalam situasi ini, Sarri punya dua pilihan: Memaksakan agar skuatnya beradaptasi secara penuh atau Sarri-lah yang mengadaptasikan taktiknya dengan segala kelebihan dan kelemahan timnya?
Hal lain yang seharusnya juga tak luput dari adaptasi Sarri adalah ketergantungannya kepada pemain yang itu-itu saja. Iklim kompetisi di Inggris jelas berbeda dengan Serie A. Untuk musim 2018/2019 saja, Chelsea akan berlaga di lima kompetisi: Premier League, Liga Europa, Piala Liga Inggris, Community Shield, dan Piala FA.
Tak perlu jauh-jauh membicarakan tiga kompetisi lainnya, untuk kompetisi liga saja, Inggris punya jadwal yang lebih killer. Bahkan kalau boleh jujur, kecenderungan Sarri yang cukup kaku perihal rotasi pemain ini juga sempat dikeluhkan oleh Presiden Napoli.
ADVERTISEMENT
Sarri boleh saja menegaskan bahwa tujuannya datang ke Napoli adalah bersenang-senang dengan filosofinya. Namun, yang menjadi pertanyaan penutup, apakah Chelsea memang mendatangkannya dengan tujuan serupa, bersenang-senang dengan filosofinya?