Mau Beli Sukhoi Rusia dan Hindari Ancaman AS, RI Lakukan Diplomasi

7 Agustus 2018 20:03 WIB
comment
7
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sukhoi 35 (Foto: Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Sukhoi 35 (Foto: Pixabay)
ADVERTISEMENT
Rencana Indonesia membeli 11 unit jet tempur Sukhoi SU-35 dibayang-bayangi sanksi Amerika Serikat (AS). Sanksi ini terancam diberikan karena Indonesia melakukan sistem barter atau imbal dagang dengan Pemerintah Rusia untuk proses pembayaran 11 unit Sukhoi. Rusia saat ini sedang terkena sanksi dari Pemerintah AS sehingga interaksi dagang dengan Rusia bisa memicu sanksi dan tekanan kepada Indonesia.
ADVERTISEMENT
"Mereka (Rusia) maunya beli karet. Permasalahannya dengan Rusia berkenan, eh di tengah jalan, Amerika mengancam sawit. Kalau terjadi transaksi dengan Rusia, maka ada ancaman lain," kata Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag), Oke Nurwan di Kantor Pusat Bea Cukai, Jakarta, Selasa (7/8).
Oke menyebut nilai akuisisi 11 unit jet tempur Sukhoi sebesar USD 1,1 miliar atau sekitar Rp 15,8 triliun (kurs Rp 14.400). Dengan skema imbal dagang, Indonesia berkeinginan meningkatkan angka ekspor sehingga mampu menciptakan surplus neraca perdagangan.
Sukhoi SU-35. (Foto: Wikimedia Commons.)
zoom-in-whitePerbesar
Sukhoi SU-35. (Foto: Wikimedia Commons.)
"Jadi kalau imbal beli, kita beli, maka negara lain pun harus membeli. Salah satunya adalah berencana membeli Squadron Sukhoi, sebelas biji senilai USD 1,1 miliar, maka Rusia harus beli komoditas kita senilai 50 persennya, USD 570 juta. Kami sedang siapkan komoditas apa saja," ujar Oke.
ADVERTISEMENT
Lanjut Oke, pemerintah pun masih terus menjalin kerja sama perdagangan dengan berbagai negara untuk memperbaiki neraca dagang. Selain itu, perjanjian perdagangan dengan negara lain dan mencari pasar tujuan ekspor baru juga sangat dibutuhkan.
Dia mencontohkan, Indonesia tak lagi melakukan perjanjian kerja sama dengan Turki. Akibatnya ekspor kelapa sawit ke Turki dikenakan bea masuk 16 persen. Hal ini berbeda dengan Malaysia yang telah menjalin perjanjian perdagangan dengan Turki, sehingga bebas bea masuk.
"Sehingga bergeserlah pasokan sawit, tidak lagi dari Indonesia, tapi Malaysia. Perjanjian perdagangan dibutuhkan untuk itu dan pasar-pasar baru," jelasnya.